Oleh : Bravdhi
"Mahasiswa STEI Hamfara"
Mediaoposisi.com-Menurut Luhut Binsar Panjaitan, anggaran yang dikeluarkan Indonesia sangatlah hemat! Dibandingkan “cost return” yasng akan diterima Indonesia dari kedatangan 32.000 peserta selama seminggu di Bali. Dan indonesia dijanjikan “kecucurabn dana segar” alias pinjaman baru sebesar 1,5 triliun US dollar.
Ternyata memang ada udang dibalik batu. Semua argumen pemerintah hanya berusaha menutupi kebusukan IMF. Penjajahan gaya baru berkedok Bantuan Dana.
Selain itu, sebanyak 19 proyek infrastruktur milik 15 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berhasil mendapatkan pendanaan US$ 13,5 miliar atau sekitar RP 2000 triliun dari perbankan lokal dan investor lokal. Proyek terbesar yang ditandatangani dalam kesepakatan tersebut adalah proyek pabrik naptha cracker senilai US$ 6,5 miliar atau Rp 97,5 triliun anntara PT Pertamina (Persero) dan CPC Corporation, Taiwan
Hal ini diperoleh oleh Indonesia ketika menjadi penyelenggara tuan rumah pertemuan International Monetary Fund (IMF) dan Word Bank 2018 yang sedang berlangsung pada 8-14 Oktober di Nusa Dua, Bali
Di tengah-tengah eforia pertemuan ini ternyata memiliki maksud tersembunyi. Penjajahan berkedok bantuan dana dari IMF seharusnya ditolak oleh negara. Masih teringat jelas ketika krisis ekonomi 1998, Indonesia menerima bantuan dana dari IMF yang tentunya tidak gratis. Melalaui pendatanganan penjanjian Letter Of Intent Indonesia harus mematuhi sejumlah syarat dari IMF, mulai dari pembentukan BPPN hingga penjualan BUMN
Di balik ketidakpastian bantuan kepada korban bencana tsunami dan gempa di Palu ternyata pemerinta mengabiskan dana 6,9 triliun APBN negara yang semuanya itu berasal dari pungutan pajak dari masyarakat. Pemerintah benar-benar tega menghabiskan dana yang pantastis demi pertemuan IMF di bali di tengah-tengah kesulitan masyarakat mendapatkan walau sesuap nasi
Padahal IMF dan World Bank adalah dua alat penghisap darah negara-negara yang terkategorikan berkembang dan miskin. Indonesia hanya korban dari iming-iming pembangunan infrastruktur sehingga mereka mampun merekayasan krisis sehingga menciptakan negara-negara penghutang yang tergantung pada hidupnya dan mau didikte si tuan Word Bank.
Negara jajahannya tak boleh lepas, diikat oleh hutang-hutang yang kian menggila dan mengakar, hingga tak mampu lagi membayar kecuali menyerahkan seluruh aset negara yang sejatinya milik rakyat.[MO/an]