-->

Pencabutan Subsidi Kebijakan Favorit emerintah, Kapan Berakhir?

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen


Oleh : Mesi Tri Jayanti 
(Aktivis Mahasiswi)

Mediaoposisi.com- Pengertian dan Fakta Subsidi

Subsidi merupakan suatu bentuk bantuan keuangan (financial assistance; Arab: i’anah maliyah), yang biasanya dibayar oleh pemerintah, dengan tujuan untuk menjaga stabilitas harga-harga, atau untuk mempertahankan eksistensi kegiatan bisnis, atau untuk mendorong berbagai kegiatan ekonomi pada umumnya. (http://en.wikipedia.org).

Istilah mengenai subsidi memang sudah akrab di telinga kita, namun ternyata dalam praktiknya oleh pemerintah sangat tidaklah bersahabat pada masyarakat. Sebagai contohnya yaitu pencabutan subsidi khususnya bahan bakar minyak (BBM) pada akhir 2014 lalu hingga kini yang terus membawa dampak kenaikan harga pada migas.

Pemerintah mulai 1 Juli 2018 pukul 00.00 WIB resmi menaikkan harga-harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi. Kenaikan harga bahan bakar oleh PT Pertamina (Persero) disinyalir akibat terus meningkatnya harga minyak dunia dan juga dipicu menguatnya nilai tukar dolar terhadap rupiah. (https://­www.inews.id)

Selain itu, anggota Komisi VII DPR, Rofi Munawar menilai jika kondisi ini dibiarkan terus-menerus tanpa upaya lebih lanjut dari pemerintah maka akan berpotensi memicu kenaikan harga yang berimbas pada inflasi tidak langsung. (https://ekonomi.kompas.com)

Terlebih lagi saat ini masyarakat tengah mengalami kesulitan ekonomi. Sehingga ini salah satu bagian yang menunjukkan pemerintah tidak berpihak kepada masyarakat.

Kenaikan harga BBM tertentu meski dinilai untuk masyarakat kelas menengah keatas, biasanya selalu berimplikasi pada kenaikan harga bahan pokok. Pemerintah yang harusnya memberikan kemudahan pada kehidupan rakyat justru malah memberatkan.

Subsidi Dalam Kapitalisme

Adapun Kapitalisme dalam menyikapi kebijakan negara terhadap  subsidi, tergantung pada konsep peran negara terhadap ekonomi dalam aliran yang dianutnya. Secara sederhana dapat dikatakan ada yang pro-subsidi (Pandangan Keynesian) dan anti-subsidi (Pandangan neo-liberal).

Sejak pertengahan hingga akhir abad ke-19, di Barat diterapkan Kapitalisme klasik/liberal (Ebenstein & Fogelman, 1994). Slogannya adalah laissez faire, yang didukung oleh Adam Smith. Slogan berbahasa Prancis itu Inggrisnya adalah leave us alone.

Artinya, “Biarkan kami (pengusaha) sendiri, tanpa intervensi pemerintah.” Sehingga menyebabkan peran negara sangat terbatas, karena semuanya diserahkan pada dinamika pasar.

Kapitalisme liberal ini terbukti gagal, ketika tahun 1929-1939 terjadi Depresi Besar di Amerika Serikat akibat keruntuhan pasar modal tahun 1929. (Adams, 2004).

Sejak 1930-an, Kapitalisme berganti aliran. Kapitalisme liberal yang anti intervensi pemerintah kemudian berganti menjadi Kapitalisme Keynesian dengan tokoh penggagasnya adalah John Maynard Keynes.

Kapitalisme Keynesian ini memberikan peluang besar pada intervensi pemerintah dalam kegiatan ekonomi (termasuk subsidi). Sehingga Kapitalisme Keynesian dapat dikatakan pro-subsidi.

Namun, tahun 1973 ketika harga minyak dunia naik, timbul persoalan ekonomi di Barat yang tidak dapat diatasi oleh Kapitalisme Keynesian, yaitu stagflasi. Ini kombinasi antara pengangguran (stagnasi) dengan kenaikan harga (inflasi).

