Oleh: Safiatuz Zuhriyah, S.Kom
Anggota Forum Pergerakan Muslimah
Mediaoposisi.com-Hari ini Pak Joko kembali mengamuk. Ia melempar apa saja yang bisa diraih. Bahkan tak segan-segan melukai siapapun yang berani mendekat. Sudah 2 tahun dia seperti itu. Tepatnya sejak kalah dalam kontestasi pemilihan bupati. Stres karena tidak berbilang materi yang dikorbankan, namun tahta tak kunjung didapatkan. Ah, politik di negeri ini memang berbiaya mahal sehingga seringkali meminta tumbal.
Masyarakat sekitar sudah memaklumi keadaannya sehingga ia dibebaskan dari segala urusan dan tanggung jawab. Jangankan mengurus orang-orang yang dalam tanggungannya, mengurus diri sendiri saja tidak mampu. Bahkan identitasnya pun sudah lupa. Memang, kadang ia bersikap baik dan tidak mengacau, namun tetap tidak bisa diajak berpikir jernih menyelesaikan suatu perkara.
Beberapa hari yang lalu, ada petugas mendatanginya. Mendata. Para abdi negara tersebut menjelaskan tentang pilpres yang akan dilaksanakan berbilang bulan lagi dan hak politik Pak Joko yang sekarang diakui UU.
Tentang capres, cawapres beserta program-programnya. Pak Joko menerima penjelasan itu dengan wajah datar sambil mengangguk-angguk. Namun ketika ditanya siapakah capres pilihannya, dia malah tertawa terbahak-bahak dan menceracau tentang satria piningit dari Kerajaan Mataram dan Kerajaan Majapahit. "Bila tiba hari pemilihan, saya pasti memilih Pangeran Diponegoro karena hanya dia yang tidak pernah meminta mahar politik," ujarnya mantap.
Kisah di atas, mewakili banyak kisah serupa benar-benar akan terjadi di Indonesia. Menurut KPU, pemilih tuna grahita atau gila akan dimasukkan dalam daftar pemiluh 2019. KPU akan mendata melalui dokumen kependudukan berupa KTP elektronik atau surat keterangan.
Pihaknya juga akan aktif mendata ke rumah warga hingga Rumah Sakit Jiwa. Komisioner KPU, Viryan Aziz mengatakan bahwa pemilih disabilitas mental ini tidak akan diperlakukan diskriminatif. Bahkan mereka boleh menggunakan hak pilihnya tanpa surat keterangan dokter. (m.detik.com)
Benar-benar gila. Para penderita disabilitas mental ini dieksploitasi sedemikian rupa hanya untuk mendapatkan suara. Menurut Direktur Advokasi Hukum Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi, Sufmi Dasco Ahmad seperti yang dilansir dalam liputan6.com, beliau mengatakan bahwa meskipun tidak diatur secara tegas dalam UU Pemilu, tetapi dalam pasal 1330 KUHPerdata secara jelas diatur jika orang gila tidak cakap untuk melakukan aktifitas hukum.
Itu termasuk memilih dalam pemilu. Yang paling membahayakan, pemberian hak pilih kepada orang gila akan memberi peluang terjadinya manipulasi. Bisa saja orang gila tersebut diarahkan atau diwakili untuk memilih partai atau paslon tertentu karena mereka tidak sadar apa yang mereka lakukan.
Itulah hakekat demokrasi. Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak, meniscayakan kesamarataan semua pemilih. Suara orang gila sama nilainya dengan suara orang berakal. Meskipun ia bergelar profesor. Tak heran, orang gila pun dieksploitasi. Mereka dimobilisasi untuk ikut pilpres tanpa tahu tujuannya.
Demokrasi hanya berorientasi kekuasaan. Para politisi menebar janji-janji saat kampanye, namun berkelit ketika ditagih setelah memenangkan kontestasi. Tidak lagi dipikirkan kesejahteraan rakyat pemilihnya. Kekuasaan yang sudah digenggam, digunakan untuk memperkaya diri sendiri dan kroni-kroninya. Lihatlah, berapa banyak pejabat negara tersandung kasus korupsi? Hampir merata di semua lini dan seluruh jenjang.
Bertolak belakang dengan demokrasi, Islam menjadikan politik dan kekuasaan sebagai jalan untuk menyelesaikan urusan umat dengan syariat Islam. Semua masalah diselesaikan dengan cara menggali hukum Allah terhadap masalah tersebut.
Dengan demikian, predikat Islam sebagai rahmatan lil alamin benar-benar terwujud. Hukum-hukum Islam terbukti menyejahterakan karena berasal dari Allah, pencipta manusia dan yang paling tahu hakekat kebutuhan manusia.
Sampai-sampai warga Kristen Koptik di Mesir mengirim surat kepada Khalifah Usman di Madinah supaya mengirim kembali Panglima Amr bin Ash untuk memimpin peperangan dengan Romawi. Mereka merasa lebih nyaman di bawah naungan khilafah daripada dipimpin penguasa Romawi yang seagama.
Para politisi Islam menganggap jabatan sebagai amanah dan akan dimintai pertanggungjawaban kelak. Rasulullah saw bersabda: "Imam adalah penggembala yang akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya)."
Karenanya, mereka akan berusaha melaksanakan amanah tersebut dengan sebaik-baiknya. Bahkan mereka sanggup mengorbankan apapun yang dimiliki untuk kepentingan umat. Bila rakyat sengsara, biarlah ia menjadi orang pertama yang sengsara. Dan bila rakyat sejahtera, maka ia rela menjadi orang terakhir yang merasakan kesejahteraan itu.
Tidak heran bila kita jumpai Khalifah Abu Bakar tidak meninggalkan sepeser pun dinar maupun dirham di akhir hayatnya. Beliau hanya meninggalkan unta yang biasa dipergunakan untuk menyirami kebun dan seorang hamba sahaya pengasuh yang menggendong bayinya.
Itupun kemudian dikembalikan kepada negara karena fasilitas tersebut diberikan dalam kapasitas beliau sebagai khalifah. Sampai-sampai Khalifah Umar bin Khatab penggantinya, menangis sesenggukan dan berkata, “Allah merahmati Abu Bakar, ia telah menyusahkan orang-orang setelahnya."
Adapun terhadap para penyandang disabilitas mental, Islam menjaga mereka dengan mencukupi kebutuhan pokoknya, merawatnya supaya tidak berkeliaran di jalan-jalan. Bahkan pada tahun 800 M di Bagdad sudah dibangun rumah sakit jiwa yang pertama di dunia.
Sebelumnya pasien jiwa hanya diisolasi dan paling jauh dicoba diterapi dengan ruqyah. Rumah-rumah sakit ini bahkan menjadi favorit para pelancong asing yang ingin mencicipi sedikit kemewahan tanpa biaya, karena seluruh rumah sakit di dalam Khilafah Islam ini bebas biaya.
Islam juga tidak pernah membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Karenanya, pengidap gangguan jiwa dibebaskan dari tanggung jawab karena pada faktanya mereka sedang terganggu akalnya. Nabi SAW bersabda sebagai berikut:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
Artinya:“Diangkat(lah) pena dari tiga orang yakni dari orang yang tidur sampai orang tersebut kembali bangun, dan dari anak kecil sampai anak tersebut bermimpi (baligh), dan dari orang yang gila sampai dirinya menjadi berakal kembali”
Maka, yakinlah bahwa tidak ada kebaikan dalam sistem demokrasi. Saatnya kita kembali beralih kepada sistem Islam, satu-satunya sistem yang diridoi Allah swt.[MO/ge]