Oleh: Tri Setiawati,S.Si
(Penulis adalah Pemerhati Perempuan dan Generasi)
Arief mengatakan terdapat tiga kategori tingkat paparan radikalisme dari 41 masjid tersebut. Pada kategori rendah ada tujuh masjid, 17 masjid masuk kategori sedang dan 17 masjid masuk kategori tinggi. Selain itu, Arief menjelaskan secara keseluruhan dari hasil pendataan BIN, ada sekitar 500 masjid di seluruh Indonesia yang terindikasi terpapar paham radikal.
Disamping persoalan masjid, BIN juga menyoroti degradasi idiologi yang tengah terjadi. Persoalan utamanya kata dia adalah meningkatnya konfik sosial berupa agama dan SARA, serta konten provokatif yang beredar di media massa.
Arif mengatakan riset itu pun menemukan tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) yang terindikasi terpapar radikalisme. Ada pula sebanyak 39 persen di 15 provinsi tertarik dengan faham radikal. Diantaranya di Privinsi Jawa Barat, Lampung, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah
Setelah jargon terorisme tidak laku, kini jargon baru digunakan untuk menyerang Islam.
Istilah radikal tentunya sudah tidak asing lagi, terminologi radikal yang membentuk istilah radikalisme, awalnya berasal dari bahasa latin radix, radices, yang artinya akar (roots). Istilah radikal dalam konteks perubahan kemudian digunakan untuk menggambarkan perubahan yang mendasar dan menyeluruh. Berpikir secara radikal, artinya berpikir hingga ke akar-akarnya. (Taher, 2004:21).
Istilah radikal kemudian menjadi alat propaganda yang digunakan untuk kelompok atau negara yang berseberangan dengan idiologi dan kepentingan Barat. Julukan “Islam radikal” kemudian digunakan secara sistematis untuk menyebut pihak-pihak yang menentang sistem idiologi Barat (Kapitalisme, Sekulerisme, dan Demokrasi), ingin memperjuangkan syariah Islam, dalam institusi penerap Islam kaffah, menginginkan eliminasi Negara Yahudi dan melakukan jihad melawan Barat.
Radikalisme dikaitkan dengan perjuangan menegakkan syariah dan Islam Kaffah. Keinginan umat Islam untuk dapat kembali melanjutkan kehidupan Islam sebagai solusi atas problematika umat dengan menegakkan syariah dan Islam kaffah dianggap sebagai tindakan yang mengusung radikalisme.
Perjuangan mewujudkan syariah Islam dalam institusi penerap Islam kaffah dianggap sebagai tindakan diskriminatif, rasis dan ‘fear label’ lainnya. Dengan pemahaman yang dangkal, pihak- pihak yang terusik dengan perjuangan menerapkan syariah Islam menganggap bahwa ada bagian dari syariah Islam yang bersifat diskriminatif.
Pemahaman yang dangkal yang dibalut dengan frame sekulerisme Barat yang telah menstigma Islam sebagai enemy melahirkan tuduhan terhadap firman Allah SWT yang mulia. Ayat-ayat Alquran dan al-Hadist yang menyerukan perintah jihad fi sabilillah dianggap sebagai seruan radikalisme.
Kemuliaan jihad dan pujian bagi para syuhada dianggap sebagai glorifying violence (mengagungkan kekerasan). Merekapun menuduh bahwa bibit radikalisme justru ada dari inti ajaran Islam itu sendiri.
Sekulerisme Barat juga telah mendiskreditkan segala bentuk pemikiran yang masih dibalut dengan agama. Sekulerisme mengharuskan fasl ad-din ‘an al-hayah (memisahkan agama dengan aspek kehidupan).
Radikalisme pun dituding lahir dari paradigma berpikir yang masih menghubung-hubungkan kehidupan ini dengan nilai-nilai agama. Manusia tidak bisa ‘pure’karena diikat dengan doktrin agama yang tidak netral, tidak inklusif. Dengan demikian lahirlah manusia-manusia yang memiliki pemikiran yang sempit, tidak terbuka, tidak mau menerima perbedaan/heterogenitas.
Walhasil, sekulerisme melahirkan pejabat yang tidak lagi bertakwa ketika duduk di kursi jabatannya. Tidak aneh bila muncul koruptor dan penindas rakyat, karena ketakwaannya tersimpan di tempat-tempat ibadah. Akhirnya, sekulerisasi ini menghasilkan kemudharatan dan ancaman terbesar bagi eksistensi negeri ini. Karena ide ini produk barat, pastilah barat yang menikmati hasilnya. Inilah bentuk penjajahan gaya baru, neo imperialism. (Media Umat).
Perubahan menuju tegaknya syariah dan Islam kaffah harus dilakukan secara mendasar dan menyeluruh. Pemahaman keliru tentang syariah dan Islam kaffah, yang sepotong-sepotong dan tidak utuh, justru akan melahirkan kekeliruan terhadap apa yang dimaksud dengan syariah dan Islam kaffah. Akibatnya, ini justru akan menjauhkan dari cita-cita penegakkan syariah dan Islam kaffah itu sendiri.
Perubahan menuju tegaknya syariah dan Islam kaffah pun harus dilakukan dengan membangun kesadaran masyarakat serta membangun dukungan dari ahlul quwwah. Karena masyarakat atau umatlah pemilik yang hakiki perubahan ini. Tanpa kesadaran mereka, perubahan hanyalah kesia-siaan. Ahlul quwwah adalah pengikat dari proses perubahan . merekalah kunci umata, kepercayaan umat dan sandaran umat. [MO/sr]