Achmad Fathoni
(Direktur El Harokah Research Center)
Dikutip dari cnnindonesia.com (9/11, Menko Polhukam Wiranto menggelar dialog kebangsaan bertajuk 'Dengan Semangat Ukhuwah Islamiyah, Kita Jaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa' di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta. Mantan Panglima ABRI itu turut mengatakan bahwa aksi 'Bela Tauhid' yang digelar beberapa waktu lalu telah 'ditunggangi' oleh pihak-pihak yang memilki kepentingan politik. Menurut dia, aksi-aksi itu itu lantas berubah menjadi besar dan memiliki indikasi mengacaukan stabilitas keamanan nasional. "Terus terang, banyak yang kemudian nunggangin. Tadi saya tayangkan untuk demo yang 2 kali itu ternyata dimanfaatkan temen-temen HTI untuk tetap eksis sebagai organisasi," kata dia.
Catatan
1. Wiranto tampaknya gagal memandang HTI dengan jernih. Hizbut Tahrir Indonesia hadir sebagai ormas yang bergerak dalam agenda diskusi, pemikiran dan intelektual. HTI sebagaimana yang diketahui publik selalu mengingatkan dan mengkritik penguasa yang melepaskan tanggung jawab mereka dalam mengurusi berbagai urusan umat. HTI konsisten menentang kebijakan penguasa yang menzalimi rakyat. Hizbut Tahrir pun akan memberikan masukan dan solusi sesuai dengan pandangan syariah Islam. Atas dasar inikah Wiranto merasa risih dengan keberadaan gerakan ini?
2. Hizbut Tahrir, dalam kasus BBM (Bahan Bakar Minyak), misalnya, menentang kebijakan Pemerintah yang mencabut subsidi BBM sehingga berakibat kenaikan harga BBM. Hizbut Tahrir menyoal kenaikan harga BBM karena selalu diikuti dengan berbagai kenaikan barang dan jasa, yang pasti membebani rakyat. Hizbut Tahrir pun menentang kebijakan pencabutan subsidi BBM karena sejatinya kebijakan tersebut bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan korporasi asing. Hizbut Tahrir memandang bahwa dengan penghapusan subsidi BBM akan memuluskan jalan perusahaan asing menguasai bisnis migas di sektor hilir. Sebelumnya, mereka telah berhasil menguasai migas Indonesia di sektor hulu. Hizbut Tahrir memandang bahwa akar permasalahan migas di Indonesia karena liberalisasi sektor migas yang dilegalisasi melalui UU Migas. Dalam hal ini, Hizbut Tahrir memberikan solusi fundamental, yakni bahwa minyak dan gas termasuk dalam kategori kepemilikan umum yang harus dikuasai dan dikelola oleh negara, dan tidak boleh dikuasai pihak swasta atau asing. Apakah pemerintah ingin membungkam kritik HTI?
3. Hari ini Indonesia dijerat neoliberalisme, dan neoimperialisme. Neoimperialisme adalah penjajahan gaya baru. Kalau dulu Indonesia dijajah secara fisik dan militer, kini Indonesia dijajah dengan intervensi mereka di bidang politik, yakni demokratisasi. Sistem politik demokrasi inilah yang menjadi pintu masuk penjajahan Barat. Mereka, para kapitalis, memanfaatkan Pilkada, Pemilu dan Pilpres untuk menempatkan antek-antek mereka di Eksekutif dan Legislatif. Kini telah terbukti, ada puluhan UU yang draft-nya dibuat oleh pihak asing seperti UU Migas, UU PMA, UU Kelistrikan, UU SDA, UU Perbankan dan sejenisnya yang jelas-jelas telah meliberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia.
4. HTI telah hadir dengan tegas mengkritik dan menentang segala bentuk penjajahan, terutama penjajahan yang terus berlangsung hingga saat ini di Indonesia dan di berbagai negara, yakni penjajahan ideologi Kapitalisme. Ruh menentang penjajahan sesungguhnya sudah tercermin ketika pendiri Hizbut Tahrir, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, bersama kitab-kitab yang diterbitkannya. keberadaannya untuk membebaskan dunia Islam termasuk Indonesia dari berbagai macam penjajahan, baik penjajahan militer, politik, ekonomi hingga budaya. Apakah Wiranto gagal paham soal HTI setelah membaca tulisan ini?
from Pojok Aktivis