Oleh: Ria Anggraini
Mediaoposisi.com-Sabtu pagi, 2 November 2019 lalu, Presiden Joko Widodo bertolak ke Bangkok, Thailand, untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN yang dilaksanakan 2-4 November 2019. Konferensi ini diharapkan dapat memberikan dampak yang baik kepada ekonomi anggota ASEAN, terutama agar mudahnya hubungan antar negara karena rendahnya biaya logistik dan mudahnya pertukarang barang antar negara. (nasional.okezone.com)Kebangkitan multiletarlisme memang dianggap sebagai cara penguatan ekonomi. Dalam terminologi ekonomi, multiliteralisme ekonomi adalah kerja sama antar negara di bidang ekonomi yang mengacu pada sejumlah kesepakatan-kesepakatan kerja sama ekonomi oleh beberapa negara yang cenderung dalam satu kawasan secara geografis (regionalisme). ASEAN adalah salah satu kesepakan regionalisme ini.
Trend peningkatan multilateralisme dan regionalisme ekonomi terjadi hampir di setiap kawasan dunia. Kerja sama semacam ini memberikan keuntungan bagi negara seperti terpenuhinya kebutuhan dalam negeri untuk komoditas-komoditas yang kuantitasnya tidak dapat dipenuhi oleh produsen lokal. Keuntungan lainnya adalah perluasan pasar internasional, melalui kerja sama ini wilayah pasar produk menjadi lebih besar sehingga meningkatkan keuntungan. Belum lagi, regionalisme yang berarti jarak antar negara yang berdekatan akan memudahkan proses pengiriman barang dan harga transportasi yang semakin murah. Sehingga hasil yang diharapkan, akan tercipta masyarakat yang lebih sejahtera akibat terjalinnya hubungan multilateral ini.
Namun, tidak seperti yang dibayangkan, perjanjian mulilateral ini bagaikan pisau bermata dua. Pemanfaatan ekonomi global dan regionalisme ekonomi akan berpengaruh positif pada suatu negara dalam hal ini Indonesia, hanya bila Indonesia sudah mampu berdaulat atas ekonominya sendiri. Sehingga kita mampu memaksimalkan manfaat sebesar-besarnya dari kondisi ekonomi global ini. Karena bila tidak, perjanjian multilateral dan regionalisme ekonomi ini hanya akan mendatangkan kerugian besar.
Bagaimana tidak, bila belum mampu menguatkan pasar dalam negeri, pembukaan gerbang seluas-luasnya untuk produk asing akan membuat pasar domestik dibanjiri produk asing, masyarakat lebih mengenal dan memilih produk impor dan produsen-produsen lokal kewalahan dalam bersaing dengan produk-produk impor tersebut. Akibatnya, Indonesia menjadi objek dan sasaran pasar dunia, terutama dengan potensinya yang besar dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa. Bila Indonesia membuka lebar-lebar keran investasi dan kemudahan bisnis, Indonesia hanya akan menjadi mangsa pasar yang akan menguntungkan negara lain. Terlebih lagi dengan lemahnya industri dan teknologi negeri ini, menjadikan Indonesia sebagai sasaran empuk bagi negara lain.
Dengan kesadaran akan bahaya inilah kita harus memandang KTT ASEAN yang belum lama dilaksanakan ini. Pada KTT ASEAN sebelumnya, Indonesia berhasil menjadikan Outlook ASEAN mengenai Indo-Pasifik diadopsi oleh semua negara ASEAN. Namun, apakah benar mastermind usulan tersebut berasal dari Indonesia?
Awalnya, Indo-Pasifik adalah konsep geografis yang membentang di dua wilayah Samudera Hindia dan Pasifik. Namun, bagi negara adidaya AS yang ideologis, bentangan itu bukan sekadar wilayah geografis. Asia Pasifik telah membentuk citra komunitas kepentingan yang menghubungkan AS dan Asia Timur. Untuk apa? Tentu demi melangsungkan kapitalismenya dan melanggengkan penjarahan ekonomi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Samudera Hindia dan Pasifik adalah ruang strategis dalam perdagangan global. Kedua perairan itu merupakan jalur komunikasi laut yang menghubungkan pergerakan ekonomi dinamis Asia Timur dan Tenggara dengan pemasok energi di Timur Tengah dan pasar akhir di Eropa dan Amerika. Perhatian terhadap geostrategis itu telah dimulai sejak pemerintahan George W. Bush dengan cara membangun hubungan AS-India menjadi lebih kuat dan strategis.
