Oleh : Lamroulina, Limbong S.Pd.I
Menurut penjelasan Muhadjir Effendy yang dikutip dari Kompas.com, program sertifikasi perkawinan akan dimulai pada tahun 2020 mendatang. Sertifikat perkawinan akan didapatkan setelah mengikuti kelas bimbingan selama tiga bulan bagi kedua calon pengantin.
Namun, wacana itu sendiri masih belum pasti apakah bersifat wajib dan menjadi syarat nikah atau tidak. Pasalnya, apa yang diungkapkan antara Menko PMK dengan pihak lainnya berbeda. Dilansir oleh TEMPO.CO pada 14 November 2019, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendi mengatakan bahwa calon pengantin tidak boleh menikah jika belum memiliki sertifikat layak kawin. "Ya sebelum lulus mengikuti pembekalan enggak boleh nikah," kata Muhadjir di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis, 14 November 2019.
Artinya rencana penerapan program sertifikasi perkawinan tersebut bersifat wajib dan menjadi syarat nikah. Namun belakangan, sejumlah pihak membantah jika sertifikat layak kawin menjadi syarat nikah. Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan, masyarakat tidak perlu khawatir terkait wacana diwajibkannya memiliki sertifikat pernikahan. Menurut Ma'ruf yang terpenting bukan sertifikasinya melainkan ide dan gagasan dari hasil pelatihan.
"Bukan berarti yang enggak punya sertifikat enggak boleh nikah, ini menakutkan. Substansinya yang kita pentingkan," kata Ma'ruf di Istana Wakil Presiden, di Jakarta Pusat, Jumat (15/11/2019).
Kementerian Agama (Kemenag) mengaku siap bersinergi terkait sertifikasi perkawinan dengan menyiapkan sumber daya manusia (SDM) di KUA. Bahkan, Kemenag mempunyai program pranikah, melalui semacam pelatihan yang dilakukan oleh para petugas KUA. Dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan bagi pasangan siap nikah.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) lebih mendorong keberadaan pelatihan sebelum nikah daripada sertifikat menikah. MUI memandang, pelatihan sebelum nikah lebih penting agar pasangan memahami esensi menikah dan mengurangi perceraian.
Ketua Bidang Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI Abdussomad Buchori menerangkan, MUI mengaku sudah mengusulkan ke pemerintah. "Artinya, supaya paham tentang tujuan nikah. Tapi lagi-lagi yang dimaksud sertifikat nikah ini seperti apa ya? Karena memang bangsa kita seperti ini, mungkin imbauan ya sifatnya. Perlu dilatih supaya tidak begitu saja orang menikah sebentar lalu firoq ya (cerai)," Kata Abdussomad di kantor MUI, Jakarta, Selasa (19/11/2019). (Tirto.id, 20/11/19).
Sertifikasi Perkawinan Tidak Menjamin Keluarga Terbebas dari Masalah
Terlepas dari apakah sertifikat layak kawin ini bersifat wajib dan menjadi syarat nikah atau tidak, jika substansinya bagi kedua mempelai untuk mendapatkan pembekalan. Maka, sertifikat layak kawin dinilai tidak perlu.
Bukankah sudah ada program Bimbingan Perkawinan (Binwin) atau sering disebut juga Kursus Calon Pengantin (Suscatin) dari Kemenag. Binwin merupakan program Kemenag RI yang dibiayai dari APBN dan PNBP-NR. Pelaksanaan Binwin berdasar Keputusan Dirjen Bimais Nomor : 373/2017, tentang Petunjuk Teknis Bimbingan Perkawinan Bagi calon Pengantin, dan ini dilaksanakan secara nasional di seluruh Indonesia.
Adanya sertifikat layak kawin tidak mampu menjamin dan mengatasi persoalan rumah tangga (perceraian, ekonomi keluarga, stunting, dan lain-lain). Permasalahan itu terjadi bukan soal ada sertifikat layak kawin atau tidak. Sebab akar masalah ada pada sistemnya, di era kapitalistik ketahanan keluarga tak cukup disiapkan untuk individu ditambah pengetahuan dan keterampilan tapi membutuhkan daya dukung negara.
Sistem kapitalisme yang dianut negeri ini dengan asas sekularisme menjadikan ketahanan keluarga rapuh. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (2015-2017) tren perkara putusan (inkracht) perceraian di Pengadilan Agama seluruh Indonesia saja mengalami peningkatan. Tren perkara perceraian yang diputus dalam tiga tahun terakhir itu kisaran 353.843 hingga 374.516 perkara.
