Emha Ainin Nadjib (Cak Nun) |
TONGKAT PERPPU DAN TONGKAT MUSA
Oleh : Emha Ainun Nadjib (Budayawan)
Pada hari muncul wacana dari Pemerintah untuk membubarkan HTI dll, malam itu bersama Kiai Kanjeng dan lebih 10 ribu massa kami “maiyahan” di halaman Polres Malang Raya. Didokumentasi dengan baik oleh pihak Polres saya menjelaskan “peta pengetahuan dan ilmu” tentang Khilafah. Sikap dasar Maiyah adalah pengambilan jarak yang terukur untuk tidak mencintai secara membabi-buta atau membenci dengan mata gelap dan amarah.
Pada hari lain sesudahnya berturut-turut di Yogya saya menerima tamu dari DPP HTI, kemudian Kapolda DIY, sesudah itu rombongan para perwira tinggi dari Mabes Polri. Tema pertemuan itu meskipun lebaran variabelnya berbeda, tetapi fokusnya tetap seputar Khilafah. Pengetahuan saya sangat terbatas, sehingga apa yang saya kemukakan kepada HTI maupun Polri sama saja. Policy penciptaan Tuhan atas manusia yang dimandati Khilafah, epistemologinya, koordinatnya dalam seluruh bangunan Syariat Allah, mosaik tafsir-tafsirnya, dialektika sejarahnya dengan berjenis-jenis otoritas pada kumpulan manusia, termasuk tidak adanya regulasi penggunaan kata yang terbiaskan di antara substansi, filosofi, branding, jargon politik, icon eksistensi, merk dagang dan pasar – yang di dalam Islam disebut fenomena “aurat”.
Belum ada diskusi publik antara berbagai kalangan, termasuk pada Kaum Muslimin sendiri, misalnya apakah mungkin bikin Warung Tempe Penyet “Islam Sunni”, Kesebelasan “Ahlus Sunnah wal Jamaah”, Geng Motor “Jihad fi Sabilillah”, Bengkel Mobil “25 Rasul”, produksi Air “Nokafir”, atau Jagal Sapi “Izroil”. Tapi memang ada Band Group “Wali”, Bank “Syariah” dan “Muamalat”, Sekolah Dasar Islam, atau Islamic Fashion. Meskipun saya tidak khawatir akan muncul “Coca Cola Rasulullah saw”, Paguyuban “Obama Atina Fiddunya Hasanah”, atau Kelompok Pendatang Haram “Visa Bilillah”; tetapi saya merindukan ada Sekolah “Daun Hijau”, Universitas “Pohon Pisang” atau merk rokok “Hisab Akherat”.
Belum ada diskusi strategis yang menganalisis kalau ada T-Shirt bertuliskan “Islam My Right, My Choice, My Life”, apakah pemakainya sedang meyakinkan dirinya sendiri yang belum yakin dengan Islamnya. Ataukah ia unjuk gigi kepada orang lain. Ataukah ia bagian dari “aurat”, sesuatu yang terindah dan sakral sehingga justru sebaiknya ditutupi, sebagaimana bagian kelamin dan payudara. Sampai pada getolnya HTI dengan kata “Khilafah” sampai menyebar jadi kesan umum bahwa HTI adalah Khilafah, Khilafah adalah HTI, yang bukan HTI bukan Khilafah. Padahal NU, Muhammadiyah, semua ummat manusia adalah Khalifatullah di Bumi.
HTI memerlukan satu dua era untuk pengguliran diskusi publik tentang Khilafah, yang diwacanakan dengan komprehensi ilmu selengkap-lengkapnya, dan menghindari keterperosokan untuk menjadi jargon politik, bendera ideologi atau wajah identitas yang bersifat “padat”, yang membuat semua yang di sekitarnya merasa terancam. Saya sempat kemukakan kepada teman-teman HTI : “Bagaimana mungkin Anda menawarkan Khilafah tanpa kesabaran berproses menjelaskan kepada semua pihak bahwa Khilafah bukanlah ancaman, melainkan tawaran solusi bagi problem ummat manusia. Kalau kita masukkan makanan ke mulut orang, tanpa terlebih dulu mempersiapkan pemahaman tentang makanan itu, pasti akan dimuntahkannya. Dan kalau yang Anda cekoki itu Penguasa, maka batang leher Anda akan dicengkeram oleh tangan kekuasaannya”.
