Oleh: Hasni Tagili
Mediaoposisi.com-Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir, angkat bicara terkait rencana pemerintah mendatangkan 200 dosen asing ke Tanah Air (10/04/2018). Ia menegaskan, hal itu dalam rangka meningkatkan peringkat perguruan tinggi Indonesia di mata dunia (Tangsel.com, 17/04/2018).
Dalam sistem penilaian peringkat kampus berdasarkan QS Rangking, perguruan tinggi dinilai berkualitas jika melakukan pertukaran ilmu dan SDM antar negara dan antar perguruan tinggi luar negeri.
Berdasarkan mekanisme penilaian tersebut, Indonesia menempati urutan 310 (Universitas Indonesia). Survei ini melibatkan 891 universitas di dunia (survey QS World University Rankings tentang Top Universities in the World 2014/2015).
Lengkapnya, ada 8 universitas di Indonesia yang berada dalam daftar survey QS World. Delapan universitas tersebut selama ini dipandang sebagai universitas terbaik di Indonesia.
Diantaranya Universitas Indonesia, Jakarta, score 40.9 (Peringkat 310), Institut Teknologi Bandung, Bandung (Peringkat 461), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (Peringkat 551), Universitas Airlangga, Surabaya (Peringkat 703), Institut Pertanian Bogor, Bogor (Peringkat 719), Universitas Diponegoro, Semarang (Peringkat 725), Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya (Peringkat 767), dan Universitas Brawijaya, Malang (Peringkat 826).
Oleh karena itu, Indonesia dipandang memang memerlukan banyak dosen asing. Selain untuk mendongkrak peringkat, juga untuk mengajar karena jumlah perguruan tinggi di Indonesia yang mencapai 4500 perguruan.
Pasca wacana dari Menristekdikti itu, berbagai pihak angkat bicara. Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo, mengingatkan Kemristekdikti agar tidak terburu-buru mendatangkan ratusan tenaga dosen asing.
Sebaiknya dilakukan pemetaan lebih dahulu terhadap persoalan, kondisi, dan kebutuhan di setiap perguruan tinggi di Indonesia (Antaranew.com, 14/04/2018).
Menurutnya, banyaknya dosen asing yang mengajar di Indonesia, dengan pendekatan ideologi yang belum tentu sama dengan Pancasila, dikhawatirkan akan berdampak terhadap ketahanan nasional.
Kemenristekdikti juga diingatkan soal masih timpangnya keberadaan tenaga dosen dan non-dosen di perguruan tinggi di perkotaan dan daerah-daerah di Indonesia.
Anggota Komisi X DPR RI, Anang Hermansyah, mempertanyakan kebijakan pemerintah yang dinilai mempermudah hadirnya dosen-dosen asing untuk mengajar di berbagai kampus Indonesia pasca-terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Kompas.com, 15/04/2018).
Anang mengakui, berdasarkan data, komposisi jumlah mahasiswa baik yang berada di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan jumlah dosen memang tidak imbang.
“Data tahun 2014/2015 jumlah mahasiswa di PTN sebanyak 1,9 juta, sementara mahasiswa di PTS sebanyak 3,9 juta. Sedangkan jumlah dosen PTN sebanyak 63.704 dan di PTS 108.067 dosen. Bisa dilihat dari data itu, komposisi antara mahasiswa dan dosen memang tampak timpang,” ujarnya.
Baca : Arus Deras TKA, Menggusur Warga Lokal
Namun, menurut Anang, andai saja kita memang kekurangan dosen untuk bidang tertentu, apa problem solvingnya harus dengan mengimpor dosen asing. Ia menuturkan, ada sejumlah hal yang wajib dipertimbangkan. Salah satunya adalah tujuan pendidikan untuk mempersiapkan generasi muda dengan wawasan kebangsaan.
Wacana impor rektor yang terlanjur membuat beberapa pihak berkecamuk usai digulirkan oleh Menristekdikti, ternyata menelurkan bantahan.
Seolah tak ingin memanen lebih banyak kecaman, Kemenristekdikti melalui Sekretaris Jenderal-nya (Sesjen), Ainun Na'im, meluruskan bahwa mendatangkan dosen asing ditujukan hanya sebagai profesor tamu (24/04/2018).
Sedangkan Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti (SDID) Kemenristekdikti, Ali Ghufron Mukti, membantah perguruan tinggi Tanah Air akan mengimpor dosen dari luar negeri melainkan profesor kelas dunia. Kehadiran mereka menggunakan skema World Class Professor (WCP).
WCP merupakan skema khusus yang disediakan Kemenristekdikti sejak 2017 bagi dosen kelas dunia, baik asing maupun dalam negeri dengan tujuan meningkatkan kualitas penelitian melalui jalur kolaborasi. Mereka yang didatangkan merupakan profesor kelas dunia, bukan sekadar profesor berkewarganegaraan asing.