Dari data faktor penyebab perceraian tahun 2017 di Pengadilan Agama seluruh Indonesia terlihat lebih didominasi alasan/faktor perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang menempati urutan pertama terbanyak. Terbanyak kedua yang menjadi penyebab perceraian adalah faktor persoalan ekonomi. Sedangkan urutan ketiga terbanyak penyebab perceraian yakni meninggalkan salah satu pihak. (Hukumonline.com)
Berharap solusi pada sistem kapitalisme dengan menerbitkan sertifikat layak kawin justru akan menambah masalah baru. Program sertifikasi perkawinan dikhawatirkan menjadi ladang korupsi baru. Seperti diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi VIII DPR dari PKB, Marwan Dasopang khawatir program ini bisa jadi ladang korupsi baru. "Lah, kalau orang layak nikah diukur dengan sertifikat, itu jangan-jangan ladang korupsi baru," ujar Marwan saat ditemui Tempo di Kompleks Parlemen, Senayan pada Senin, 18 November 2019. (TEMPO.co, 19/11/19)
Di samping itu, sertifikasi perkawinan dapat mempersulit pasangan untuk segera menikah. Dalam pandangan Islam, keutamaan menikah adalah menyempurnakan separuh agama. Maka, untuk mendapatkan keutamaan tersebut semestinya tidak dipersulit dengan birokrasi yang berbelit. Dengan birokrasi berbelit justru dikhawatirkan semakin memberi celah bagi tumbuh suburnya praktik perzinaan.
"Islam Solusi Komprehensif Problematika Kehidupan"
Islam adalah agama syamil wa kamil. Islam tidak hanya mengatur ibadah ritual saja (salat, puasa, zakat, dan sebagainya), namun Islam juga mengatur seluruh aspek kehidupan (ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan, politik). Permasalahan perceraian, ketahanan keluarga, stunting dan lain-lain adalah sistemik. Solusinya tidak cukup hanya diserahkan kepada individu-individu dengan memberikan pembekalan pranikah.
"Lalu apa saja yang harus dipersiapan seseorang menuju jenjang pernikahan"?
Pengokohan aqidah adalah hal pertama dan utama bagi generasi Islam, karena aqidah merupakan dasar dari kehidupan seorang muslim yang akan mengarahkan pada tujuan ibadah kepada Allah. Orang tua juga mengenalkan kepada anak sejak dini dengan syariah Islam, sekaligus menjadikan syariah sebagai standar perbuatan sehingga seluruh anggota keluarga terbiasa terikat pada hukum syara’.
Orang tua juga memberikan pendidikan seksualitas. Pendidikan seks dalam Islam berbeda dengan cara pandang barat. Pendidikan seks ala barat hanya berkisar pada alat reproduksi, bagaimana melakukan seks yang aman. Sementara Islam sudah mengajarkannya sejak dini. Pengenalan jenis kelamin, berperilaku sesuai jenis kelamin, memisahkan tempat tidur, kewajiban menutup aurat, meminta izin di waktu tertentu saat memasuki kamar orang tua, menundukkan pandangan, tidak berikhtilat dan berkhalwat. Inilah praktek pendidikan seks dalam Islam yang diberikan secara bertahap sesuai usia.
Menanamkan anak agar tumbuh menjadi anak mandiri khsususnya pada anak laki laki karena ia memiliki tanggung jawab terhadap keluarga sehingga harus berkemampuan bekerja untuk memberi nafkah dan menyiapkannya sebagai qowwam (pemimpin) dalam keluarga. Anak perempuan dibiasakan melakukan aktivitas di rumah sehingga cekatan dan mampu mengelola waktu dengan baik nantinya.
Tatkala anak dididik dengan aqidah, pemahaman akan syariah, maka potensinya akan terasah, ia tumbuh menjadi pribadi yang bekepribadian Islam dan menjadi muslim yang produktif. Menikah dan membangun rumah tangga dilihat sebagai sarana ibadah untuk melahirkan generasi yang bertaqwa, sehat dan kuat.
Menyelesaikan masalah stunting, serta menekan angka perceraian tidak bisa dengan selembar sertifikat pra nikah dengan kuliah 3 bulan. Permasalahan tersebut memerlukan penanganan secara total dan menyeluruh oleh negara dengan tata kelola yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Negara melalui penerapan hukum Islam secara kaffah akan menciptakan keluarga-keluarga yang utuh dan tangguh. [MO/db]
Wallahua’lam bish showab.