Oleh: Nurbaiti. Tarihoran
Mediaoposisi.com-Hari Perempuan Internasional, tepatnya setiap tanggal 8 Maret ramai pemberitaan di media sosial, televisi, maupun surat kabar memuat opini-opini tentang peringatan Hari Perempuan Internasional.
Mungkin tidak banyak yang tahu, bahkan saya sendiri pun baru mendengarnya. Terasa menggelitik ketika membaca sebuah artikel yang menulis Tanggal 8 Maret merupakan peringatan keberhasilan kaum perempuan dalam mengubah kedudukannya di bidang ekonomi, politik serta sosial budaya. Dalam tulisan itu disertakan juga gambar perempuan dari berbagai negara dengan menggunakan pakaian yang memperlihatkan ciri khas negara masing-masing saling bergandengan tangan, seolah-olah tidak ada sekat atau pembatas yang membedakan mereka meskipun berasal dari negara dan budaya yang berbeda.
Konon katanya, Hari Perempuan Internasional ini bermula ketika para perempuan yang bekerja di industri tekstil New York pada 8 Maret 1857 melakukan protes atas kondisi kerja yang buruk dan gaji yang rendah. Kemudian pada tahun 1910, kaum Sosialis Internasional dari 17 negara mengadakan pertemuan di Copenhagen-Denmark, membahas tentang hak-hak asasi perempuan yang sering diabaikan.
Pertemuan tersebut akhirnya memutuskan untuk membuat Hari Perempuan Internasional, agar hak kaum Perempuan lebih diperhatikan. Awalnya, Hari Perempuan Internasional diperingati setiap tanggal 28 Februari. Namun tahun 1920, peringatan tersebut tidak lagi diperingati. Kemudian pada tahun 1975, PBB kembali mempelopori diperingatinya Hari Perempuan Internasional yang hingga akhirnya diputuskan jatuh pada tanggal 8 Maret.
Itulah sejarah singkat asal muasal lahirnya Hari Perempuan Internasional. Dari penjelasan di atas kita dapat simpulkan bahwa pemikiran-pemikiran seperti feminisme, emansipasi wanita atau kesetaraan gender itu berasal dari barat.
Dengan adanya Hari Perempuan Internasional, semakin membuat kaum perempuan merasa bebas untuk melakukan apa saja, termasuk bekerja diluar rumah dan meninggalkan keluarganya serta mengabaikan tugas-tugasnya sebagai ibu rumah tangga yang bertugas mendidik anak-anaknya. Fakta ini bisa kita lihat di sekeliling kita, dimana kaum perempuan kebanyakan berada di luar rumah terutama para ibu rumah tangga. Mereka memilih untuk bekerja dan berkarir dibandingkan untuk berada di rumah, menjaga, mendidik dan melaksanakan tugas-tugasnya sebagai seorang ibu dan juga istri.
Emansipasi Wanita, inilah dalil yang selalu digunakan kaum perempuan dalam menyuarakan keinginan mereka untuk berkarir dan bekerja di luar rumah. Pemikiran ini pula yang membuat kaum perempuan ingin mendapatkan kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam hal apapun tak terkecuali dalam mencari nafkah dan dalam pemerintahan.
Padahal dalam Islam sendiri, seorang perempuan itu sudah memiliki kedudukan yang tinggi dibandingkan dengan kaum laki-laki tanpa harus berkarir yang tinggi, bekerja di luar rumah ataupun dengan popularitas seperti artis-artis di televisi. Perempuan dalam Islam sudah mendapatkan pangkat, gelar ataupun titel tersendiri dari Allah dan Rasul-Nya. Namun kaum perempuan saat ini tidak menyadarinya, karena itulah banyak perempuan lebih memilih untuk berkarir, bekerja dan mencari popularitas diluar rumah.
Fakta lain akibat adanya paham-paham feminisme, emansipasi wanita ataupun kesetaraan gender yang diopinikan barat adalah semakin membanjirnya pekerja perempuan diberbagai jenis bidang pekerjaan. Kesempatan kerja bagi perempuan lebih besar dibandingkan dengan laki-laki, banyak industri-industri yang lebih memilih mempekerjakan perempuan daripada laki-laki. Mereka berfikir bahwa pekerja perempuan lebih teliti, ulet, rajin dan tidak banyak menuntut apapun baik itu peraturan ataupun kebijakan yang dibuat oleh para pelaku industri tersebut.
Dalam kancah politik pun, kaum perempuan tak mau ketinggalan untuk melibatkan dirinya. Kita bisa lihat saat ini di pemerintahan banyak kaum perempuan yang ikut serta mengurusi urusan negara. Mereka bahkan rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit demi jabatan yang akan mereka dapatkan, tidak jarang keluarga ataupun rumah tangganya menjadi korban. Seiring berjalannya waktu, mereka terlena dengan gemerlapnya dunia politik dan akhirnya terjebak di dalam kubangan dosa. Banyak politikus perempuan yang tersandung kasus korupsi dan menyebabkan mereka mendekam dalam gelapnya jeruji besi.
