Oleh : Ummu Nazry
Mediaoposisi.com-Rencana penunjukan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok untuk menjadi salah satu petinggi di perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menuai pro dan kontra.
Ada yang menganggap Ahok tak pantas jadi petinggi di salah satu perusahaan besar BUMN. Sebab, mantan
Gubernur DKI Jakarta itu dianggap bukan sosok yang ‘bersih’. (Jakarta, Kompas.com, November 2019)
Entah atas dasar pertimbangan apa sehingga menteri BUMN menunjuk Ahok sebagai Komisaris Utama PT Pertamina.
Entah apa pula yang ingin diraih pemerintah dengan menempatkan Ahok sebagai komisaris utama PT PERTAMINA, sebuah BUMN besar yang membidangi hajat hidup orang banyak.
Namun keputusan telah dibuat, dan bersiap-siaplah mayoritas warga masyarakat gigit jari atas semua keputusan yang lebih ketara mementingkan kepentingan pribadi dan golongan daripada kemaslahatan hidup mayoritas warga masyarakat. Sebab keputusan yang diambil tidak sejalan dengan konsep clean goverment yang selalu diperdengarkan.
Bagi-bagi kekuasaan dan jabatan itu begitu ketara, telanjang, terbuka dipertontonkan didepan publik. Seolah tiap orang yang " berjasa" terhadap penguasa akan mendapatkan bagian "kue lezat" jabatan dan kekuasaan.
Sedangkan konsekuensi bagi-bagi kekuasaan dan jabatan akan berimbas pada buruknya pelayanan publik.
Namun demikianlah memang saat kekuasaan dikendalikan sistem sekuler liberalis kapitalis. Bagi-bagi kekuasaan sebagai bagian dari kontrak politik praktis sistem demokrasi akan selalu ada. Bisa dijadikan sebagai jalan "ucapan dan tanda terima kasih" atas "perjuangan" yang telah dilalui bersama meraih puncak kepemimpinan sebagai prestasi "akhir" perjalanan politik praktis dalam sistem demokrasi.
Karenanya, akan selalu terulang kekecewaan demi kekecewaan yang dirasakan oleh mayoritas masyarakat. Karena kembali mereka akan dijadikan sapi "perahan" penguasa yang menjadikan puncak kepemimpinan sebagai akhir perjuangan politiknya. Sebab dia akan selalu mempertahankan "puncak kepemimpinan" yang telah diraihnya dengan jalan apapun, tidak terkecuali dengan bagi-bagi jabatan dan kekuasaan.
Berbeda dengan sistem Islam. Kekuasaan dan puncak kepemimpinan bukanlah cita-cita akhir perjalanan politik seorang pemimpin negeri.
Sistem Islam menetapkan jika akhir perjalanan politik pemimpin negeri adalah memimpin masyarakat hingga tercapai kesejahteraan, keamanan, ketertiban, keadilan, kemakmuran dan keberkahan hidup seluruh warga masyarakat. Baik mayoritas maupun minoritas. Karenanya pemimpin negeri akan bersungguh-sungguh menempatkan individu bertaqwa, bersih dan berpengetahuan juga berpengalaman dalam jabatan-jabatan publik, semisal jabatan untuk perusahaan plat merah milik pemerintah. Mereka akan diambil sumpahnya dan kelak akan mempertanggungjawabkan sumpah yang telah diucapkannya kelak di Yaumil Akhir, dihadapan Hakim yang Maha Adil, Allah SWT.
Pejabat publik yang ditunjuk, bukanlah pejabat yang memiliki trek rekor buruk, apalagi pernah menistakan agama. Pejabat publik yang ditunjuk adalah individu yang mengetahui hukum syariat terkait bidang yang akan diampunya. Dia sangat faham hukum syariat terkait bidang yang diamanahkan kepadanya. Karena jabatan publik adalah amanah. Bukan jalan untuk meraih dan meraup kekayaan pribadi.
Bagaimana dulu seorang Umar bin Khattab ra, seorang Khulafaur Rasyiddin memilih pejabat publik yang akan mengemban amanah sebagai wali (gubernur) dan jajarannya, juga para qodhi (hakim) dan jajarannya, juga para Khubaro (para ahli) dan jajarannya, dengan proses pemilihan yang sangat ketat dan menempatkan ketakwaan kepada Allah SWT sebagai landasan pertama dan utama pemilihannnya. Sebab, Umar ra menilai jika seorang telah taqwa dan takut kepada Allah SWT, dia tidak akan berlaku curang dalam menjalankan amanah jabatannya. Nyatalah hasilnya. Kesejahteraan, kemakmuran, keadilan terukir indah dalam catatan sejarah kepemimpinan Umar bin Khattab ra.
Karenanya, saatnya masyarakat bersuara untuk sama-sama meninggalkan politik praktis "bagi-bagi" kekuasaan dan jabatan dalam politik yang dijalankannya hari ini yang sungguh sangat tidak manusiawi, sebab selalu menelikung setiap kepentingan masyarakat umum yang akan selalu menjadikannya sebagai "sapi perahan" penguasa.
Dan saatnya manusia kembali kepada sistem politik Islam yang sangat manusiawi, yang telah terbukti keberhasilannya dalam menyejahterakan umat manusia, seperti saat kepemimpinan Umar bin Khattab ra yang telah dicatat dengan tinta emas sejarah peradaban tinggi manusia.[MO/db]
Wallahualam.