Oleh: Nurul Mukhlisa
Mediaoposisi.com-Permasalahan profesi guru di Indonesia kembali mencuat di tengah momen menjelang pilpres dan pembukaan CPNS. Yang paling menonjol adalah adanya pembatasan usia dan tingkat pendidikan sebagai persyaratan bagi tenaga honorer K2 untuk naik menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara) Ribuan guru honorer kategori 2 (K2) tergabung di Forum Guru Honorer Kabupaten Bandung menggugat aturan seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2018. Mereka mempersoalkan salah satu peraturan menteri PAN RB Nomor 36 Tahun 2018 yang menjelaskan usia pendaftar guru honorer K2 di bawah 35 tahun.
Tak hanya di Kabupaten Bandung, gelombang protes yang sama dilayangkan para guru honorer di sejumlah kota lain seperti Subang, Cimahi, dan Sukabumi. (jabarekspres.com). Di Kudus dan Garut para guru honorer K2 bahkan melakukan aksi mogok mengajar demi tuntutan mereka. Salah satu pemicu mogok mengajar guru Kabupaten Garut adalah pernyataan Plt. Kepala Dinas Pendidikan Garut bahwa guru honorer adalah guru illegal. Pernyataan ini muncul dari kondisi nyata bahwa guru honorer memang tidak memiliki SK pengangkatan resmi dari pemerintah.
Guru honorer K2 adalah guru honorer yang diangkat oleh pejabat (kepala sekolah) dan tidak mendapat upah dari APBD/APBN. Usia mereka bervariasi namun umumnya lebih dari 35 tahun. Karena itu adanya batas usia sebagai syarat pengangkatan guru honorer K2 maksimum 35 menjadi hal yang meresahkan.
Rendahnya honor yang diperoleh dalam status honorer menjadi salah satu alasan tingginya harapan untuk diangkat menjadi PNS. Di samping gaji dan tunjangan profesi, guru PNS mendapat tunjangan kinerja dari pemerintah. Sementara guru honorer mendapat upah yang relatif rendah, padahal beban kerja mereka relatif sama dengan guru PNS.
Sementara itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy saat menghadiri Rapat Kerja Gabungan Komisi I,II,IV, VIII, IX, X, dan XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung DPR, Senin (4/6) menyatakan jumlah tenaga guru honorer K2 saat ini mencapai 1,53 juta orang, dari jumlah guru keseluruhan sebanyak 3,2 juta orang.
Guru di Tengah Kapitalisasi Pendidikan
Peradaban barat sekuler berupaya untuk memusnahkan wahyu sebagai otoritas ilmu tertinggi dalam pendidikan untuk kepentingan colonial mereka. Sekularisasi ilmu pengetahuan sudah menjelma menjadi musuh dalam selimut umat islam yang menggerogoti keimanan dan identitas umat. Peradaban Islam yang berdasarkan wakhyu telah pudar dan digantikan oleh peradaban meterilis ala barat.
Padahal system pendidikan yang sehat tidak akan bisa dibangun tanpa kejelasan pemahaman awal, apa yang seharusnya menjadi tujuan pendidikan dan bagaimana hasil pendidikan ini bermanfaat bagi masyarakat dan peradaban.
Dunia barat jelas memiliki kepentingan serius untuk meredam pergolokan kebangkitan islam. Mereka bergerak mengubah kurikulum bukan semata karena masalah internal Negara – negara muslim, melainkan karena kepentingan mereka untuk mempertahankan hegemoninya di negeri – negeri Islam. Banyak cara mereka lakukan untuk menekan negara- negara muslim, termasuk dengan konferensi – konferensi dialog antaragama yang secara berkala merekomendasikan perubahan kurikulum di negeri – negeri Islam untuk memberikan ruang bagi hubungan yang lebih erat antar agama – agama. Atau dalam bentuk syarat untuk menerima bantuan dari badan – badan keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Bisa juga terbentuk konferensi – konferensi tingat tinggi PBB atau lembaga – lembaga inernasional seperti UNESCO, UNICEF, dan sebagainya.
Pelajar memang hanya 20% dari keseluruhan populasi. Tetapi mereka 100% masa depan bangsa. Faktor pendidikan bertugas memastikan terwujudnya generasi-generasi penerus bangsa. Guru, sebagai salah satu komponennya membawa peranan penting dan berharga mengantarkan generasi ke masa depan yang lebih baik.
Akan tetapi saat ini kita menyaksikan fenomena menyayat sektor pendidikan, termasuk Indonesia. Fakta minimnya penghargaan ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ di tengah kapitalisasi lembaga pendidikan semakin menonjol. Penelitian yang dilakukan oleh Organisation for economic co – operation and development menyatakan 67% guru merasa tidak dihargai dengan layak, 74% mengatakan bahwa mereka tidak dibayar dengan layak dibandingkan dengan profesi yang lain. Menurut jaringan guru Guardian dan survei pekerjaan di Guardian terkait kehidupan guru, 82% guru menyatakan bahwa beban pekerjaan mereka sudah diluar batas kemampuan, 73% menyatakan bahwa pekerjaan mereka mempengaruhi kesehatan mental mereka. Sepertiga guru dilaporkan bekerja lebih dari 60 jam / minggu, 1 dari 5 orang meninggalkan pekerjaannya karena beben kerjanya tersebut (Ensiklopedia Khilafah dan Pendidikan).
Sebagai negara yang menganut pemerintahan demokrasi, sektor pendidikan pun tak lepas dari bagaimana kapitalisme memandang pendidikan dalam pengelolaannya. Inti dari pengelolaannya adalah minimnya campur tangan pemerintah dan membiarkan mekanisme pasar (korporasi) bekerja.
