-->

Kekacauan Penanganan Ketersediaan Pangan: Masihkah Rezim Enggan Menoleh Islam Sebagai Solusi?

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen

Oleh:Karina Fitriani Fatimah ST. MSc.
(Lulusan Master of Applied Computer Science, Albert-Ludwigs-Universität Freiburg Germany)

Mediaoposisi.com-Lagi-lagi solusi jangka pendek yang ditawarkan pemerintah dalam mengatasi langkanya ketersediaan pangan di Indonesia adalah dengan pengadaan pangan ‘dadakan’ menggunakan skema impor.

Pemerintah berencana melakukan impor sebanyak 100.000 ton jagung pada akhir tahun ini. Sekalipun pada Februari mendatang akan terjadi panen besar, pemerintah tetap akan melakukan impor sebagai bentuk pengendalian harga jagung yang diprediksi akan semakin merangkak naik sepanjang akhir tahun.

Menteri Pertanian, Amran Sulaiman, menjelaskan bahwa penyerapan hasil produksi jagung lokal oleh perusahaan besar telah mengambil jatah pakan ayam, yang utamanya berbahan dasar jagung, untuk peternak kecil.

Dikatakan kemudian oleh Amran bahwa perusahaan-perusahaan besar kini tidak lagi mencampur gandum dan jagung untuk pakan ternak, yang mengakibatkan perusahaan-perusahaan tersebut memborong jatah jagung petani kecil secara massif.

Harga gandum yang semakin mahal pun menjadi alasan utama perusahaan-perusahaan besar untuk melakukan penimbunan jagung guna memenuhi kebutuhan pakan unggas. Hal inilah yang disinyalir menyebabkan naiknya harga jagung lokal di pasaran, dan membuat peternak kecil kian menjerit.

Dari kasus ini kita dapat melihat bagaimana sistem ekonomi kapitalis, yang sejatinya dianut oleh Indonesia, memfokuskan arah pandangnya pada bagaimana negara dapat memenuhi kebutuhan pasar dengan tetap menjaga stabilitas harga di lapangan.

Oleh karenanya adalah wajar jika solusi yang ditawarkan oleh penguasa negeri ini adalah solusi-solusi yang esensinya hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara temporal melalui skema impor pangan. Namun sampai kapan pemerintah bisa melakukan hal tersebut? Tidak adakah solusi lain yang bisa menyelesaikan permasalahan pangan Indonesia secara hakiki tanpa harus melakukan operasi tambal sulam dengan cara terus-menerus membuka keran impor?

Sistem ekonomi kapitalis beranggapan bahwa negara sejatinya hanyalah fasilitator dan regulator dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Kewajiban negara dalam masalah pangan khususnya, adalah sebagai pengendali harga pasar semata. Sedangkan mekanisme produksi, pengadaan lahan pertanian, dan distribusi atau penyaluran bahan pangan sepenuhnya diserahkan pada pasar.

Sistem ekonomi semacam ini tidak akan mau ambil pusing tentang bagaimana kewajiban penguasa mengurusi dan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Yang ada hanyalah pemerintah yang cukup menutupi kekurangan bahan pangan, yang bisa terjadi karena musim kemarau atau gagal panen misalnya, dengan solusi jangka pendek semisal impor.

Jika kita telaah lebih jauh, setidaknya ada dua kemungkinan yang mengakibatkan Indonesia selalu berputar pada permasalahan yang sama dalam masalah pangan. Kemungkinan pertama, jumlah pangan tidak mencukupi kebutuhan seluruh penduduk sehingga memaksa sebagian pihak untuk tidak mendapatkan jatah.

Kemungkinan kedua, jumlah pangan sebenarnya cukup, akan tetapi harga ataupun distribusinya tidak dapat dijangkau oleh masyarakat secara keseluruhan yang mengakibatkan sebagian orang tidak mampu mendapatkan kebutuhan pangan yang memadai.

Apabila kemungkinan bahwa jumlah pangan tidak mencukupi kebutuhan menjadi alasannya, seharusnya negara Indonesia yang terkenal kaya akan sumber daya alam yang melimpah tidak akan mengalami permasalahan krisis pangan. Lahan pertanian Indonesia yang mencapai 1.811.570 km2 seharusnya mampu menghantarkan Indonesia menuju negara swasembada. Namun sayangnya, pada tahun 2013 saja tercatat sudah 30 juta hektar lahan potensial yang menganggur di Indonesia yang berarti potensi pangan Indonesia tidak teroptimalkan (finance.detik.com, 14/06/13).

