Oleh: Novita Sari Gunawan
(Aktifis Akademi Menulis Kreatif)
Mediaoposisi.com- Alkisah para bos rentenir hendak mengadakan rapat tahunan. Mengetahui hal itu para nasabah yg menjadi pasiennya berlomba-lomba menawarkan diri menjadi tuan rumah pertemuan tersebut. Dari sekian nasabah, tercetuslah satu nama yg dianggap mewakili kriteria setelah melewati seleksi yang ketat.
Dia siap menanggung semua biaya fasilitas rapat tahunan itu. Meskipun konon kondisi keuangan keluarganya sedang minus dan menanggung banyak utang. Setidaknya dia punya banyak aset strategis untuk dijaminkan atau dijual. Usut punya usut mengapa orang tersebut mau menjadi tuan rumah agenda tersebut? Ternyata dia berharap mendapatkan utang baru untuk membiayai beberapa proyek bisnisnya yg mulai mangkrak.
Kisah diatas barangkali bisa menjadi mirroring kondisi indonesia saat ini. Sebagaimana ramai diberitakan di media, Indonesia dipercaya menjadi tuan rumah gelaran IMF-World Bank Annual Meeting pada Oktober 2018 mendatang. Acara itu akan dihadiri tamu delegasi yang jumlahnya ditaksir lebih dari 15.000 orang. Di antaranya para menteri keuangan, gubernur bank sentral, bankir, hingga CEO dari seluruh dunia.
Alasan mengapa Indonesia dipilih sebagai tuan rumah pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia? Managing Director International Monetary Fund (IMF) Christine Lagarde mengungkapkan bahwa untuk jadi tuan rumah gelaran IMF-World Bank Annual Meeting, ada proses seleksi yang sangat ketat. Dari total 189 negara anggota IMF, mereka yang berminat pertama-tama akan mengajukan diri lalu menjalani tahapan tertentu.
"Mereka bersaing ketat dan prosesnya sangat transparan, ada juri dari anggota IMF dan World Bank yang memperhitungkan banyak indikator, di antaranya akomodasi, transportasi, akses yang mudah, Wi-Fi, aspek keamanan, sampai hal teknis lainnya," kata Lagarde saat ditemui pewarta di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Jumat. (kompas.com)
Ini ibarat mengangkat sejarah yang kembali terulang. Menolak lupa, kedatangan IMF ke Indonesia pada tahun 1998 silam meninggalkan jejak berdarah-darah bagi Indonesia. IMF menjadi biang kerok rusaknya sendi-sendi perekonomian tanah air. Apakah Indonesia ingin terperosok di lubang yang sama?
Di satu sisi ada yang berpandangan hal ini menguntungkan rezim. Melihat Indonesia yang menjadi tuan rumah pertemuan tersebut, menandakan stabilitas politik tanah air aman untuk iklim investasi. Namun, di sisi lain banyak pula yang insaf bahwa ini adalah cara bagi kapitalis untuk menguatkan hegemoni dalam Neo kolonialismenya.
Tak ada makan siang gratis, begitulah istilahnya. Ada imbal balik yang diharapkan melalui butir-butir perjanjian Letter of intent (LOI). Cara ini digunakan untuk melanggengkan dan melegitimasi ketergantungan Negara dunia ketiga terhadap Negara adidaya. Dengan kata lain, kolonialisasi tidak lagi terjadi secara fisik melainkan melalui hegemoni yakni dominasi cara pandang atau ideologi dan beberapa penandatanganan kesepakatan termasuk salah satunya dalam perjanjian LOI ini.
Negara Imperialis menggunakan lembaga-lembaga modal Internasional seperti IMF dan World Bank guna meloloskan kepentingannya. Ini merupakan hakekat dari penindasan-penjajahan (imperialisme) yang sebenarnya. Terlihat secara kasat mata seolah memberikan bala bantuan, namun sejatinya mempunyai misi eksploitatif. Peran negara secara langsung mengalami penyempitan dalam kontribusinya mengelola sumber-sumber perekonomian. Diambil alih oleh para kapitalis untuk semakin membesarkan kantong-kantongnya.
Akankah pertemuan itu menguntungkan bagi rakyat sebenarnya? Adakah misi terselubung dibalik pertemuan tersebut. Tujuan dari kedua belah pihak hanyalah bagaimana meraup kepentingannya semata. Alih-alih untuk menyejahterakan rakyat namun sejatinya hanya untuk hajat segelintir orang saja yakni para elite kapitalis Imperialis.[MO/br]