Oleh: Yuli sarwanto - Dir. Fakta
Dunia gaduh dan resah. Kegundahan elit politik dan ekonom dunia terhadap sistem Kapitalisme sebenarnya sudah terlihat dalam tema-tema diskusi konferensi yang pernah mereka selenggarakan. Misalnya, “Is 20th Century Capitalism Failing 21st Century Society?” (Apakah Kapitalisme Abad 20 Menggagalkan Masyarakat Abad 21?), ‘Fixing Capitalism’, ‘Has Globalisation Reached its Economic and Political Limits?’ (‘Memperbaiki Kapitalisme,’ ‘Apakah Globalisasi Telah Mencapai Batas Ekonomi dan Politiknya?) dan ‘How Will the Eurozone Countries Emerge from the Eurozone Crisis?’ (Bagaimanakah Negara-negara Zona Euro Bisa Keluar dari Krisis Zona Eropa?). Tema-tema tersebut menunjukkan bagaimana pelaku Kapitalisme sudah tak percaya diri lagi terhadap ideologi yang mereka emban.
Dunia telah melihat krisis ekonomi yang menimpa sistem Kapitalisme telah terjadi berulang-ulang. Krisis yang dimulai dari Negara Paman Sam Amerika Serikat (AS) pada 2007 kemudian menjalar ke negara-negara lain di dunia. Eropa adalah benua yang paling terasa mengalami dampak krisis. Terbukti, setelah hampir tiga tahun AS dilanda gonjang-ganjing ekonomi, giliran Uni Eropa yang merasakan pahitnya krisis ekonomi. Ketakutan terhadap krisis utang dan defisit pertama kali muncul di Yunani. Utang Pemerintah Yunani diperkirakan mencapai 360 miliar Euro atau sekitar 160% dari produk domestik bruto (PDB). Apa yang terjadi di Yunani kemudian menular ke negara-negara Eropa lainnya; Irlandia, Portugal, Italia dan Spanyol ikut merasakan pahitnya krisis. Ekonomi negara-negara yang terkenal dengan dunia sepakbola tersebut terpuruk akibat utang pemerintah yang terus membengkak karena besarnya bunga utang. Cekaman ketakutan itu telah menimbulkan krisis kepercayaan di negara Uni Eropa lainnya, termasuk Jerman.
Meski berhasil meredam dampak krisis melalui paket dana talangan trilyunan dollar, krisis yang lebih besar justru datang menghadang negara-negara Barat. Direktur IMF, Christine Lagarde mengatakan “tidak ada satu pun negara di dunia yang kebal dari krisis yang terus meningkat.” Lagarde menekankan, semua negara dimulai dari Eropa harus bertindak jika ingin menghindari krisis yang lebih dalam yakni depresi global (BBC Indonesia, 16/12/2011).
Namun jangankan memperoleh solusi, negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa justru menghadapi perpecahan dalam menyikapinya. Langkah Jerman dan Perancis dalam KTT Uni Eropa Desember tahun lalu untuk menciptakan aturan penghematan anggaran dan pajak transaksi keuangan yang mengikat gagal setelah ditentang keras oleh Inggris. Perdana Menteri Inggris, David Cameron menyatakan kebijakan keuangan liberal yang radikal sebagai jalan keluar. Menaggapi kegagalan tersebut, Presiden Perancis Nicolas Sarkozy mengatakan “Ancaman disintegrasi Eropa sangat besar. Eropa tengah menghadapi situasi yang sungguh berbahaya” (BBC Indonesia, 8/12/2011).
Buntunya jalan penyelesaian krisis menyebabkan kekhawatiran demi kekhawatiran di kalangan para pemimpin Eropa. Presiden Portugal Anibal Cavaco Silva menyatakan agar Uni Eropa harus segera berpindah dari krisis. Hal serupa juga disuarakan Presiden Italia Giogio Napolitano. Sedangkan pemerintah Yunani lebih bergulat pada upaya meyakinkan legislatif dan rakyatnya agar menyetujui paket penghematan yang menjadi syarat bantuan talangan. Perdana Menteri Lucas Papademos menyatakan Yunani akan mengalami petualangan yang membawa bencana jika tidak mampu membayar utang-utangnya kepada para kreditor (VOA, 10/2/2012).
Krisis yang menimpa negara-negara pengemban ideologi kapitalis menunjukkan sistem ekonomi kapitalis bukan lagi berada di tepi jurang, tetapi memang sudah berada dalam kehancuran. Upaya pemimpin-pemimpin negara kapitalis untuk menyelamatkan tak pernah membuahkan hasil nyata. Semua rencana penyelamatan hanya sekadar obat yang meringankan rasa sakit sementara waktu, tak akan mampu menyembuhkan penyakit kronis ekonomi hingga menuju kematian sistem Kapitalisme. Krisis telah membuka tabir ketidakberdayaan pemerintahan Barat dalam memecahkan permasalahan di negara mereka kecuali sekedar meredam dampaknya sesaat untuk kemudian datang lagi dalam goncangan yang lebih hebat.
Krisis tersebut juga telah membuka pandangan dunia yang selama ini menjadikan negara-negara Barat dengan ideologi Kapitalismenya sebagai kiblat sistem ekonomi, pemerintahan, hukum, dan nilai-nilai kehidupan.Sebuah jawaban diperlukan dalam hal ini, yakni bagaimanakah utang ribawi menciptakan krisis di Barat? Dengan kejatuhan ekonomi Barat tersebut, bagaimanakah masa depan ekonomi dunia dan siapakah yang akan mengambil-alih kepemimpinan dunia kemudian? [IJM]