Oleh: Lailin Nadhifah
(Lingkar Studi Perempuan Dan Peradaban)
Mediaoposisi.com-Kontroversi kebolehan kampanye negatif antar elit politik bersahut sahutan semakin membuat bising lalu lintas politik jelang 2019 ini.
Berawal dari pernyataan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman meminta kepada kader dan para calon anggota legislatif dari partainya untuk memperbanyak kampanye positif. Namun, dia juga mempersilakan kader memainkan kampanye negatif.
"Saya dalam beberapa kesempatan 80 persen dalam kampanye kita, harus positiv campaign. Silakan antum masuk ke negative campaign, cukup 20 persen," kata Sohibul dalam pidato di acara Konsolidasi Akbar Nasional PKS di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Minggu (14/10).
Komisioner KPU Ilham Saputra menanggapi pernyataan Shohibul Iman, dengan tanggapan tidak sepakat dengan anjuran taktik kampanye negatif dalam Pemilihan Umum 2019. Menurut dia hal itu tidak sesuai dengan peraturan yang ada. "Ya kalau kemudian kampanye negatif itu menjelek-jelekkan orang, menyebarkan hoaks ya tak sesuai dengan peraturan kita dong," ucap Ilham di kantor KPU, Senin (15/10).
Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief mengklaim, tidak akan melakukan kampanye negatif. Dengan yakin, dalam cuitannya Andi Arief menyatakan "Partai Demokrat tidak akan memilih kampanye negatif dalam Pileg dan Pilpres 2019 nanti," kata Andi melalui akun twitternya @AndiArief_ Senin (15/10).
Tanggapan santai namun terkesan mendukung kampanye negatif disampaikan oleh Jusuf Kalla. Katanya, kampanye negatif ibarat bermain bukutangkis. Menurut JK, kampanye negatif memang sulit dihindari karena memuat kekurangan lawan.
"Itu intinya fakta, karena politik itu kayak main bulu tangkis. You dapat poin kalauyou smash-nya benar. Tapi juga dapat poin kalau lawannya kita salah," ujar JK di kantor wakil presiden, Jakarta, Selasa (16/10).
Mahmud MD pun berpendapat sama dengan Jusuf Kalla, dalam cuitannya menanggapi “Kampanye negatif tidak dilarang, dan tidak dihukum karena memang berdasarkan fakta, dan yang bisa dihukum adalah kampanye hitam,” kata Mahfud MD lewat akun Twitter nya @mohmahfudmd, Minggu, 14 Oktober 2018.
Kontroversi dalam politik demokrasi selalu muncul, bahkan menjadi keharusan. Slogan, tiada sahabat yang murni dan tiada musuh yang abadi, yang ada hanya kepentingan sejati, mewakili aura “najis” politik demokrasi. Kepentingan yang bermakna kekuasaan, harta, itulah sumbu putarnya. Apapun cara meraihnya, jikapun dibutuhkan musuh dirangkul, sahabat dipukul, saudara ditendang maka akan dilakukan.
Karut marut kehidupan rakyat bukan persoalan bagi mereka. Justru penderitaan tersebut lahan subur untuk mendongkrak elektabilitas para elit politik demokrasi. Entah sebagai ajang pencitraan, bisa juga sebagai basis dukungan suara ataupun penderitaan tersebut dieksploitasi untuk menjatuhkan lawan politik. Sungguh naif dan kotor.
Berbanding terbalik dengan politik Islam. Islam, sebagai ideologi samawi, ideologi yang sempurna dan paripurna, dengan azasnya aqidah Islam. Menjadikan aktivitas politik adalah aktivitas mulia. Tidak menjadikan kekuasaan sebagai tujuan politik. Namun kekuasaan adalah jembatan untuk menegakkan semua aturan yang termaktub dalam syari’at.
Definisi politik menurut Islam adalah pengurusan urusan kehidupan rakyat, dalam maupun luar negeri. Pengemban politik Islam sejatinya, mereka menerjunkan diri menjadi “budak” Allah Ta’ala, memastikan hanya syari’atlah tempat rujukan pengaturan urusan kehidupan rakyat.
Politik Islam jauh dari kebisingan dan perebutan tahta dan harta apalagi wanita. Kedamaian dibawah naungan syari’at menjadi tujuan utamanya. Ridha dan bencinya adalah keridhoan Sang Khalik, sebagaimana Rasulullah bersabda :
"Barangsiapa di pagi hari perhatiannya kepada selain Allah, maka Allah akan berlepas dari orang itu. Dan barangsiapa di pagi hari tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin)".
Selayaknyalah kaum muslimin kembali kepada kesadaran politik dengan kerangka pandang yang sesungguhnya kemudian berupaya mewujudkan kelompok-kelompok politik yang mengemban dakwah Islam dan beraktivitas untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam di bawah kekuatan negara Khilafah. Demikian bila kaum muslimin mau kembali pada makna politik yang sesungguhnnya.[MO/sr]