Pernyataan yang mengatakan bahwa Saatnya Perempuan sejajar dengan laki-laki, tak lain adalah pernyataan yang dilontarkan barat dan kaum feminis yang memiliki kepentingan- kepentingan tertentu.
Mereka sangat gencar mengopinikan pemahaman-pemahaman yang sangat bertolak belakang dengan Islam, terutama di negeri-negeri yang mayoritas penduduknya Islam. Indonesia adalah salah satu sasaran yang sangat menguntungkan bagi kaum feminis dalam menyampaikan dan menjalankan opini-opini yang mereka bawa. Dengan pemahaman itu mereka menjerat kaum perempuan untuk masuk dalam perangkap yang sudah mereka kemas dengan rapi, sehingga membuat kaum perempuan tidak menyadarinya.
Opini kesetaraan gender ini terus digulirkan di tengah-tengah masyarakat, para pegiat Feminisme tidak berhenti mencari celah untuk memasukkan ide-ide mereka. Mulai dari hal terkecil sekalipun tidak luput dari perhatian mereka, selama hal itu masih berkaitan untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.
Perempuan tidak harus berada di rumah”, salah satu jargon yang mereka elu-elukan telah berhasil mengeluarkan perempuan-perempuan dari rumah untuk bekerja dan beraktivitas layaknya para kaum adam. Bahkan tidak jarang perempuan lebih mendominasi dihampir semua bidang pekerjaan, baik itu perempuan single ataupun yang sudah menikah.
Menjadi seorang perempuan yang sukses dalam dunia pekerjaan menjadi impian bagi mereka yang sudah terkontaminasi dengan pemikirin-pemikiran barat/ kaum Feminis. Tanpa mereka sadari, hal ini menjadi jurang pemisah antara seorang ibu dengan anak dan suaminya. Tidak sedikit perempuan yang sudah berumah tangga akhirnya bercerai dengan suaminya, hanya karena kesibukannya diluar rumah.
Anak-anaknya terlantar, karena sang ibu sibuk dengan karirnya. Selain itu, pendapatan atau jabatan istri yang lebih tinggi dari suami juga menjadi salah satu pemicu tingkat perceraian yang marak terjadi saat ini. Ketidak seimbangan antara porsi seorang istri dan suami di dalam kehidupan rumah tangga mengakibatkan rentan munculnya konflik, pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga yang berujung perceraian.
Gaya hidup yang hedonis dengan tingkat ekonomi yang rendah membuat banyak perempuan atau ibu rumah tangga keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya. Racun yang diramu oleh pegiat Feminis untuk membuat seorang Muslimah keluar dari koridornya begitu ampuh.
Racun itu perlahan demi perlahan menggerogoti perempuan Muslimah diberbagai negeri-negeri muslim. Mereka bekerja keras siang dan malam tanpa memikirkan lagi tanggung jawabnya sebagai seorang Ibu, seorang Istri dan sebagai seorang anak perempuan yang selayaknya ada di rumah.
Mereka beranggapan dengan bekerja dan menghasilkan uang sendiri, mereka tidak bergantung lagi dan bebas menjadi pemimpin keluarga. Akibatnya muncul pemahaman bagi para kaum adam (Suami/ Ayah), bahwa mereka tidak diperlukan lagi atau tidak memiliki tanggung jawab bagi kelangsungan hidup rumah tangganya.
Dalam islam sudah begitu jelas dipaparkan tentang kedudukan seorang perempuan dan laki-laki dalam kehidupan rumah tangga itu berbeda. Seorang lelaki menjadi pemimpin bagi istri dan anak-anaknya, sedangkan seorang istri berperan mengurusi kebutuhan suami dan anak-anaknya. Seorang istri bukan hanya sebagai mitra suami, melainkan juga sebagai sahabatnya. Keduanya harus bekerjasama dan tolong-menolong dalam urusan rumah tangga dan juga saling mencurahkan Cinta, kasih sayang anatar keduanya dan juga anak-anaknya.
Kedudukan seorang istri memiliki peranan yang paling penting dalam keberlangsungan kehidupan rumah tangga. Untuk itu sudah selayaknyalah seorang perempuan bangga akan kedudukannya sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga.
Dalam islam Perempuan juga memilki hak yang sama dengan laki-laki dalam bidang: Hukum, Pendidikan, Pekerjaan (Dokter, guru), berpendapat dll. Keberhasilan seorang perempuan adalah saat ia mampu melahirkan dan mempersiapkan generasi terbaik untuk masa depan. Perempuan adalah juru kunci yang akan menentukan dunia, perempuan adalah penentu peradaban dan menjadi tonggak peradaban.
Islam begitu menghormati dan menjaga kehormatan perempuan, Allah Swt. Telah menyematkan kewajiban baginya sebagai Alumn wa rabbatul bait (Ibu dan pengatur rumah tangga) dan Ummu Ajyal (Ibu generasi) yang dijalankannya dalam lingkup yang lebih strategis, berpadu dengan perannya sebagai Da'iyah dan pengemban dakwah.[MO/an]