Maka dapat disimpulkan bahwa proyek Indo Pasifik adalah upaya AS membendung ekspansi ambisius Tiongkok dalam menguasai ekonomi kawasan itu. Realitanya, AS kewalahan dengan sepak terjang Tiongkok, yang dijulukinya sebagai predator ekonomi. AS menuduh Tiongkok mengintimidasi tetangganya dengan melakukan militerisasi di Laut Cina Selatan dan memaksa negara-negara tetangga mengatur kawasan Indo-Pasifik demi keuntungannya. Apalagi proyek investasi besar-besaran Tiongkok melalui Belt and Road Initiative (BRI) menyasar negara-negara di Asia Pasifik. Diperparah dengan perang dagang antara AS-Cina yang sudah berlangsung hampir setengah tahun dan tak kunjung berakhir.
Karena itu, AS melakukan strategi dengan melibatkan negaranya satelitnya, seperti Australia, Jepang dan India, serta beberapa negara anggota ASEAN yang menempati posisi sebagai negara pengikut, seperti Indonesia, Thailand, Vietnam dan digerakkan demi menyelamatkan ekonomi AS. Krisis ekonomi AS yang berkepanjangan membuatnya perlu segera memanfaatkan Indo Pasifik.
Oleh sebab itu AS menggeber konsep Indo Pasifik dengan mendorong ASEAN untuk mengadopsinya. AS tahu betul bahwa negara-negara kecil dan menengah terjebak di antara 2 kepentingan. Di satu sisi, mereka takut akan perubahan tatanan regional yang ditimbulkan oleh kebangkitan Cina. Di sisi lain, mereka tidak ingin kehilangan bagian dari dividen yang disebabkan oleh pembangunan ekonomi Cina. Sehingga AS memanfaatkan Indonesia dan Singapura sebagai pendukung konsep Strategi Indo-Pasifik dengan meningkatkan posisi strategisnya. Karena, tanpa persetujuan dan kehadiran Asia Tenggara yang menjadi area utama, sulit bagi AS untuk menghubungkan “Samudera Hindia” dengan “Samudera Pasifik”. Karena itu konektivitas menjadi salah satu agenda utama Indo Pasifik.
Bagaimanapun juga, strategi Indo Pasifik sebagaimana kesepakatan multilateral yang digagas oleh AS tidak akan pernah benar-benar menguntungkan negara ketiga seperti Indonesia. Karena, AS hanya menjadikan kawasan ini sebagai pemasok kebutuhan bahan baku, penyedia tenaga kerja murah dan pasar produk utama mereka.
Itulah realita penjajahan ekonomi berkedok perdagangan bebas. Sungguh malang nasib Indonesia, karena posisinya sebagai negara pengikut, hanyalah menjadi stempel atas ambisi negara besar. Demi menyelamatkan kepentingan AS, yang notabene adalah penyelamatan gurita bisnis Multi National Corporation, membuat kekayaan terkonsentrasi di tangan para kapitalis. Sedangkan cengkeraman ekonomi dan perdagangan oleh negara-negara kaya bakal mencegah Indonesia membangun ekonomi di atas dasar yang kuat, yang dapat membebaskan subordinasi ekonominya dari para kapitalis yang berasal dari AS ataupun negara kaya lainnya.
Walhasil, selama Indonesia masih berada pada sub ordinasi adidaya AS, sungguh mustahil untuk menjadikannya berdaulat dan mandiri atas keputusan politik dan ekonominya. Maka, kita harus keluar dari cengkeraman adidaya asing dan meninggalkan kapitalisme, sistem ekonomi yang dikuasai segelintir pemilik modal, dan kembali pada sistem Islam secara keseluruhan. Hanya dengan cara itu, kita akan menjadi umat yang berperan sebagai pemain dan bukan objek dalam regionalisme ekonomi. Kita dapat menjadi leader dan buka followe dalam percaturan ekonomi dunia. Hanya dengan bangkitnya Khilafah Islamiyah, kita mampu untuk berhadapan dengan AS dan menyelamatkan dunia dari keserakahannya. [MO/dp]