Oleh: Arin RM, S.Si
"Oleh:Member TSC"
Mediaoposisi.com-Kabar duka kembali datang dari pejuang devisa di luar negeri. WNI atas nama Tuti Tursilawati, terpidana kasus pembunuhan berencana terhadap ayah majikan warga negara Arab Saudi pada tahun 2010, telah menjalani hukuman mati pada 29 Oktober 2018 di Kota Ta'if.
Menurut Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri eksekusi mati Tuti dilakukan oleh Pemerintah Arab Saudi tanpa ada pemberitahuan atau notifikasi lebih dulu kepada pihak KBRI di Riyadh maupun KJRI Jeddah (regional.kompas.com, 07/11/2018)
Kasus Tuti hanyalah satu dari banyaknya TKI bermasalah di luar negeri.
Sebelumnya cnnindonesia.com (19/03/2018), menuliskan headline “Ancaman Hukuman Mati Mengintai 167 TKI, Terbanyak di Malaysia”. Sungguh, demikian kerasnya perjuangan mengadu nasib di negeri orang. Namun jumlah buruh migran bukannya berkurang justru makin banyak tiap tahunnya.
Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri menyebut jumlah TKI berdasarkan data yang dihimpun oleh World Bank ada sekitar 9 juta per akhir 2017. 55 persennya ada di Malaysia, 13 persen di Saudi Arabia, 10 persen di China atau Taipei, dan di negara-negara lain (ekonomi.kompas.com, 23/04/2018).
Sangat disayangkan jika penanganan kasus TKI bisa kecolongan. Terlebih untuk kasus Tuti, yang bersangkutan telah menjalani status terpidana pembunuhan sejak tahun 2010. Waktu yang cukup lama untuk instansi terkait mendampingi dengan sungguh-sungguh.
Dengan memeplejari bahwa pola hukuman bagi pembunuh di Arab Saudi adalah hukuman pancung, maka seharusnya apa yang akan terjadi pada Tuti sudah bisa diprediksikan. Dan selanjutnya bisa dilakukan langkah antisipasi agar tidak terjadi hal-hal yang paling buruk. Mengingat bagaimanapun juga, permasalahan TKI adalah permasalahan WNI yang perlu diriayah oleh negara dan perwakilannya disana.
Jika kemudian sampai tidak ada notifikasi dan eksekusi telah dijalankan maka ini pun sebenarnya juga bisa diantisipasi.
Sekali lagi pola kebijakan hukum Arab Saudi harusnya sudah dipelajari dan kemudian disosialisasikan kepada seluruh TKI maupun calon TKI yang berangkat kesana. Namun, seribu sayang kenyataan di lapangan berkata sebaliknya. Padahal menurut Sekretaris Jenderal SBMI, Bobby Alwi, pada 2015 sebenarnya Pemerintah Arab Saudi sudah menyerahkan draf MoA kepada Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Ketenagakerjaan terkait payung hukum atau peraturan tentang perlindungan TKI.
Sampai sekarang draf tersebut tidak jelas nasibnya. Pembahasan di DPR sangat alot dan banyak kepentingan (nasional.sindonews.com, 26/03/2018). Elnino M Husein Mohi, Anggota Komisi I DPR dalam menanggapi kasus Tuti pun berujar secara tertulis: “Dan ini juga sebagai bukti lemahnya perlindungan pemerintah terhadap TKI," (nasional.sindonews.com, 1/11/2018).
Tersendatnya pembahasan MoA ini menunjukkan bahwa itikad perlindungan TKI masih dipertanyakan. Sementara kasus demi kasus yang menimpa dan tak bisa diselesaikan mandiri oleh TKI yang bersangkutan sebab harus berhadapan dengan negara tempatnya bekerja.
Dalih keberangkatan TKI melalui calo yang digunakan sebagai alasan bahwa data mereka tidak terdaftar sehingga tidak diketahui jika ada masalah pun tidak bisa dibenarkan.
Sebab jika sudah diketahui jumlah TKI dari tahun ke tahun meningkat, maka seharusnya pemerintah bergerak lebih sigap mengalahkan calo. Pemerintah harusnya menjadi yang terdepan dalam memberikan informasi apapun yang diperlukan bagi TKI termasuk informasi berkaitan dengan hukum. Bukankah instrument negara lebih lengkap, lebih banyak, dan lebih terstruktur jika mau digerakkan?
