Revolusi| Mediaoposisi.com- Kekhawatiran sebagian pihak terhadap Perpres TKA bukan tanpa alasan. Serbuan tenaga kerja asing ke Indonesia naik tajam. Patut menjadi perenungan menjelang Hari Buruh Internasional digelar pada 1 Mei 2018 mendatang.
Aksi-aksi buruh di nusantara akan membanjiri headline media nasional. Tuntutannya seputar kesejahteraan dan berbagai kebijakan yang tidak memihak nasib buruh. Salah satunya kehadiran Perpres TKA No. 20 Tahun 2018. Seakan memberikan angin segar bagi buruh TKA, sedang pribumi di luar sana masih berduka mengais upah yang tak seberapa bahkan hampir tak bekerja alias jobless.
Kebijakan Jokowi yang cenderung merangkul China baik kerjasama investasi maupun kemudahan administrasi, tentu ada ideologi yang melandasinya. Pancasila yang dipuja bahkan tak berdaya menghadapi ideologi yang sudah menjajah banyak negara berkembang di skala internasional.
Ideologi yang dimaksud adalah kapitalisme dengan derivatnya seperti neo-imperialisme dan neo-liberalisme. Sekalipun China pengemban sosialis-komunis, namun faktanya ia menerapkan ekonomi kapitalis.
Kapitalisme sebagai sistem yang mendunia memiliki metode khas dalam menjerat negara-negara kaya sumber daya alam, yaitu neo-imperialisme (penjajahan gaya baru). Salah satunya diwujudkan dengan lembaga dan kerjasama internasional.
Sebagai contoh, melalui WTO negara yang tergabung dalam ikatan lembaga ini ‘dipaksa’ tunduk dengan kebijakannya, tak terkecuali Indonesia.
Loyalitas rezim Jokowi terhadap asing tak terlepas dari kerjsaama bilateral maupun internasional yang berasas kapitalisme.
Dampak dari penerapan ekonomi kapitalis ini, liberalisasi perdangan kian marak dilakukan. Impor pangan, impor dosen, impor tenaga kerja asing menjadi konsekuensi logis atas kerjasama Indonesia dengan China karena terikat aturan main dari produk CAFTA yang telah disepakati bersama.
Penghapusan bea masuk hingga 0% adalah perwujudan dari liberalisasi perdangan yang menginduk pada kebijakan sistem ekonomi kapitalisme.
Di era kapitalisme, kebebasan kepemilikan juga menjadi andalan bagi pengusaha besar (kapital) maupun negara kapital untuk membeli dan mengelola kekayaan sumber daya alam suatu negara atas nama investasi dan liberalisasi.
Walhasil, aset negara dan SDA yang seharusnya menjadi milik negara, bisa dimiliki oleh individu asal ada uang dan modal.
Menurut Ismail Nawawi dalam buku Filsafat Ekonomi Islam, sistem ekonomi kapitalis pada hakikatnya merupakan segala aturan kehidupan masyarakat, termasuk di bidang ekonomi, tidaklah diambil dari agama tetapi sepenuhnya diserahkan kepada manusia, apa yang dipandang memberikan manfaat.
Jadi, ekonomi kapitalisme menyandarkan pada asas kebebasan kepemilikan, manfaat materi, dan persaingan pasar. Sesuai dengan teori pendirinya yaitu Adam Smith dalam bukunya An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations disebutkan model sistem ekonomi ini merujuk pada perekonomian pasar persaingan sempurna.
Faktor distribusi dan kesejahteraan tak menjadi fokus pembahasan dalam ekonomi kapitalisme. Tingginya konsumerisme suatu negara memiliki keuntungan tersendiri bagi para kapitalis memasarkan produk barang dan jasanya ke negara tersebut.
Mengharapkan kesejahteraan ekonomi di alam kapitalisme hanyalah angan dan mimpi belaka. Kesejahteraan ekonomi kapitalisme hanya dirasakan mereka yang bermodal besar.
Sebagai refleksi Hari Buruh, tuntutan kesejahteraan dan upah yang sesuai tak akan pernah didapatkan secara optimal selama kapitalisme masih menjadi asas dalam berekonomi dan bernegara.[MO/cj]