Oleh: Faizal Assegaf - Ketua Progres 98
Indonesia adalah surga bagi minoritas. Tidak hanya itu, kaum LGBT, bandar narkoba, raja miras dan perampok ratusan triliun uang BLBI pun dibiarkan bebas berkeliaran.
Suatu keadaan yang menggambarkan panorama kehidupan berbangsa makin tidak elok. Lebih spesifik tentang harmoni dan kerukunan umat beragama masih dipertontonkan atas dasar aneka kamuflase.
Padahal meski tidak dibumbui oleh opini yang liar, kenyataan eratnya kebersamaan umat beragama berlangsung apa adanya. Tetapi lucunya, tanpa membuat kehebohan, perayaan Natal seolah menjadi tidak afdol.
Dari situasi itu, wajar bila muncul kecurigaan bahwa isu kecemasan jelang Natal dan Tahun Baru punya dua tujuan. Yakni, rekayasa opini dan proyek pengamanan yang menguras uang negara.
Ihwal keanehan itu tanpa disadari memberi kesan Natal tak sekedar ritual keagamaan, namun telah menjadi gerakan politik yang sangat norak. Disebut norak lantaran kegiatan ibadah telah dicemari oleh prasangka dan ketakutan yang dibuat-buat.
Lebih konyol lagi, Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto secara vulgar mengumumkan bahwa: "Tugas pengamanan (Natal) yang kita laksanakan mempertaruhkan citra TNI-Polri".
Demi target pencitraan, sang Marsekal terpaksa menguras uang negara untuk menerjunkan 80 ribu prajurit TNI. Emangnya ada ancaman huru-hara, teroris dan konflik antar umat beragama?
Fakta menunjukan tanpa adanya mobilisasi alat-alat negara, perayaan Natal toh fairman dan damai. Sebab terbukti di luar pagar gereja, umat Islam bersikap ramah dan jauh lebih toleran serta bermartabat.
Kalaupun ada gangguan keamanan, hanyalah perbuatan seglintir orang. Pelakunya bisa jadi diduga justru berasal dari kelompok binaan misionaris. Atau oknum yang mengaku muslim, hindu atau budha dan sebagainya.
Merujuk pada kasus peledakan bom Mall Alam Sutera Tangerang, Banten pada tahun 2015 lalu, pelakunya bernama Leopard Wisnu Kumala, beragama Katolik. Tapi lucunya dominasi jaringan media anti Islam tidak menyebutnya sebagai teroris.
Patut direnungkan, kejahatan dan rasa ketakutan adalah dua hal yang saling melengkapi. Golongan manapun yang dihantui oleh ketakutan perlu diperjelas, sehingga tidak menyiram fitnah kepada umat agama lainnya.
Sekali lagi, di luar pagar gereja, umat Islam sebagai warga mayoritas di negeri ini sangat santun, bijak dan telah berkontribusi besar dalam menciptakan kedamaian. Umat Islam sangat menghargai perbedaan dan anti diskriminasi!
Tapi mengapa setiap perayaan Natal kaum minoritas selalu terkepung oleh rasa ketakutan. Bukankah selama ini para petinggi gereja dan rezim Jokowi mengklaim kehidupan umat beragama makin toleran, rukun dan damai?
Atau jangan-jangan rasa ketakutan tersebut sengaja digulirkan demi sensasi dan halusinasi para misionaris. Sebab bila ada ancaman terhadap kehidupan minoritas, tentu tudingan itu jelas menyudutkan umat Islam.
Umat Islam sebagai penduduk mayoritas telah terbukti sangat penuh cinta kasih dan toleran. Kenyataan tersebut jangan dinafikan. Kita semua adalah saudara dan perlu untuk saling menghormati. Bukan sebaliknya menyiram prasangka atas dasar ketakutan yang tak beralasan.
Lebih khusus, pesan serta pemaknaan Natal dalam konteks kebangsaan dan penegakkan keadilan, terbukti gereja sangat inkonsisten dan tidak Pancasilias.
Hal itu terlihat dari sikap tidak fairless gereja yang bungkam terhadap kasus mega korupsi BLBI dan kejahatan separatis di Papua yang pelakunya adalah non muslim. Padahal, kedua masalah tersebut telah memicu ketegangan antar umat beragama.
Lebih jauh, persoalan LGBT, maraknya narkoba dan miras yang telah merusak kehidupan rakyat, secara sengaja diabaikan. Sehingga diduga adanya peran dan kepentingan misionaris gereja sehingga bersikap bungkam?
Sebaliknya, ketakutan gereja jelang Natal hanya pada doktrin politik yang bertujuan menyudutkan kelompok agama tertentu dengan isu intoleran, radikal dan teroris. Jaringan media yang dikuasai bertindak tidak objektif.
Semoga di tahun depan perayaan Natal tidak kembali didramatisir. Bila ada oknum yang bertujuan melancarkan serangan kepada rumah ibadah, mereka adalah musuh bersama bangsa Indonesia.
Jangan pernah menjadikan agama sebagai instrumen penyebaran kebencian dan kelicikan. Tindakan itu jelas merupakan sumber kebohongan, ketakutan dan kejahatan yang membuat Tuhan tertawa! [IJM]