Menurut pandangan Keynesian, kedua persoalan ini tidak seharusnya terjadi bersamaan. Akibatnya, gagal menghadapi problem tersebut menjadi pendorong untuk menemukan solusi baru.

Yaitu Kapitalisme aliran neo-liberal (neoliberalisme / neokonservatisme), dengan penggagas utamanya adalah Friedrich Hayek dan Milton Friedman.

Neoliberalisme adalah versi liberalisme klasik yang dimodernisasi, dengan tema-tema utamanya adalah: pasar bebas, peran negara yang terbatas dan individualisme. Karena peran negara terbatas, maka neoliberalisme memandang intervensi pemerintah sebagai “ancaman yang paling serius” bagi mekanisme pasar. (Adams, 2004).

Dari sini kita dapat memahami mengapa pencabutan subsidi sebagai barang kebutuhan masyarakat, seperti pencabutan subsidi migas dan listrik sangat dianjurkan dalam neoliberalisme, bahkan terlihat seperti kebijakan favorit pemerintah. Sebab subsidi dianggap sebagai bentuk ikut campur pemerintah yang tidak efisien dan suatu pemborosan.

Dalam skala internasional, neoliberalisme ini kemudian menjadi hegemoni global melalui tiga aktor utamanya: WTO, IMF dan Bank Dunia. Bank Dunia dan IMF terkenal dengan program SAP (Structural Adjustment Program) yang berbahaya, yang salah satunya adalah penghapusan subsidi. (Wibowo & Wahono, 2003; The International Forum on Globalization, 2004).

Berbagai dalih seperti subsidi membebani negara, subsidi membuat rakyat tidak mandiri, subsidi mematikan persaingan ekonomi dan sebagainya. Sebenarnya itu bukanlah alasan mendasar dari pencabutan subsidi.

Karena penyebab utamanya adalah pemerintah di negeri ini tunduk pada hegemoni neoliberalisme, atau telah mengadopsi neoliberalisme, yang berpandangan bahwa subsidi adalah bentuk intervensi pemerintah yang hanya akan mengganggu mekanisme pasar.

Subsidi Dalam Islam

Islam mengakui adanya subsidi yang diartikan sebagai bantuan keuangan yang dibayar oleh negara. Namun, Islam berbeda dengan Kapitalisme. Jika Kapitalisme memandang subsidi dari perspekstif intervensi pemerintah atau mekanisme pasar, Islam memandang subsidi dari perspektif syariah, yaitu kapan subsidi boleh dan kapan subsidi wajib dilakukan oleh negara.

Subsidi dapat dianggap salah satu cara (uslub) yang boleh dilakukan negara (Khilafah), karena termasuk pemberian harta milik negara kepada individu rakyat (i’tha’u ad-dawlah min amwaliha li ar-ra’iyah) yang menjadi hak Khalifah.

Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Mal (Kas Negara) kepada para petani di Irak agar mereka dapat mengolah lahan petanian mereka. (An-Nabhani, 2004: 119).

Negara boleh memberikan subsidi kepada masyarakat yang berperan sebagai produsen. Seperti subsidi pupuk dan benih bagi petani, atau subsidi bahan baku kedelai bagi perajin tahu dan tempe, dan sebagainya. Boleh juga negara memberikan subsidi kepada masyarakat yang berperan sebagai konsumen. Seperti subsidi pangan (sembako murah), atau subsidi minyak goreng, dan sebagainya.

Subsidi boleh juga diberikan negara untuk sektor pelayanan publik (al-marafiq al-’ammah) yang dilaksanakan oleh negara, misalnya: (1) jasa telekomunikasi (al-khidmat al-baridiyah) seperti telepon, pos, fax, internet; (2) jasa perbankan syariah (al-khidmat al-mashrifiyah) seperti transfer, simpanan, dan penukaran valuta asing; dan (3) jasa transportasi umum (al-muwashalat al-’ammah) seperti kereta api, kapal laut, dan pesawat terbang. (Zallum, 2004: 104)

Subsidi untuk sektor energi (seperti BBM dan listrik) dapat juga diberikan negara kepada rakyat. Namun perlu dicatat, bahwa BBM dan listrik dalam Islam termasuk barang milik umum (milkiyah ‘ammah).

