Oleh: Isma Sawitri
Mediaoposisi.com- Berlakunya Peraturan Presiden tentang Tenaga Kerja Asing (Perpres TKA) menuai polemik. Banyak pihak menyayangkan ditekennya Perpres No. 20 Tahun 2018 itu karena dianggap mengancam tenaga kerja pribumi. (nasional.sindonews.com)
Meski dibantah Menteri Tenaga Kerja (Menaker) bahwa TKA tidak akan membanjiri nusantara, banyak yang bersuara agar peraturan tersebut dicabut. Atau jika tetap berlaku, harus ada pembatasan jumlah TKA yang masuk. Jika tidak maka warga lokal bisa tergusur arus deras akibat banjir tenaga kerja asing. (m.detik.com)
Bahkan diperkirakan jika terus dibiarkan, nanti tenaga kerja lokal akan terasingkan di negara sendiri.
(m.kiblat.net/2018/04/14)
Kebijakan itu menurut Fadli Zon Wakil Ketua DPR, akan semakin menyulitkan para pencari kerja. Persaingan yang semakin tajam akan memunculkan masyarakat yang rawan konflik.
Saat ini saja berlangsung diskriminasi yang cukup mencolok. PT Virtue Dragon Nikel Industri di Konawe Sulawesi Tengah mempekerjakan buruh Cina sebanyak 500 orang sebagai juru masak, sopir, office boy hingga buruh bangunan. Sedangkan buruh lokal hanya 246 orang. Terlihat jelas terpinggirkanya tenaga kerja lokal.
Ditambah lagi ketidakadilan yang dialami tenaga kerja lokal di Pabrik Semen Pulo Ampel, Serang, Banten. Dimana perbandingan upahnya sangat tidak sesuai. Buruh asal Cina dibayar 15 juta rupiah per bulan sedangkan buruh lokal hanya mendapatkan 2 juta rupiah tiap bulannya.
Dampak yang hadir bukan hanya persaingan ekonomi yang keras, tapi juga ancaman liberalisasi budaya. Sebab, kedatangan TKA tidak lepas dari karakter dan gaya hidup yang melekat pada mereka. Gemar berpesta, minum minuman beralkhohol, free-sex prostitusi, makan daging babi, jorok dan sebagainya. Gaya hidup yang rusak itu akan merusak moral dan nilai-nilai agama di masyarakat.
Kemudahan masuknya TKA sebagai konsekunesi dari investasi asing, merupakan bagian dari berbagai perjanjian perdagangan pasar bebas seperti AFTA dan MEA. Belum lagi ditambah investasi infrastruktur yang seolah mempermudah namun justru menjadi jebakan ekonomi global yang akan terus menyandera negeri ini.
Begitulah, saat penguasa mengurusi rakyat dengan paradigma yang salah. Penguasa hanya sebagai regulator bukan pelayan rakyat.
Seharusnya para petinggi negeri ini berkaca pada pengalaman Singapura. Dimana penduduk setempat, kaum Melayu terpinggirkan akibat massifnya para pendatang yang notabene asing.
Jika tak ingin mengalami hal serupa, maka ambilah cara bagaimana Islam mengatur negeri. Islam akan menutup celah penguasaan asing atas kaum muslimin sesuai perintah-Nya dalam surat An-Nisaa ayat 141 (terjemahan): "...dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman."
Tentu saja syarat dan ketentuan berlaku. Syaratnya harus menerapkan aturan Islam yang komprehensif. Ketentuannya pilihlah pemimpin amanah yang tidak akan mengkhianati rakyatnya.
Sehingga takkan memberikan ruang sedikitpun demi terbukanya jalan masuk bagi asing dan aseng menguasai kaum muslim. Sehingga nanti tergusurnya warga lokal akibat arus deras asing hanyalah cerita belaka.[MO]