Pemandangan tak biasa tampak di Pura dan Kemaliq Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada Minggu (3/12) sore. Umat Islam dan Hindu dari sejumlah wilayah di Lombok Barat datang memenuhi area pura untuk berperang.
Begitu kedua kubu bertemu, aksi saling lempar tak terelakkan. Anak-anak hingga orang tua larut dalam peperangan. Namun, tak ada darah, dan juga air mata.
Perang ini justru menimbulkan gelak tawa dan rasa gembira. Perang yang dikenal dengan sebutan Perang Topat(ketupat) merupakan tradisi yang berlangsung turun-temurun dan masih terjaga hingga kini.
Sesaat sebelum prosesi perang dimulai, sebagian massa mengambil tempat di halaman Pura Gaduh, yang menjadi tempat persembahyangan umat Hindu. Sedangkan, sebagian lagi berada di halaman depan bangunan Kemaliq, yang disakralkan bagi sebagian masyarakat umat Islam.
Wakil Gubernur NTB Muhammad Amin mengatakan, perang topat merupakan tradisi budaya yang harus dilestarikan. Menurut Amin, Perang Topat merupakan wujud nyata toleransi kerukunan umat beragama di Lombok. Amin menilai, tradisi Perang Topat juga memiliki daya tarik bagi sektor pariwisata NTB.
“Perang yang tidak ada pernah ada rasa menang dan kalah. Ini event budaya yang terus kita lestarikan dan kembangkan,” kata Amin sesaat sebelum membuka prosesi Perang Topat.
Usai menyampaikan pembukaan, Amin langsung memberi aba-aba pertanda perang dimulai. Tanpa ragu, Amin bersama Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid mengawali prosesi perang dengan melemparkan ketupat mini.
Begitu aba-aba perang dimulai, massa kedua kubu yang tampak sudah tidak sabar langsung berebut ketupat dan melemparkannya ke arah lawan. Tak ada amarah, baik Umat Islam maupun umat Hindu justru saling lepas tawa untuk saling membalas lemparan.
Tokoh Adat di Lingsar, Suparman, mengungkapkan, Perang Topat merupakan tradisi turun temurun yang terus dijaga masyarakat Lingkar dalam menjaga kerukunan umat beragama.
Ia menerangkan, Kompleks Pura Lingsar merupakan sebuah Pura yang dibangun pada 1759 saat zaman Raja Anak Agung Gede Ngurah, keturunan Raja Karangasem Bali, yang sempat berkuasa di sebagian pulau Lombok pada abad ke-17 silam.
Dalam pura ini, ada dua bangunan besar yakni Pura Gaduh sebagai tempat persembahyangan umat Hindu, dan bangunan Kemaliq, yang disakralkan sebagian umat Muslim Sasak dan masih digunakan untuk upacara-upacara ritual adat hingga kini.
Masyarakat Desa Lingsar, lanjut Suparman, selalu menggelar ritual Perang Topat pada hari ke-15 bulan ke tujuh pada penanggalan Sasak Lombok, yang disebut purnama sasih kepitu (Purnama bulan ketujuh), atau hari ke 15 bulan ke enam pada penanggalan Hindu Bali, yang disebut purnama sasi kenem (Purnama bulan keenam).
“Pada malam purnama, umat Hindu akan melaksanakan upacara Pujawali. Sedangkan umat muslim akan melakukan napak tilas memperingati jasa Raden Mas Sumilir, seorang penyiar agama Islam dari Demak, Jawa Tengah, yang menyiarkan Islam di Lombok pada abad 15,” Suparman mengisahkan.
Uniknya, masyarakat akan membawa sisa ketupat yang digunakan saling lempar untuk ditaburkan di sawah. Salah satunya, warga Narmada, Lombok Barat, Syaviq Wahyudi, yang sengaja membawa hasil ketupatnya untuk ia tanamkan di sawahnya.
Ia juga mengaku senang dengan acara Perang Topat. Menurutnya, acara ini terbukti mampu merekatkan rasa persatuan antar umat beragama di Lombok
“Bagus juga tarik wisatawan, sekarang tambah ramai, dan bagus untuk kedua umat,” ungkap Suparman. (eramuslim)