Kepada teman-teman Polri saya mohon “jangan membenci HTI, karena mereka menginginkan kehidupan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia. Mestinya Anda panggil mereka untuk dialog, simposium 3-5 sesi supaya matang. Kalau langsung Anda berangus, nanti ada cipratannya, akan membengkak, serbuk-serbuknya akan malah melebar ke organ-organ lain. Mohon Anda juga jangan anti-Khilafah, kita jangan cari masalah dengan Allah, sebab Khilafah itu gagasan paling dasar dari qadla dan qadar-Nya. Kita punya keluarga dan anak cucu, mari hindarkan konflik laten dengan Tuhan”.
Pandangan saya tentang Khilafah berbeda dengan HTI. Bagi HTI Khilafah itu “barang jadi” semacam makanan yang sudah matang dan sedang dinegosiasikan untuk diprasmanankan di atas meja Al-Maidah (hidangan). Sementara bagi saya Khilafah itu benih atau biji. Ia akan berjodoh dengan kondisi tanah yang berbeda-beda, cuaca dan sifat-sifat alam yang berbeda. Benih Khilafah akan menjadi tanaman yang tidak sama di medan kebudayaan dan peta antropologis-sosiologi yang berbeda. Kesuburan dan jenis kimiawi tanah yang berbeda akan menumbuhkan Khilafah yang juga tidak sama. Termasuk kadar tumbuhnya: bisa 30%, 50%, 80%. Saya bersyukur andaikan kadar Khilafah hanya 10%. Saya belum seorang yang lulus di hadapan Allah sebagai Muslim. Maka saya selalu mendoakan semua manusia dengan segala kelemahan dan kekurangannya, mungkin keterpelesetan dan kesesatannya, kelak tetap memperoleh kedermawanan hati Allah untuk diampuni.
Biji Khilafah bisa tumbuh menjadi pohon Kesultanan, Kekhalifahan, Kerajaan, Republik, Federasi, Perdikan, Padepokan, atau Komunitas saja, “small is beautiful” saja. Allah menganjurkan “Masuklah ke dalam Silmi setotal-totalnya” (kaffah). Dan Allah bermurah hati tidak menyatakan “Masuklah ke dalam Islam kaffah”. Kelihatannya itu terkait dengan kemurahan hati Tuhan tentang batas kemampuan manusia. Allah tidak membebani manusia hal-hal yang melebihi kuasanya. Dunia bukan Sorga. Dunia bukan kampung halaman, melainkan hanya tempat transit beberapa lama. Tidak harus ada bangunan permanen di tempat transit. Kalau bangunan Peradaban di Bumi bukan sistem besar Khilafah Islam, melainkan hanya sejauh ikhtiar-ikhtiar Silmi, yang nanti dihitung oleh Allah adalah usaha per-individu untuk menjadi Khalifah-Nya.
Kalau orang masih mau mandi, makan minum dan buang air besar maupun kecil, masih tak keberatan untuk berpakaian, membangun rumah dengan taat gravitasi, memasak air sampai mendidih, tidak keberatan untuk tidur berselang-seling dengan kerja keras menghidupi keluarga – itu sudah Khilafah, di mana manusia mematuhi asas kebersihan, kesehatan dan kemashlahatan. Kalau hukum ditegakkan, ketertiban sosial dirawat bersama, Pemerintah bertanggung jawab kepada rakyatnya, secara substansial itu sudah Khilafah.
Khalifah adalah orang yang berjalan di belakang membuntuti yang di depannya. Yang di depannya itu adalah kemauan Tuhan yang mengkonsep seluruh kehidupan ini seluruhnya. Maka Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Sila Pertama. Karena Boss Nasional dan Global kita adalah Tuhan. Sebab semua kekayaan Tanah Air ini milik-Nya, kalau mau menggali isi tambang, mau mengenyam hasil sawah dan perkebunan, rakyat dan Pemerintah Indonesia bilang permisi dulu kepada Tuhan, kemudian bilang terima kasih sesudah menikmatinya. Cara berpikir Negara Pancasila adalah menyadari posisi Tuhan sebagai The Only Owner, Kepala Komisaris, dan inspirator utama Dirut serta para Manager. Itulah Khilafah.
