Oleh : Silvia Mi’raj, S.Farm
Mediaoposisi.com- (Refleksi Hari Anak Sedunia)
Peringatan hari anak sedunia nyatanya hanya seremonial belaka. Terpenuhinya keamanan, kenyamanan dan hak-hak anak lainnya seolah jauh panggang dari api. Dari hari ke hari, Indonesia khususnya Garut dilingkupi permasalahan yang bertubi, generasi penerus kini sedang ‘sekarat’.
Mulai dari kekerasan hingga tersebarnya aksi penculikan yang meresahkan para orangtua. Belum lagi permasalahan lain seperti seks bebas, krisis moral dan sebagainya. Tentu hal ini membuat kita merasa miris sekaligus sedih melihat peristiwa yang datang silih berganti menimpa anak-anak.
Seperti dilansir Tribunnews, Komisi Nasional Perlidungan Anak beberapa waktu lalu mengatakan ada tiga daerah yang memiliki tingkat kasus kekerasan terhadap anak cukup tiinggi, yakni Sukabumi, Karawang dan Garut.
Di Garut, sepanjang Januari-Juli 2018 saja sudah ada 35 kasus kekerasan yang dilaporkan ke Dinas P2KBP3A. Didominasi oleh kasus kekerasan seksual yang dilakukan orangtua atau kerabat dekat sang anak. Menurut Kepala Dinas P2KBP3A, Toni T Somatri jumlah ini belum semuanya terungkap, banyak masyarakat yang malu dan enggan untuk melaporkan masalah tersebut.
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam Laporan 4 Tahun Pemerintahan Jokowi – Jusuf Kalla, pada 2016 jumlah kasus kekerasan tercatat 11.723 kasus. Sementara, pada 2017 sebanyak 17.099 kasus. Selisih kenaikan menjadi 5.376 kasus. Jumlah korban pada 2017 lebih banyak yakni 18.507 orang, pada 2016 sebanyak 12.674 orang. Jumlah korban naik 5.833 orang.
Terkait masalah isu penculikan anak yang meresahkan selama 2018 ini, terlepas dari adanya pihak yang mengatakan bahwa berita yang beredar itu kebanyakannya hoaks. Namun, pada kenyataannya memang kasus ini banyak terjadi bahkan hampir dari tahun ke tahun terus meningkat.
Seperti dilansir Jawa Pos, sesuai data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), sepanjang 2015 terjadi 87 kasus penculikan dan kehilangan anak. Tahun selanjutnya, kasus penculikan dan kehilangan anak bertambah menjadi 112 kasus. Pada 2017 jumlah kasus penculikan dan kehilangan anak naik lebih drastis menjadi 196 kasus.
Tidak bisa dipungkiri permasalahan yang membelit anak-anak, perempuan dan masyarakat umumnya, memang sangat sering terjadi di bumi pertiwi. Upaya yang dilakukan pemerintah sampai saat ini belum membuahkan hasil yang berarti. Bahkan cenderung kian bertambah dan membuat kita semakin sakit hati. Kasus-kasus diatas hanya sekelumitnya saja namun yang lebih besar justru tidak terlihat ibarat gunung es.
Di alam Demokrasi hari ini yang diutamakan hanya kepentingan kelompoknya saja, para tuan kapitalis yang memiliki modal besar. Sedangkan rakyatnya dijadikan sebagai ‘pekerja’ dan komoditas penghasil uang, pemerintah adalah tuannya. Mereka berdiri pada asas manfaat dan kesenangan materi.
Sehingga fokus para pemangku kekuasaan hanya pada pemodal tadi bukan mengurusi rakyatnya dengan baik. Hukum yang tumpul dan lembek, kontrol yang kurang, serta keimanan yang luntur membuat masalah kian besar. Mereka menjadi abai dan salah urus, lupa akan akhirat dan terlenakan akan gemerlap dunia.
Bahkan kita lihat rezim yang justru menjadi trouble maker terbesar, menjadi ‘teladan’ utama misalnya saja dalam isu penculikan yang diduga kebanyakannya adalah hoaks. Waktu lalu ada pemangku kebijakan yang mengatakan hoaks yang membangun itu boleh, kan aneh.
Permasalahan diatas terjadi akibat kompleksnya masalah yang berakar dari sekulerisasi negara (memisahkan agama dari negara/politilk). Negara tidak diurus dengan aturan dari Sang Pencipta melainkan hukum buatan manusia. Sedangkan manusia tempatnya salah dan lupa, ia lemah dan terbatas. Bahkan ia tidak mampu memahami sepenuhnya apa yang ada di dalam dirinya. Sehingga sangat keliru jika mengurus rakyat banyak didasarkan hanya pada kejeniusan manusia yang terbatas.
Islam memandang setiap pemecahan masalah selalu dalam kacamata akidah. Keimanan kepada Allah menjadi landasan utama. Membangun keluarga hingga membangun sebuah negara harus berdasar pada aturan Pencipta, Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Permasalahan diatas harus diselesaikan dengan sinergi yang baik dan selaras antara 3 pilar penting yaitu ketaqwaan Individu, kontrol masyarakat dan penerapan aturan yang dilaksanakan negara. Ketiga pilar tadi yang kesemuanya bersandar pada aturan Al-Khaliq akan melahirkan masyarakat dan generasi yang cerdas dan bertaqwa.
Kemudian, Islam pun akan menjamin dan menjaga generasi untuk tumbuh dengan baik, mendapatkan keamanan dan kenyamanan. Karena Islam amat memperhatikan dan peduli dengan generasi penerus masa depan. Didukung dengan terpenuhinya jaminan akan sandang, pangan dan papan oleh negara dengan mengoptimalkan pos pos pendapatan yang ada. Pendidikan dan kesehatan yang terjangkau bahkan gratis akan memperkuat stabilitas masyarakat, sehingga kriminalitas dapat diminimalisir.
Maka, sudah saatnya kita beralih dari sistem buatan manusia kepada sistem buatan Sang Pencipta yaitu Islam yang terbukti sudah 13 abad lamanya menjadi mercusuar dunia, berhasil menebar rahmat ke seluruh alam. [MO/sr]
.