Oleh: A. Rizal Zakarya - Dir. Indonesia Justice Monitor
Kesengsaraan yang diderita rakyat saat ini tak terlepas dari jeratan konspirasi asing yang dipaksakan di negeri ini. Rakyat tak mampu lagi menaikkan derajat hidup mereka meski hanya untuk menambah sesuap nasi. Persoalan-persoalan serius semacam kemiskinan, kebodohan, buruknya tingkat kesehatan, pengangguran, rendahnya kesejahteraan, ketidakadilan hukum, dan masih banyak yang lainnya telah memborgol harapan rakyat. Kejahatan sistemik yang dilakukan oleh penguasa tak ditampakkan secara jelas namun sangat terasa melumpuhkan setiap sendi kehidupan rakyat. Keberpihakan penguasa pada asing yang notabene adalah para penjajah benar-benar memberikan sumbangsih besar kepada penderitaan rakyat. Untuk melancarkan aksi penjajahannya, asing memanfaatkan para penguasa komprador di negeri ini.
Istilah Komprador ini sebenarnya digunakan pada masa penjajahan untuk menyebut para pengantara perusahaan-perusahaan atau perwakilan asing dengan orang-orang pribumi. Saat itu orang-orang ini lebih dikenal dengan sebutan demang. Para demang ini orang indonesia yang menghamba dan mengabdikan diri mereka pada belanda. Namun dalam perjalanannya istilah komprador itu masuk ke ranah politik. Muncullah istilah penguasa komprador yang digunakan untuk menyebut para penguasa antek yang menjadi kaki tangan asing dalam hubungannya dengan rakyat.
Setidaknya untuk mengidentifikasi apakah seorang penguasa itu merupakan penguasa komprador atau bukan ada beberapa cara. Pertama, pengakuan dari penguasa tersebut. Kedua, selalu mengekor pada kebijakan asing. Ketiga, membuat UU yang pro asing. Keempat, melantik penjabat yang memelihara kepentingan asing. Kelima, memberikan keuntungan pada asing saat membangun kerjasama. Jika salah satu saja terdapat pada diri penguasa tersebut maka bisa dipastikan ia adalah penguasa komprador.
Para penguasa komprador itu selalu berupaya sekuat tenaga untuk melakukan apa yang dikendaki oleh asing walaupun tindakannya itu justru menjerumuskan rakyat mereka sendiri ke dalam jurang kesengsaraan. Bagi mereka, janji-janji manis kesejahteraan rakyat akan selalu disuarakan namun tentu saja hanya menjadi slogan dan retorika kosong semata agar rakyat masih mempercayakan pengaturan urusan negeri ini tetap dalam genggaman mereka, yang justru kepercayaan itu menjadi modal besar untuk melancarkan agenda-agenda asing. Pengkhianatan menjadi sebuah keniscayaan. Selama rakyat masih menaruh kepercayaan kepada para penguasa komprador itu maka pengkhianatan pasti akan terus berlangsung.
Munculnya para penguasa komprador ini tidak terlepas dari politik pencitraan pra pemilu yang digencarkan oleh media massa. Dengan adanya pencitraan yang baik pra pemilu akan menggiring rakyat untuk memilih penguasa itu. Mereka menyuguhkan berita yang tidak jujur. Belum lagi praktik money politic yang selalu mengiringi saat aksi kampanye yang semakin menambah variasi tipu daya mereka. Darimana dana kampanye itu? Bahkan jumlahnya sangat fantastis. Ini pasti melibatkan para pemodal besar. Sesungguhnya adanya praktik politik uang ini juga didukung dari pragmatisme politik di tengah masyarakat. Namun lagi-lagi, tak ada pernyataan mereka yang jujur kecuali menyangkut kepentingan asing. Setelah rakyat memilih mereka, kesejahteraan para pemodal dan asing lah yang menjadi fokus pekerjaan mereka.
Menurut MR Kurnia, Direktur Pusat Kajian Politik Islam (PKPI) menjelaskan tentang mengapa masih banyak rakyat yang tak mampu mengidentifikasi para penguasa komprador, "ada banyak faktor yang memenuhinya. Pertama: rendahnya pendidikan. Di Indonesia lebih dari 80 persen penduduk hanya bersekolah hingga 7 tahun (hingga SMP kelas 1). Pekerjaannya pun rendah, gaji sedikit. Setiap hari cukup memikirkan diri dan keluarga. Tidak sempat berpikir tentang hal-hal ‘berat’ seperti apa yang dilakukan penguasa. Akibat kesulitan hidup demikian, perkara yang terpikirkan hanyalah bagaimana mengatasi hidup keseharian. Kedua: lemahnya (kalau tidak boleh disebut tidak ada) kesadaran politik di dalam tubuh umat. Mereka hanya memahami hal-hal yang kongkret langsung berhubungan dengan mereka. Contoh paling ringan, dalam Pemilu bukan melihat visi, misi dan ideologi yang dibawa, melainkan ketenaran dan uang. Ketiga: ada politik pencitraan yang dilakukan penguasa melalui media massa. Akibatnya, rakyat hanya melihat apa yang dimunculkan di koran, TV, dll tanpa paham bagaimana hakikat sesungguhnya. Lebih dari itu, ada juga penyesatan politik. Misalnya, ketika Presiden AS George W Bush datang ke Indonesia, penentangan terhadap kezalimannya menggema dimana-mana. Namun, yang diopinikan, “Kita negara beradab yang harus memuliakan tamu.” Padahal tamunya perampok harta kekayaan rakyat, pembunuh ratusan ribu nyawa kaum Muslim di Irak, dll".
Seharusnya rakyat sadar dan tak boleh diam. Rakyat harus terus bicara. Konspirasi penguasa komprador dengan asing harus terus diungkap! [IJM]