Kepada HTI maupun Polri sudah saya ungkapkan lebih banyak dan luas lagi. Khilafah itu ilmu dan hidayah utama dari Tuhan. Kita bersabar memahaminya, menyusun bagan dan formulanya. Yang utama bukan apa aplikasinya, melainkan efektif atau tidak untuk membangun kemashlahatan bersama, rahmatan lil’alamin dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita pastikan tidak “merusak bumi dan menumpahkan darah” (definisi dari Allah swt), saling melindungi harta, martabat dan nyawa satu sama lain (kriteria dari Rasul Muhammad saw).
Saya merasa tak banyak gunanya, tapi saya nekad ungkapkan tentang Enam Tahap Evolusi di mana Globalisme saat ini berada pada Evolusi Empat. Spektrum filosofi dan pemikiran manusia memangkas diri dan mandeg sejak awal Masehi. Manusia diredusir hanya pada ilmu dan teknologi. Bluluk, Cengkir, Degan dan Kelapa di-empat-kan, padahal ia satu yang berevolusi. Dunia sekarang bertengkar, saling dengki dan membenci antara Peradaban Bluluk, Peradaban Cengkir dan Peradaban Degan, yang bersama-sama memusuhi Peradaban Kelapa. Para pelaku Wacana Kelapa juga kebanyakan masih berpikir secara Degan, berlaku secara Cengkir, bahkan jumud dalam semangat Bluluk.
Banyak lagi spektrum nilai yang saya nekad kemukakan. Khusus kepada teman-teman Polri saya mohon agar “jangan terlalu garang dan melotot kepada rakyat”. Saya kutip An-Nas yang berisi anjuran Tuhan tentang pengelolaan sosial. Default tugas mereka adalah kasih sayang dan pengayoman (Rububiyah, “qul a’udzu bi Rabbinnas”). Kalau tidak sangat terpaksa jangan sampai pakai “Malikinnas” (Mulukiyah, kekuasaan), apalagi “Ilahinnas” (kekuatan politik dan militeristik) di mana aspirasi rakyat yang tidak sejalan dengan kemauan penguasa dibanting, dihajar dengan Tongkat Perppu, dipaksa “ndlosor”, menyembah Penguasa. Kapan-kapan Indonesia perlu punya Pemimpin yang “Rububiyah”.
Termasuk teminologi tentang Radikal, Fundamental, Liberal, Moderat: afala ta’qilun, tidak engkau olahkah dengan akalmu, kenapa engkau telan begitu saja? Apalagi salah tuding tentang yang mana yang radikal. Tetapi kemudian saya menyadari bahwa seluruh proses Indonesia ini tidak memerlukan apapun dari saya. Kalimat-kalimat kasih sayang saya “blowing in the wind”, kata Bob Dylan, “tertiup di angin lalu”, kata Kang Iwan Abdurahman, atau “bertanyalah kepada rumput yang bergoyang”, kata adik kesayangan saya Ebiet G. Ade.
Tetapi Indonesia sungguh perlu banyak-banyak berpikir ulang. Masalah tidak cukup diselesaikan dengan kekuasaan. Waktu terus bergulir dan seribu kemungkinan terus berproses. Apalagi banyak “talbis” dan “syayathinil-insi”. Tidak semua hal bisa di-cover oleh kekuasaan. Bhinneka Tunggal Ika adalah tak berhenti belajar mencintai dan saling menerima. Cinta plus Ilmu = Kebijaksanaan. Cinta minus Ilmu = Membabi-buta. Cinta plus Kepentingan = Kalap dan Penyanderaan. Kebencian plus Kepentingan = Otoritarianisme alias Firaunisme. Dan masa depan Firaun adalah kehancuran. Di ujung turnamen nanti Tongkat Perppu Firaun akan ditelan oleh Tongkat Musa.
Bangsa Indonesia ini Subjek Besar di muka bumi. Ia punya sejarah panjang tentang kebijaksanaan hidup dan peradaban karakter manusia. Bangsa Indonesia ini Garuda, bukan bebek dan ayam sembelihan. Indonesia adalah Ibu Pertiwi, bukan perempuan pelacur. Indonesia adalah Hamengku-Bumi, pemangku dunia, bukan ekor globalisasi. Barat di-ruwat, Arab di-garap, kata penduduk Gunung Merapi. Indonesia adalah dirinya sendiri. [MO]
sumber : caknun.com