oleh: Meivita Yusmala Dewi
(Mahasiswa Program Magister Ilmu Farmasi Universitas Airlangga Surabaya)
Ayah adalah sebuah predikat yang melekat pada seorang laki-laki yang telah dikaruniai anak. Predikat ayah dan anak tersebut sangat erat hubungannya, bahkan tidak berlaku istilah mantan ayah atau mantan anak.
Saat ini, begitu banyak peristiwa terjadi yang seolah meniadakan hubungan ayah dan anak. Salah satu kasus terjadi di Lamongan, Jawa Timur. Seorang ayah menyetrum anaknya karena main HP saat belajar dan menyetrum istrinya (ibu sang anak) karena dianggap lalai sebab istrinya tertidur saat menjaga anaknya belajar (news.detik.com, 29/03/2018).
Begitu mirisnya kejadian ini, ketika seorang Ayah begitu mudah menyiksa darah dagingnya sendiri. Banyak kasus serupa dengan model berbeda telah sering terjadi, tentu harus ada jalan keluar dari kondisi tragis ini. Biang kemirisan ini adalah lemahnya iman. Lemahnya keimanan seseorang akan menjadikannya mudah terjerumus dalam kubangan kemaksiatan, mudah melakukan tindakan kriminal tanpa banyak pertimbangan, serta mudah terbuai rayuan setan. Ditambah kondisi sosial dan ekonomi keluarga serta kondisi masyarakat atau lingkungan tempat tinggal merupakan hal yang sangat berpengaruh pula dalam membentuk pola pikir seseorang.
Bila buruk, godaan menjadi manusia buruk sangat besar. Jika baik, serba salah bila tidak ikut menjadi manusia yang baik-baik. Terlebih, sistem yang diberlakukan negara dalam hal sosial, ekonomi, sanksi, dan lainnya menjadi faktor penyempurna terbentuknya tatanan hidup dambaan atau penuh penderitaan. Sayangnya, seringkali kemampuan negara dalam memberlakukan sistem diragukan atau tidak dianggap menjadi faktor terpenting.
Padahal negara sejatinya sangat mampu dan pasti memberi pengaruh besar, misalnya dalam pemberlakuan car free day. Pengendara mobil yang melewati area tersebut tidak akan berani menerobos pembatas sehingga memaksanya untuk mencari alternatif rute perjalanan yang bisa jadi lebih jauh.
Awalnya mungkin muncul rasa terpaksa ketika negara menjadikannya sistem sebuah aturan, namun seiring berjalannya waktu akan dapat terbentuk sebuah keteraturan. Terlebih jika diiringi dengan kesadaran untuk melakukannya, maka sistem akan terwujud.
Selain itu, yang menjadi bibit persoalan maraknya perilaku yang tidak pantas dilakukan seorang ayah kepada anaknya memiliki kaitan erat dengan paham kebebasan (liberalisme). Seseorang akan merasa bebas melakukan apa saja, bahkan bila itu diatasnamakan demi kebaikan diri dan keluarga.
Ini berkebalikan dengan pandangan Islam yang berlaku bagi setiap orang yang beriman, halal-haram menjadi standar yang penting untuk dipertimbangkan sebelum melakukan aktivitas. Mau mendidik anak seperti apa, mau mengarahkan keluarga dengan jalan bagaimana, semua ada lengkap panduannya dalam Islam.
Tinggal diikuti, tak perlu diutak-atik atau mencari yang lebih baik, tak akan ada. Dalam Islam, ayah sebagai kepala keluarga memiliki kewajiban memberi nafkah yang halal bagi anak dan istri. Ibaratnya sekolah, ayah sebagai kepala sekolah yang merancang kurikulum pembelajaran, ibu adalah guru yang secara langsung memberikan pengajaran, anak merupakan siswa yang butuh banyak informasi benar dari gurunya sehingga terbentuk kepribadian Islam dalam dirinya.
Begitu pula bila Islam terwujud nyata dalam pengaturan negara. Pemerintahan Islam sangat memperhatikan hak anak bahkan memotivasi sang ibu dan ayah untuk memenuhinya. Khalifah Umar dalam Khilafah Islamiyah membuktikan hal tersebut.
Pada awalnya beliau memberlakukan kebijakan untuk memberi santunan bagi anak yang disapih. Setelah diketahui bahwa hal ini malah memicu ibu menyapih terlalu dini, Khalifah melakuan evaluasi, mencabut kebijakan yang telah lalu kemudian memberikan santunan kepada setiap bayi yang lahir demi menjaga hak anak mendapat susuan ibunya dan tidak tergesa-gesa disapih.[MO]