Perunutan kapitalisasi pendidikan dimulai dari keputusan Indonesia tunduk kepada WTO melalui perumusan General Aggrement Tariffs dan Trade (GATT). Hal ini menyebabkan jebolnya dinding-dinding proteksi negara dalam perdagangan. Dilanjut dengan dirumuskannya The Washington Consensus (1989-1990) yang salah satu butirnya tentang public expenditure. Public expenditure adalah pengarahan kembali pengeluaran masyarakat untuk bidang pendidikan, kesehatan dan infrastruktur, sehingga beban tanggung jawab pemerintah berkurang.
Di era Soeharto, Indonesia sudah menerapkan hal tersebut tertuang dalam UU no. 74 tahun 1994. Dalam era yang sama Indonesia mempersilahkan World Bank merambah dunia pendidikan. Terwujud dalam proyek-proyek berkedok program derma (sosial), University Research For Graduate Education (URGE), Development of Undegraduate Education, Quality of Undergraduate Education (QUE). Kemudian proyek berlanjut dibiayai oleh UNESCO yakni Higher Educations for Competitiveness Project (HECP) yang kemudian berevolusi menjadi Indonesia Managing Higher Education for Relevance And Efficiency (IMHERE).
Dalam system kapitalis, fungsi pendidikan adalah untuk mencetak sebanyak mungkin professional dan tenaga ahli. Ini terlihat dari survey yang dilakukan McKinsey & Co. tahun 2016 yang melibatkan 77 perusahaan dengan 6000-an responden. Hasil survey menyatakan bahwa di dunia elit korporasi kapitalis terjadi pertarungan sengit dalam memperebutkan talent – talent jenius yang jumlahnya terbatas. Ini justru merendahkan arti pendidikan, yang hanya digunakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan persaingan bisnis dan penguasaan teknologi untuk kepentingan segelintir pemilik modal bukan rakyat apalagi negara.
Adanya proyek-proyek liberasisasi pendidikan memberi dampak di sektor pendidikan : 1) pendidikan hanya dipandang sebagai proses menghasilkan manusia siap pakai di industri, 2)peserta didik adalah konsumen, 3)guru adalah pekerja, 4)pengelola lembaga adalah manager, 5) lembaga pendidikan adalah investor dan, 7) kurikulum adalah pesanan pemilik modal.
Kapitalisasi pendidikan mendorong negara berorientasi pada berlipatgandanya keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan sektor ini. Mekanisme yang dijalankan, memberi upah yang sangat rendah pada pekerja (guru). Menghargai ‘jasa guru’ dengan nominal yang bahkan tidak cukup untuk hidup.
Pandangan Islam tentang pendidikan dan para pendidik.
Pendidikan merupakan hajah asasiyah (kebutuhan dasar) yang harus dijamin ketersediaannya di tengah – tengah masyarakat oleh negara. Sabda Nabi SAW:
“Imam itu adalah pemimpin dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinanannya (HR. al Bukhari).
Negara wajib menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyat. Imam ibnu Hazm, dalam kitabnya, Al Ihkam, menjelaskan bahwa kepala negara (Khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana pendidikan, sistemnya dan orang – orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. DI masa Khalifah Umar bin Khattab, para pengajar al-Qur’an diberikan gaji oleh khalifah sebesar 15 dinar (1 dinar setara dengan 4,25 gram emas. Jika 1 gram emas Rp. 500.000, 1 dinar berarti setara dengan Rp. 2.125.000. Artinya gaji seorang guru yang mengajarkan al-Qur’an adalah 15 dinar x 2.125.000 = Rp. 31.875.000
Selain itu, Menjadi seorang guru adalah salah satu tugas yang sangat dihormati dalam Islam. Mereka yang membawa tugas berat ini telah dijanjikan pahala besar. Sebuah hadist dari Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Umamah al-Bahili, menyatakan
“Allah dan para MalaikatNya dan penduduk langit dan bumi, bahkan semut di bebatuan dan ikan, berdoa uantuk berkah pada diri mereka yang mengajar orang – orang dengan baik” (H.R. Tirmidzi).
Pendidikan dalam Islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Tujuan – tujuan pendidikan yang telah digariskan syariat islam adalah:
Membentuk manusia bertaqwa yang memiliki kepribadian islam (syakhshiyyah islamiyyah) secara utuh, yakni pola pokir dan pola sikapnya didasarkan pada akidah islam.
Menciptakan ulama, intelektual dan tenaga ahli dalam jumlah berlimpah di setiap bidang kehidupan yang merupakan sumber manfaat bagi umat, melayani masyarakat dan peradaban – serta akan membuat negara Islam menjadi negara terdepan, kuat dan berdaulat sehingga menjadikan Islam sebagai ideology yang mendominasi di dunia.
Disamping itu, guru dalam pandangan Islam harus memastikan dirinya menjadi kualitas sumber daya manusia berdasarkan ideology islam. Sehingga guru yang berkualitas ini akan menghasilkan generasi yang tidak hanya unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi juga memiliki kepribadian yang luar biasa. Ditambah dengan tujuan pendidikan seperti ini output yang akan dihasilkan dari pendidikan Islam adalah generasi yang bertaqwa, tunduk dan taat pada hukum – hukum Allah bukan generasi yang miskin moralitas, lemah dan tidak memiliki ghirah agama.
Tujuan hakiki inilah yang akan mengantarkan masyarakat, pembangunan yang produktif dan luhurnya peradaban. Dengan tujuan pendidikan yang benar, maka ilmu pengetahuan akan mendatangkan keberkahan, seperti berkahnya air hujan yang menyirami tanah yang subur, dimana kemudian manfaatnya terus mengalir menjadi manfaat yang banyak bagi kehidupan bahkan dalam dimensi hidup bermasyarakat dan bernegara.[MO/an]