-->

Pengibulan Dibalik Bagi-Bagi Sertifikat Tanah Gratis

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen


Oleh : Azizah Aminawati
(Mahasiswi Universitas Jember)

Mediaoposisi.com-"Ini pengibulan, waspada bagi-bagi sertifikat, bagi tanah sekian hektare, tetapi ketika 74 persen negeri ini dimiliki kelompok tertentu seolah dibiarkan. Ini apa-apaan?" ujar Amien Rais.

Mantan ketua MPR, Amien Rais mendadak dibanjiri kritik oleh beberapa pejabat tinggi negara. Pernyataan beliau dalam acara diskusi di Bandung, Minggu (18/3/2018) itu dilontarkan setelah beberapa hari yang lalu Jokowi melakukan kegiatan bagi-bagi sertifikat tanah secara gratis kepada masyarakat. Hal tersebut dinilai oleh politisi senior PAN sebagai bentuk kebohongan atau pengibulan mengingat ada 74 persen tanah di negeri ini justru dikuasai asing.

Sontak pernyataan tersebut menjadi kontroversi. Bahkan cara pemerintah yang justru menyikapinya dengan emosi menyulut tanda tanya besar ditengah masyarakat terkait kebenaran pernyataan Amien Rais. Salah satunya dari Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Indonesia yang sempat mengancam akan membuka dosa Amien Rais. 

Luhut Binsar Panjaitan juga mengatakan,“Jangan asal kritik aja. Entar kalau jadi pejabat, saya tahu track record-nya kok. Background saya spion juga. Kalau kau ngerasa paling bersih, kau boleh ngomong.”

Program pembagian sertifikat tanah kepada masyarakat dilakukan pemerintah untuk meminimalisir sengketa tanah, baik antar individu dengan individu atau individu dengan perusahaan. Sekilas kegiatan ini memihak kepada rakyat mengingat di Indonesia proses pengurusan sertifikat tanah terbilang rumit.

Pernyataan Amien Rais tersebut sejatinya bukan kali pertama yang terlontarkan di tengah masyarakat. Statement yang lebih menggemparkan juga pernah disampaikan oleh Buya Syafii Maarif.

Menurut dia, 93 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh asing. Dia merinci 80 persen dikuasai konglomerat domestik dan 13 persen dikuasai oleh konglomerat asing.
"80 persen tanah dikuasai konglomerat domestik. 13 persen dikuasai konglomerat asing," ujar Buya Syafii Maarif saat ditemui di rumahnya, DIY, Jumat (23/3). (merdeka.com)

Kegeraman pemerintah harusnya didukung dengan data yang jelas. Mengingat baik pernyataan Amien Rais maupun Syafii Maarif adalah bukan sebuah omong kosong belaka, namun berdasarkan data yang mereka dapatkan dari Bank Dunia. Selain itu, bukankah kritik adalah suatu hal yang sah-sah saja di negara Indonesia. Maka, semestinya bukan disikapi dengan emosi, tapi harus didudukkan berdasarkan bukti.

Permasalahan terkait kepemilikan tanah seakan tidak ada habisnya di negeri ini. Tidak jarang banyak sekali masyarakat terpaksa kehilangan tempat meneduh mereka hanya karena tidak bisa memberi bukti sertifikat kepemilikan tanah.

Hal ini terjadi karena diterapkannya sistem kapitalis di negeri ini. Sistem yang hanya mengarah pada profit dan keuntungan belaka. Sehingga lahirlah pribadi-pribadi yang rakus akan materi. Selagi itu bisa menguntungkan diri mereka, sekalipun harus menjarah kepemilikan umum akan tetap mereka lakukan. Padahal, Islam telah lama mendudukkan problem yang hari ini kian merumit ini dengan solusi yang tepat.

Rasulullah SAW, pernah bersabda bahwa manusia berserikat dalam tiga hal, padang rumput, air dan api. Persoalan terkait tanah ini sejatinya termasuk dalam kategori padang rumput. Maka hendaknya tidak ada monopoli dalam ketiga hal tersebut, termasuk tanah untuk kepentingan pribadi atau swasta.

Mengingat ketiga hal tersebut adalah kepemilikan umum yang seharusnya digunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan rakyat. Dengan solusi yang demikian, pengaturan tanah atau lahan yang tepat akan berdampak baik juga bagi masyarakat, seperti mengatasi masalah kemiskinan dan juga problem lainnya.

Dalam Islam, negara juga berkewajiban secara langsung melakukan pendistribusian harta kepada individu yang membutuhkan. Misalnya, negara memberikan sebidang tanah kepada seseorang yang mengelolanya. Bahkan, setiap individu berhak menghidupkan tanah mati, dengan menggarapnya; yang dengan cara itu dia berhak memilikinya. Sebaliknya, negara berhak mengambil tanah pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut.

Maka jangan heran bila problematika terkait kepemilikan tanah tak kunjung menemui titik terang, karena sesuatu yang harusnya dimiliki secara umum malah dikuasai segelintir tangan. Dan solusi darinya juga tidak cukup hanya dengan bagi-bagi sertifikat pada tanah yang katanya sudah dikuasai oleh asing ini. [MO/sr]



Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close