Terlepas dari pro-kotra tersebut, Tri Dharma Perguruan Tinggi di Indonesia memang menekankan sinergisitas kampus sebagai institusi pendidik, penelitian, sekaligus pengabdian kepada masyarakat. Namun faktanya, konsep tersebut telah banyak bergeser.
Kampus cenderung diisi oleh oknum yang mendikte jalur pendidikan sebagai bisnis. Alhasil, kualitas perguruan tinggi di Indonesia menjadi permasalahan serius yang menuntut untuk segara dituntaskan.
Akan tetapi, persoalan kualitas perguruan tinggi bukan hanya terletak pada kepemimpinan (orang) tapi lebih mendasar pada sistem yang menjadi pijakan lahirnya kurikulum. Pendidikan tinggi cenderung diprivatisasi dan dikapitalisasi.
Muatan privatisasi pendidikan ini terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Konten pasal tersebut menggiring masyarakat untuk turut serta dalam membiayai pendidikan. Nampak jelas indikasi negara mulai berlepas tangan pada masalah pendidikan.
Konsekuensinya, biaya operasional pendidikan tinggi membengkak sebab dikelola secara mandiri oleh kampus dan diserahkan kepada swasta. Dengan adanya otonomi kampus, hanya orang-orang yang berkantong ‘tebal’ yang bisa masuk perguruan tinggi. Sekalipun cerdas dan lulus seleksi, para calon intelektual bangsa ini dihadang dengan biaya yang dibanderol mulai jutaan hingga ratusan juta rupiah. Sungguh kualitas output yang patut dipertanyakan!
Adapun muatan kapitalisasi dalam pendidikan tinggi terlihat dari biaya pelatihan masuk perguruan tinggi yang berkisar Rp 3 juta sampai Rp 40 juta. Untuk beberapa perguruan tinggi, biaya tes minimumnya berkisar Rp 1 juta. Sedangkan dana pembangunan minimal Rp 10 juta sampai dengan Rp 100 juta.
Muatan kapitalisasi lainnya tertuang dalam peralihan fungsi riset. Riset yang tadinya merupakan penelitian yang dibutuhkan oleh masyarakat beralih fungsi menjadi riset yang diinginkan para pengucur dana. Kampus akan lebih memilih sibuk berbisnis untuk keberlangsungan hidupnya daripada berkonsentrasi pada peningkatan mutu intelektual sumber daya manusia yang dimiliki.
Hal ini makin memperjelas liberalisasi perguruan tinggi agar dikuasai sepenuhnya oleh asing yang berideologi sekuler untuk menghasilkan generasi liberal yang melanggengkan penjajahan ekonomi dan politik barat. Pun, tidak terkecuali pada program mendatangkan dosen asing sebagai problem solving masalah rangking pendidikan Indonesia di mata dunia.
Sementara dalam Islam, hal demikian harus dihindari. Setiap orang dituntut untuk menjadi intelektual yang memiliki kecerdasan integral. Kecerdasan tersebut meliputi kecerdasan intelektual, spiritual, emosional dan politik.
Seorang intelektual Islam perlu memiliki penguasaan tsaqofah Islam, ilmu kehidupan, dan komitmen memegang prinsip dasar Islam. Sehingga, orang tersebut dapat menyelesaikan seluruh masalah yang dihadapinya dalam kehidupan.
Sistem pendidikan tinggi menjadi hal yang mutlak disediakan oleh negara. Sebab, dari perguruan tinggilah lahir profesi-profesi yang keberadaannya wajib kifayah bagi masyarakat (dokter, guru, dosen, polisi, perawat, dsb).
Negara wajib mengupayakan agar pendidikan memiliki kualitas yang bermutu dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Tak terkecuali dengan tenaga pengajarnya. Negara memfasilitasi lahirnya pendidik dalam negeri yang mumpuni dan memaksimalkan kiprah mereka. Bukan dengan mendatangkan banyak pengajar dari luar.
Sebab, imbas dari rencana yang dikucurkan negara akan berdampak pada umat. Baik buruknya input yang didapatkan umat, tergantung pada sepak terjang negara. Sementara setiap poin kebijakan negara akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Seorang Imam (Khalifah/Kepala Negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam mencari ilmu, Islam memberikan sejumlah motivasi dan panduan agar selalu berjalan sesuai syariah Allah SWT. Penggunaan teknologi, misalnya. Teknologi hanya akan digunakan untuk memanusiakan manusia, bukan memperbudaknya. Teknologi digunakan untuk menjadikan Islam rahmatan lil alamin, bukan untuk menjajah negeri-negeri lain.[MO/un]