Jika perlindungan masih demikian, maka opini bahwa TKI hanya dijadikan alat penambah keuntungan semata bisa mendekati kenyataan. Sumbangan uang TKI sangat besar. Remintansi dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tahun 2015 menyumbang devisa negara hingga USD 10,5 miliar atau Rp 139,4 triliun.
Jumlah tersebut meningkat 24 persen dibandingkan remitansi TKI tahun 2014 yang sebesar USD 8,4 miliar. Namun lagi-lagi menurut sekjen SBMI Informasi tentang pelayanan TKI yang diberikan BNP2TKI dan dinas tenaga kerja di daerah juga masih sangat kurang. Sehingga banyak calon TKI yang menjadi korban calo dan PJTKI nakal.
Hal yang sama juga terjadi pada penanganan kasus dan bantuan hukum, kelembagaan pelayanan migrasi, peran serta masyarakat serta sistem dan pelayanan pemulangan buruh migran ke Indonesia (merdeka.com, 01/09/2016).
Padahal ini adalah problema yang melibatkan negara orang, maka negara disini juga harus ambil bagian. Terlebih pemimpin negara ini adalah muslim, yang harusnya takut pada pertanggungjawaban di hari penghisaban kelak. Sebab Nabi bersabda: "…… Abdullah bin Umar r.a. berkata bahwa Rasulullah saw telah bersabda, “Ketahuilah: kalian semua adalah pemimpin (pemelihara) dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya tentang rakyat yang dipimmpinnya…”(HR. al Bukhori).
Untuk menyelesaikan permasalahan TKI agar tidak ada yang seperti Tuti lagi di kemudian hari, harus diputus pangkal masalahnya. Yakni pemberangkatan TKI, khususnya TKW yang terbanyak. Supaya mereka tidak berangkat, maka kesejahteraan dalam negeri yang harus dibangun dan diwujudkan.
Sebab berbondong-bondongnya tenaga kerja asal Indonesia untuk pergi menjemput rezeki ke luar negeri, tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi di dalam negeri. Kemiskinan yang terstruktur dan semakin mencekik leher masyarakat di negeri ini telah pasti membuat hidup semakin susah.
Sementara akibat kemiskian itu, otomatis tidak ada jaminan untuk hidup sejahtera bagi masyarakat.
Namun, karena menggunakan kebijakan kapitalisme, kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah bukannya memerangi kemiskinan dan pengangguran tetapi memerangi orang miskin dan pengangguran.
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam sistem ekonomi ini, pemerintah harus menarik investor dari dalam dan luar negeri dan menciptakan kepercayaan pasar dengan berbagai kebijakan yang menguntungkan para investor dan merugikan masyarakat. Akibatnya tidak jarang rumah dan tanah orang-orang miskin digusur untuk kepentingan investor.
Kekayaan Indonesia yang seharusnya menjadi hak rakyat sebagai milik umum diserahkan kepada swasta dan investor luar negeri. Sementara energi pemerintah untuk memperhatikan dan memperbaiki kondisi rakyatnya habis tersedot untuk melayani kepentingan para investor (pemilik modal).
Maka akan sulit berharap kesejahteraan jika landasan kapitalisme masih dimainkan. Terlebih kesejahteraan yang berpihak pada perempuan. Sebab kapitalisme justru menjadikan perempuan bumper penggerak perekonomian dengan menariknya ke dunia kerja atas bujukan emansipasi dan harta.
Padahal negeri terbesar muslimnya ini harusnya bisa sejahtera dan menyejahterakan perempuan jika mau menggunakan aturan Islam. Perekonomian dikelola dengan sistem Islam, yang akan memustahilkan penguasaan SDA oleh asing dan hanya menyisakan secuil untuk diperebutkan anak negeri.
Pengaturan jaminan kesejahteraan Islam dengan sistem ekonomi Islamnya berupaya menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok dengan mekanisme tidak langsung yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan tersebut. Sedangkan kebutuhan pokok berupa jasa (keamanan, kesehatan dan pendidikan) dipenuhi dengan mekanisme langsung yakni penyediaan fasilitas secara langsung oleh negara.
Pengiriman TKI khususnya TKW tidak perlu dilakukan ketika sumber daya alam negara dikelola dengan benar sesuai syariat Allah. Jika hukum Allah yang dipakai, maka negeri yang sejahtera gemah ripah loh jinawi bukan lagi impian. Kesejahteraan ada di depan mata. berkah tercurah dari langit dan bumi. Tak perlu lagi mengadu nasib ke luar negeri, dan taka da lagi ancaman hukuman mati bagi TKI.[MO/an]