Oleh: Dwi P. Sugiarti
(Ibu Rumah Tangga dan Aktivis Komunutas menulis Revowriter)
Mediaoposisi.com- Tahun 2018 merupakan tahun politik. Di tahun ini Setidaknya dari 17 Provinsi yang akan mengadakan Pilkada serentak ada 56 pasangan Cagub dan Cawagub yang telah terdaftar dan sudah terseleksi. awal tahun 2018 memang banyak sekali para calon pemimpin berkoar-koar menjadi aspirator rakyat.
Bukan tanpa sebab, terlebih karena hal ini memang menjadi awal babak baru bagi para calon pemimpin daerah. Satu persatu mencari dan kemudian menggandeng untuk berkoalisi agar dapat mendulang suara. Berbagai visi misi dibuat dan mulai blusukkan semata-mata agar mendapat hati rakyat. entah benar atau tidak faktanya tak sedikit dari mereka yang kemudian tampil merakyat.
Dengan tampil sederhana sehingga bisa dipandang dekat hingga terjun ke pasar atau tempat-tempat umum kerap dilakukan. Setelah terilih para pemimpin daerah ini memanga getol mewujudkan aspirasi rakyat walaupun tidak sedikit pula yang akhirnya terjerat korupsi.
Sungguh kami sebagai rakyat jadi teringat ketika dulu pemimpin negara kami sempat menjadi seorang kepala daerah di suatu wilayah. Ia begitu dekat dengan rakyat karena dianggap mampu mewujudkan aspirasi rakyatnya bahkan ia sempat memperoleh gelar sebagai walikota terbaik. Tak tanggung-tanggung ia memperoleh penghargaan dilevel internasional.
Hingga akhirnya ia kemudian menjadi kepercayaan rakyat negeri ini untuk mempimpin sebuah negara. Jargon merakyat terus digaungkan semata-mata ingin memperlihatkan bahwa ia berbeda dengan pemimpin sebelumnya
Namun nyatanya waktu berkata lain, semakin tinggi jabatan sang raja ternyata malah membuat rakyat negeri ini sengsara. Harta rakyat dikeruk untuk kemudian dijual kepada asing, rupanya raja juga gemar berhutang. Dengan dalih sebagai bentuk kerjasama dan upaya membangun insfrastruktur demi menunjang kemajuan bangsa ini faktanya negeri ini justru lebih banyak rugi. Tak ada makan siang gratis.
Menambah hutang berarti membuat negeri ini harus tunduk pada rentenir berdasi.
Rupanya kami dibutakan oleh kaos oblong milik raja. Pesona sederhananya telah membuat padangan kami kabur hingga kami percaya padanya. Pemimpin yang kami percaya telah berdusta. Memang tak bisa dipungkiri bahwa mengurus negeri yang besar ini tak mudah. Namun pemandangan yang kami lihat rasanya sudah cukup membuktikan bahwa raja telah “menjual” negeri ini.
Belum lagi jeritan rakyat miskin karena semua serba “melangit”. Listrik, sembako, biaya sekolah hingga kesehatan tak bisa dibayar dengan harga yang sedikit. Praktek korupsi para tikus berdasi tak pernah luput dari pemberitaan media.
Kepercayaan kami lewat pemilu nyatanya telah dikhiananti. Padahal kami yang memilih langsung mereka yang duduk di panggung demokrasi. Ini bukan sekedar salah pemimpin kami. Tapi ini juga salah sistem yang hidup negeri ini.
Sistem yang mengakomodir hak rakyat untuk memilih langsung dan membuat hukum sendiri justru malah memberi kerusakan. Pemimpin kami berkhianant karena mereka memilih para cukong-cukong berduit sebab keterpilihannya karena mereka.
Kami juga yang salah menganggap demokrasi baik. Slogan “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” sehingga rakyat yang berdaulat hanyalah omong kosong.
Negeri ini mayoritas muslim. Semua pemimpin negara ini muslim namun justru mengkhianati isi dalam kitab yang menjadi keyakinannya. Al quran telah berbicara
“.....hak membuat hukum hanyalah Allah” (TQS. Al An’am : 57)
Dan Allah SWT telah memberikan peringatan
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya."
Mungkin inilah balasan bagi kami yang percaya dengan “Kaos Oblong” milik raja. [MO/sr]