Oleh: Julia
Mediaoposisi.com- Beberapa waktu yang lalu, Tim Mata Najwa dari Trans 7 bersama Dirjen Pemasyarakatan Kementrian Hukum dan HAM melalukan sidak ke beberapa tahanan di Lapas Sukamiskin, Bandung.
Hal ini berkaitan dengan tertangkap tangannya Ka Lapas Sukamiskin, Wahid Husein oleh KPK, terkait kasus suap ratusan juta rupiah untuk fasilitas penjara oleh Fahmi Darmawansyah yang juga merupakan narapidana kasus korupsi. Sidak ini juga tayang di acara televisi serupa pada tanggal 25 Juli 2018 yang lalu.
Tidak seperti namanya, ternyata penghuni Lapas Sukamiskin ini sama sekali bukan orang yang suka dan betah dengan miskin. Terbukti setelah dilakukan sidak ke beberapa ruang para narapidana kasus korupsi ternama seperti Setya Novanto, Nazarudin, Oce Kaligis, Lutfi Hasan Ishaq, Jero Wakcik dan lainnya, ada banyak barang mewah yang seharusnya tidak ada di sel tahanan seorang narapidana.
Mulai dari alat olahraga, dispenser, pemanggang roti, televisi, laptop, ipad, printer, uang, bahkan ruang kerja.
Terlepas dari fasilitas mewah yang dimiliki para pidana kasus korupsi ini, penulis terheran-heran ternyata ruangan penjara para koruptor berbeda dengan tahanan maling ayam atau lainnya.
Bila selama ini yang jamak kita tahu, seorang yang dipenjara akan ditahan dibalik jeruji besi bersama tersangka lainnya, dimana kasur dan toilet digabung menjadi satu, dengan kasur tipis seadanya, ternyata berbeda dengan tahanan pelaku korupsi.
Mereka mendapatkan fasilitas berupa sebuah kamar kecil dengan ukuran kurang lebih 2x3 meter, dimana satu sel dihuni satu tahanan, dengan fasilitas berupa ranjang dan kasur empuk, dilengkapi bantal dan selimut, serta kipas angin, juga ruangan toilet yang terpisah dengan kamar tidur, sebuah kursi, lemari, kaca, dan lainnya.
Bahkan ketika disidak tersebut, para tahanan tidak seperti tahanan penjara pada umumnya. Pakaian mereka rapi, licin, dan nampak seperti sedang plesir dan tinggal di kosan enak dan mewah.
Pertanyaannya adalah mengapa tahanan maling ayam yang tidak terlalu merugikan negara (karena biasanya hanya merugikan si pemilik ayam) dibedakan dengan para koruptor yang telah merugikan negara dan rakyat Indonesia bahkan hingga trilyunan rupiah?
Maling ayam ditempatkan di sel tahanan yang sangat tidak layak, sementara koruptor ditempatkan di tahanan yang sebegitu mewahnya untuk sekelas seorang pidana.
Tak heran mengapa para koruptor terus bertambah dalam negeri ini, sedangkan hukumannya bisa seperti itu enaknya. Sehingga kadang muncul pernyataan, lebih baik jadi koruptor dibandingkan maling ayam, penjaranya enak.
Kasus seperti ini sebenarnya bukan hanya kali ini terjadi. Gayus Tambunan si mafia pajak, yang bebas plesir meski ia adalah tahanan juga pernah terjadi sekitar tahun 2015 yang lalu.
Begitulah bila hukum diatur oleh mereka yang beruang. Ketika dihukum pun mereka bebas melakukan kesalahan yang sama. Bukan tak mungkin, kasus seperti ini akan terus terulang, mengingat tak jelas dan konsistennya aturan yang digunakan.
Aturan yang digunakan adalah aturan tak tega. Karena ia adalah penulis, maka dibolehkanlah ia untuk membawa laptop untuk menulis. Karena ia sedang menjalani masa pengobatan, diperbolehkan untuk membawa uang dengan jumlah banyak dengan alasan membeli obat.
Hal-hal seperti inilah yang membuat negara ini darurat diterapkannya hukum Islam. Di dalam islam, hukuman bagi pencuri yang telah terbukti bersalah dan mencapai nishab ( ukurannya sekitar 4,25 gram emas) adalah dipotong tangannya, disamping syarat lainnya berupa baligh, waras, dengan sengaja melakukan, atau lainnya.
Mau ia pejabat, penulis, milyarder, orang miskin, semua sama. Bila belum mencapai nishabnya, ia bisa diminta mengganti atau lainnya. Sehingga ada efek jera bagi para pelaku atau yang mau melakukan kesalahan yang sama. Terbukti setelah ratusan tahun hukum seperti ini diterapkan di masa Kekhalifahan Islam, hanya beberapa orang yang tangannya dipotong karena mencuri.
Sementara dengan hukum negara yang seperti sekarang, setiap lima tahun masa pemerintahan, ada ratusan kasus korupsi yang terjadi dan itu selalu terulang setiap tahun pemerintahan, seolah tak ada efek jera atau takut bagi para pelaku.
Tahun 2016 ada 482 kasus korupsi, dengan total kerugian negara Rp 1,5 trilyun. Sedangkan tahun 2017 meningkat jadi 576 kasus korupsi dengan total kerugian negara sebesar Rp 6,5 trilyun dan suap Rp 211 milyar.
Begitulah bila hukum diterapkan berdasarkan hawa nafsu. Kadang menjadi A, esok berubah menjadi B. Sementara bila hukum yang diterapkan adalah berdasarkan aturan Allah yang jelas maha tahu, semua akan jelas dan tegas.
Bahkan tidak sembarangan orang yang dapat menjadi hakim, karena semua pejabat takut akan Allah, sehingga akan memutuskan suatu perkara dengan adil dan sebenar-benarnya. Bukan seperti sekarang yang terjadi adalah hukum menjadi tajam dan runcing ke bawah, sementara begitu tumpul ke atas.
Mungkin bagi sebagian orang yang belum mengerti hal ini akan seperti sebuah fatamorgana yang tidak akan bisa terjadi di negeri yang sudah runyam seperti Indonesia.
Namun sejarah membuktikan, bahwa selama ratusan tahun kekhalifahan Islam berdiri, sulit sekali mencari rakyat yang kesusahan, tak seperti sekarang, mencari rakyat susah seperti mencari air asin di lautan yang luas, saking mudahnya.
Sudah saatnya sekarang kita tinggalkan hukum buatan manusia yang banyak kekurangannya dengan hukum Allah yang sudah jelas kebaikannya.[MO/sr]