Oleh: Siti Nufadilah
Mediaoposisi.com-“Apa yang terjadi?” Mungkin itu pertanyaan dalam benak sebagian masyarakat Indonesia yang sadar. Seakan tiada henti berbagai problematika yang menyelimuti Negara kita. Semakin majunya teknologi semakin luas kesempatan untuk menebar kebencian terhadap suatu kelompok, suku, bahkan agama.
Dalam lebih 40 tahun terakhir, kasus penodaan agama di Indonesia kian marak, disaat masyarakat ‘gila’ teknologi saat itulah para penoda beraksi. Istilah secepat kilat mungkin benar, karena pada kenyataannya munculnya kata viral ditandai dengan banyaknya pengguna melihat suatu konten. Ketika konten menyebar suatu kebencian itu viral sebuah keberhasilan bagi kaum sekuler.
Pekan lalu tepatnya pada perayaan hari santri nasional, Indonesia kembali di gemparkan dengan beredarnya sebuah video pembakaran bendera hitam bertuliskan kalimat tauhid oleh sekelompok anggota di Garut, Jawa Barat yang membuat umat Islam menangis dan mengecam para pelaku. Pembakaran dilakukan untuk menghormati dan menjaga kalimat tauhid.
Hal itu dilakukan agar tulisan tersebut tak terinjak-injak dan terbuang di tempat yang tak semestinya itulah alasan mereka. Baahkan Ketua Umum PP GP Ansor menyebutkan bahwa yang dilihat oleh kelompoknya pada saat itu ialah melihat bendera tersebut adalah bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Sejumlah aktivis ormas Islampun tidak diam, berbagai aksi bela tauhid dilaksanakan di beberapa titik di seluruh Indonesia, menuntut pemerintah dan Pengurus Besar (PB) Nahdlatul Ulama agar mengakui benda yang dibakar di Garut adalah bendera tauhid, bukan bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Lalu bagaimana pemerintah menyelesaikan kasus tersebut?
Ternayata pemerintah dinilai setengah hati meredam problematika itu. Pasalnya, Front Pembela Islam (FPI) yang gencar memprotes pembakaran bendera dan memotori Aksi Bela Tauhid pada Jumat (26/10), tak diundang pada pertemuan dengan Wakil Presiden.
"Kalau mau mendinginkan suasana tentunya mereka [FPI] harus dipanggil. Setengah hati ini.! Mesti ada kesepakatan bersama, kalau cuma ada kesepakatan kaya kemarin ya, sama aja benih-benih perpecahan tak akan selesai," kata pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah
Kemudian bagaimana bentuk penyelesaian masalah tersebut?. Polda Jawa Barat dan Polres Garut telah melakukan gelar perkara terbuka kasus pembakaran bendera bertuliskan lafaz kalimat Toyyibah, hasil gelar perkara polisi itu menyatakan tidak bersalah kepada tiga orang pelaku pembakar bendera di Garut itu.
“Terhadap tiga orang anggota Banser yang membakar tidak dapat disangka melakukan perbuatan pidana karena salah satu unsur yaitu niat jahat tidak terpenuhi,” kata Karopenmas Mabes Polri Brigjen Dedi Prasetyo kepada Republika.co.id pada Kamis (25/10).
Pada akhirnya yang menjadi incaran dan dijadikan sebagai sumber datangnya masalah ialah pembawa bendera tauhid di Garut pada saat itu.
Hal ini sudah jelas menunjukan bahwa rezim saat ini membela para menoda agama. Masyarakat harus sadar bahwa jika penodaan agama dibiarkan tanpa hukuman yang seharusnya justru akan mengkriminalisasi ajaran Islam dan memecah belah umat.
Sudah saatnya masyarakat melek akan ketidakadilan ini, angkat aksi nyata atas penindasan terhadap Islam. Viralkan juga bendera tauhid ialah milik kita Umat Islam seluruh dunia. Sudah seharusnya hukum Islam diterapkan di bawah institusi Islam agar menutup celah penodaan agama. Celah penodaan ini hanya akan hilang kalau Umat Islam ada yang membelanya. Kalau diam sama saja setan yang bisu.[MO/sr]