Oleh: Dwi P. Sugiarti
(Ibu Rumah Tangga, Aktivis Revowriter)
Mediaoposisi.com-Kabar duka menyelimuti keluarga seorang Ulama Jawa Barat. Peristiwa pernganiayaan Ulama hingga berujung pada kematian mendadak menjadi sorotan media.
Ustadz Prawoto, komandan Brigade Persatuan Islam menjadi korban penganiayaan seorang yang diberitakan gila. Beliau meninggal dunia pada sore hari setelah sebelumnya sempat dilarikan ke Rumah Sakit Santosa di daerah Kopo, Bandung. Menurut kesaksian, korban dianiaya dengan menggunakan linggis. (www.republika.co.id, 02/02/2018)
Beberapa hari sebelumnya, seorang ulama Pengasuh Pondok Pesantren Al Hidayah Santiong, K.H Emon Umar Basri juga dianiaya oleh orang gila. Menurut kesaksian, beliau dianiaya di dalam Masjid Al Hidayah Santiong Cicalengka, Bandung sekitar pukul 05.30. beruntung beliau berhasil kabur dan pelaku sudah tertangkap (www.portal-islam.com, 02/02/2018)
Kejadian ini tentu menjadi pertanyaan besar siapa yang bisa disalahkan dari kasus ini? Apalagi kondisi kejiwaan yang tidak waras atau gila bisa menjadikan pelaku terbebas dari jerat hukum. Hal inipun dijelaskan dalam pasal 44 KUHP bahwa “Seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana jika cacat kejiwaan atau terganggu karena penyakit” dan pasal 48 KUHP yang menyebutkan “Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.”
Kejanggalanpun muncul sebab kejadian tersebut terjadi dalam waktu yang berdekatan. Disisi lain pelaku adalah orang yang memiliki gangguan kejiwaan. Bagaimana mungkin orang gila tiba-tiba datang menyerang hingga kemudian memiliki keinginan untuk membunuh? Apakah pelaku memang gila atau hanya pura-pura gila atau memang pelaku telah dicuci otaknya hingga ia tega menganiaya manusia yang dimuliakan umat. Sebab seolah-olah pelaku sudah terarah untuk melakukan hal tersebut.
Diluar hal itu, akhir-akhir ini pemberitaan mengenai ulama terus bergulir. Dari mulai kriminalisasi ulama lewat penjegalan dan penangkapan Ulama, pengaturan terhadap isi ceramah hingga mengenai pernyataan Kapolri Tito bahwa hanya ormas NU dan Muhamadiyah yang punya kontribusi dalam perjuangan NKRI dan yang terbaru adalah kabar duka dari ulama kami.
Entah ada motif apa dan siapa dibalik ini semua, namun hal ini seolah berkaitan dengan perjuangan umat islam terutama ulamanya yang teguh dalam mendakwahkan islam. Apalagi persoalan seperti ini selalu kental untuk dikaitkan dengan islam. Seolah ada “jubah hitam” yang ingin dilabelkan pada islam dan pengembannya agar umat ini terpecah belah.
Sebuah pertanyaan besarpun muncul, kemanakah para penguasa negeri ini? Bukankah mereka seharusnya menjadi ”payung besar” yang melindungi rakyatnya? Kemanakah pemimpin negeri ini disaat ulama kami dikriminalisasi dan dimusuhi? Dimanakah mereka ketika ulama dianiaya hingga dibunuh oleh orang tak bertanggungjawab?
Hari ini seolah orang yang menyampaikan kebenaran menjadi orang yang paling ditentang dan dimusuhi rezim. Mungkin benarlah apa yang pernah disampaikan oleh Waraqah Naufal kepada Rasulullah diawal kenabiannya
“ Tidak ada seorangpun yang datang membawa kebenaran seperti yang kamu bawa, melainkan pasti dimusuhi.” (HR. Bukhari)
Terbukti selama 23 tahun Rasul mendakwahkan kebenaran islam, seringkali difitnah, diejek, didiskreditkan, diboikot bahkan hampir dibunuh oleh orang kafir dan munafik. Memang ulama bukanlah seorang Nabi dan Rasul tetapi mereka adalah pewaris para Nabi. Rasulullah s.a.w bersabda dalam sebuah hadits
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi, Para nabi tidaklah mewariskan uang dinar dan tidak pula uang dirham. Hanya saja mereka mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mewarisinya berarti dia telah mendapatkan keuntungan yang sempurna.“ (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Imam Hasan Al Bashri juga pernah menegaskan dalam sebuah nasehatnya “ Kalau tidak ada ulamaniscaya manusia seperti binatang.”(Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah Al Maqdisi hal. 15, cetakan maktabah dar Bayan).[MO/sr]