Dalam distribusinya kepada rakyat, Khalifah tidak terikat dengan satu cara tertentu. Khalifah dapat memberikannya secara gratis, atau menjual kepada rakyat dengan harga sesuai ongkos produksi, atau sesuai harga pasar, atau memberikan kepada rakyat dalam bentuk uang tunai sebagai keuntungan penjualannya, dan sebagainya.

Di sinilah subsidi dapat juga diberikan agar BBM dan listrik yang didistribusikan itu harganya semakin murah dan bahkan gratis jika memungkinkan. (Zallum, 2004: 83).

Semua subsidi yang dicontohkan di atas hukum asalnya boleh, karena hukum asal negara memberikan hartanya kepada individu rakyat adalah boleh. Pemberian ini merupakan hak Khalifah dalam mengelola harta milik negara (milkiyah al-dawlah).

Khalifah boleh memberikan harta kepada satu golongan dan tidak kepada yang lain; boleh pula Khalifah mengkhususkan pemberian untuk satu sektor (misal pertanian), dan tidak untuk sektor lainnya. Semua ini adalah hak Khalifah berdasarkan pertimbangan syariah sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya demi kemaslahatan rakyat. (An-Nabhani, 2004: 224).

Namun, dalam kondisi terjadinya ketimpangan ekonomi, pemberian subsidi yang asalnya boleh ini menjadi wajib hukumnya, karena mengikuti kewajiban syariah untuk mewujudkan keseimbangan ekonomi (at-tawazun al-iqtishadi) (Thabib, 2004:318; Syauman, t.t.: 73).

Hal ini karena Islam mewajibkan beredarnya harta di antara seluruh individu dan mencegah beredarnya harta hanya pada golongan tertentu:

كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ

"Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian." (QS al-Hasyr [59] : 7).

Nabi saw. telah membagikan fai‘ Bani Nadhir (harta milik negara) hanya kepada kaum Muhajirin, tidak kepada kaum Anshar, karena Nabi saw. melihat ketimpangan ekonomi antara Muhajirin dan Anshar. (An-Nabhani, 2004: 249).

Oleh karena itu, di tengah naiknya harga minyak mentah dunia sekarang, subsidi BBM tidak sekedar boleh, tetapi sudah wajib hukumnya. Agar ketimpangan di masyarakat antara kaya dan miskin tidak semakin lebar.

Khusus untuk sektor pendidikan, keamanan dan kesehatan, Islam telah mewajibkan negara menyelenggarakan pelayanan ketiga sektor tersebut secara cuma-cuma bagi rakyat (Abdul Ghani, 2004). Karena itu, jika pembiayaan negara untuk ketiga sektor tersebut dapat disebut subsidi maka subsidi menyeluruh untuk ketiga sektor itu adalah wajib hukumnya secara syar’i.

Pencabutan Subsidi, Kapan Berakhir? 

Sebenarnya pangkal masalah dari seringnya pencabutan subsidi yang berdampak pada kenaikan harga selama ini  adalah penerapan sistem kapitalis dan neoliberalisme di negeri ini. Dalam pandangan neoliberalisme, Pemerintah bukan berperan sebagai perisai yang melindungi rakyat dan pelayan yang melayani segala kepentingan ummatnya.

Pemerintah justru diposisikan sebagai penyedia jasa, sementara rakyat adalah pengguna jasa yang harus membayar kepada Pemerintah. Sehingga hubungan antara negara dengan rakyat seperti hubungan pedagang dan pembeli yang sangat memperhitungkan untung-rugi dalam membuat suatu kebijakan.

Maka untuk mengakhiri kedzaliman itu, tidak bisa hanya dengan mengganti rezim yang berkuasa pada negeri ini. Sebab siapapun yang menjadi pemimpin rakyat selagi masih turut melanggengkan sistem neo-liberal ini maka rakyat tidak akan pernah keluar dari keterpurukan.

Tidak ada jalan lain bagi masyarakat kecuali menghentikan rezim dan sistem neoliberal dengan sistem islam dalam naungan institusi Khilafah Islam yang telah terbukti berabad-abad memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya, baik pada Muslim maupun pada non-Muslim. [MO/sr]



Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close