Ditambah lagi dengan alih fungsi lahan yang mengkonversi lahan pertanian menjadi lahan pembangunan non-pertanian, seperti kawasan perumahan, industri, jalan, dan sarana publik lainnya.

Sedangkan untuk kemungkinan kedua dimana harga dan distribusi pangan tidak dapat dijangkau oleh masyarakat, maka diperlukan penelaahan mendalam untuk mengurai permasalahan ini. Jika yang dipermasalahkan adalah harga pangan, maka hal ini dapat diselesaikan dengan daya beli masyarakat yang tinggi. Sayangnya, sistem ekonomi kapitalis memunculkan jurang yang dalam antara golongan kaya dan miskin.

Seolah-olah golongan masyarakat yang tidak mampu tidak berhak untuk mendapatkan bahan pangan yang layak. Sedangkan jika distribusi pangan menjadi masalahnya, sudah barang tentu akan dapat diselesaikan dengan menerapkan sistem distribusi pangan yang cepat dan tepat sasaran. Namun sayangnya, distribusi yang buruk justru menjadi ciri utama kebijakan kapitalis.

Unsur pengendali tunggal distribusi barang dalam ekonomi kapitalis adalah harga. Sehingga hargalah yang menentukan siapa yang berhak mendapatkan barang dengan kualitas dan kuantitas tertentu, bukan disesuaikan dengan kebutuhan.

Padahal komoditas pangan adalah komoditas strategis yang mau tidak mau akan berdampak secara langsung pada hidup matinya suatu bangsa. Tidak seharusnya permasalahan pangan dianggap permasalahan sepele yang cukup diselesaikan dengan upaya tambal sulam yang selama ini dilakukan pemerintah.

Sedangkan Islam menaruh perhatian yang cukup besar dalam masalah pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Politik ekonomi islam menjadikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok (primer) setiap individu warga negara sebagai pusat perhatiannya, dengan kebolehan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pelengkap sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat.

Dari sini dapat kita garis bawahi bahwa politik ekonomi islam memfokuskan arah kebijakannya untuk pemenuhan kebutuhan rakyat per individu tanpa kecuali. Artinya, di dalam islam penguasa dan jajarannya diwajibkan untuk memperhatikan apakah setiap warga negara telah terpenuhi kebutuhan pokoknya ataukah tidak.

Politik Pertanian Islam sebagai Solusi Menyeluruh Permasalahan Pangan
Politik pertanian Islam menitikberatkan setiap kebijakannya untuk dapat secara menyeluruh memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa kecuali melalui solusi jangka panjang.

Abdurrahman al-Maliki dalam Politik Ekonomi Islam menyatakan bahwa politik pertanian Islam merupakan kebijakan pertanian yang dilakukan penguasa untuk mencapai produksi pertanian yang tinggi melalui dua metode; intensifikasi dan ekstensifikasi.

Kebijakan intensifikasi pertanian berbasis pada pengelolaan lahan pertanian, dimana tanah-tanah pertanian yang ada dimaksimalkan pengelolaannya untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Kebijakan ini dapat ditempuh dengan cara penyediaan bibit unggul, pupuk serta obat-obatan dengan harga yang dapat dijangkau oleh petani kecil sekalipun.

Jika dirasa belum cukup, pemerintah berkewajiban untuk mendorong lajur sektor pertanian melalui bantuan modal kepada petani.

Adapun kebijakan ekstensifikasi dilakukan untuk mendukung perluasan lahan pertanian. Negara akan mendorong masyarakat untuk menghidupkan tanah mati dengan jalan mengolahnya. Negara juga akan memberikan tanah secara cuma-cuma (iqtha’) kepada orang yang mampu dan mau bertani namun tidak memiliki lahan pertanian atau memiliki lahan pertanian yang sempit.

Namun bagi siapa saja yang memiliki tanah dan tidak mampu mengolahnya, Islam memberikan regulasi khusus. Tanah yang sudah ditelantarkan (lebih dari 3 tahun) dapat diambil alih tanah tersebut oleh negara dan didistribusikan kepada individu rakyat yang mampu mengelolanya.

Sebagaimana kasus tanah-tanah yang diberikan kepada orang Juhainah pada masa Rasulullah saw yang ditelantarkan lebih dari 3 tahun dan dihidupkan kembali oleh kaum lain.

Kemudian di masa Khalifah Umar bin Khattab, orang-orang Juhainah tersebut mengadukan perihal tanah pemberian Rasulullah saw yang kini dikelola dan dikuasai kaum lainnya. Menanggapi hal tersebut Khalifah Umar berkata, “Siapa saja yang memiliki tanah lalu ia telantarkan tiga tahun tidak ia gunakan, lalu orang lain menggunakannya maka orang lain itu lebih berhak atas tanah itu.” (Ibn Hajr, ad-Dirayah fi Takhrij Ahadits al-Hidayah, II/243, Dar al-Ma’rifah, Beirut)

Di sisi lain, Islam tidak memperbolehkan adanya praktek penyewaan lahan pertanian. Larangan penyewaan lahan pertanian secara ekonomi dapat dipahami sebagai upaya agar lahan pertanian dapat berfungsi secara optimal.

Artinya seseorang yang mampu mengolah lahan harus memiliki lahan, sementara siapapun yang tidak mampu dan tidak mau mengolah lahan tidak dibenarkan untuk menguasai lahan pertanian. Untuk menjamin ketersediaan pangan, negara menerapkan kebijakan yang tegas untuk mencegah upaya konversi lahan pertanian menjadi lahan-lahan non-pertanian.

Adapun daerah kurang subur dapat diperuntukkan untuk lahan perumahan dan perindustrian. Hal ini tentu sangat jauh berbeda dengan kondisi politik pertanian Indonesia, dimana para kapital (pemilik modal) bebas memonopoli lahan pertanian. Sedangkan para petani kecil yang susah payah memproduksi bahan pangan hanya dijadikan buruh tani bagi para kapital.

Selanjutnya Islam menjamin terlaksananya mekanisme pasar (perdagangan) yang baik dimana negara diwajibkan untuk menghilangkan dan memberantas berbagai distorsi pasar seperti penimbunan barang, riba, monopoli pasar dan penipuan. Hal ini menjadikan sektor perdagangan dalam Islam menjadi sehat dan mampu menyejahterakan rakyat yang bernaung dalam syariatnya.

Tidak seperti sistem ekonomi kapitalis yang membiarkan para kapital untuk menguasai pasar dan melakukan penimbunan bahan pangan yang menyebabkan kelangkaan di masyarakat.

Sementara itu, kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui pengendalian supply and demand, bukan melalui kebijakan pematokan harga yang dilakukan pemerintah Indonesia saat ini. Praktek pengendalian supply pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra di masa paceklik pada masa pemerintahannya. Ketika Hijaz (Madinah) dilanda kekeringan, Khalifah Umar melayangkan surat kepada wali Mesir, Amr bin ‘Ash, yang memerintahkan Amr bin ‘Ash untuk mengirimkan pasokan makanan ke Madinah.

Menanggapi surat tersebut Amr bin ‘Ash menuliskan, “saya akan mengirimkan unta-unta yang penuh muatan bahan makanan, yang ‘kepalanya’ ada di hadapan Anda (di Madinah) dan ekornya masih di hadapan saya (Mesir), dan aku lagi mencari jalan untuk mengangkutnya dari laut”. Dengan kebijakan semacam ini Khalifah Umar tetap mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Hijaz sekalipun tengah mengalami paceklik.

Dari seluruh pemaparan mengenai praktek politik pertanian islam, dengan jelas menggambarkan betapa pentingnya peran negara dalam menyelesaikan permasalahan pangan masyarakat. Namun nyatanya tidak sembarang negara yang mampu menerapkan politik pertanian islam secara menyeluruh.

Hanya negara yang menjalankan syariah islam secara sempurna sajalah yang dapat mengimplementasikan politik pertanian semacam ini. Negara berbasis demokrasi yang mengenyampingkan aturan Ilahi tentu tidak akan pernah bisa sejalan dengan apa yang digariskan oleh hukum-hukum Allah.

Oleh karenanya menjadi sebuah kebutuhan mendesak bagi masyarakat untuk mengembalikan permasalahan umat kepada solusi hakiki yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta dan Pengatur. Tidak lain dan tidak bukan adalah dengan menegakkan kembali penerapan syariahNya di muka bumi.[MO/sr]







Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close