Oleh Mutia Nadhilah Azzhra
Mediaoposisi.com-Balada KPK menjadi kasus yang tidak henti hentinya menyita perhatian, setelah pengesahan RUU KPK yang menuai banyak polemik dari berbagai kalangan, pemerintah seakan menutup telinga untuk mengkaji ulang terkait RUU yang dianggap melemahkan kinerja KPK ,tak lama dari berbagai aksi demo datang pengesahan seakan menjadi hal yang harus segera di gol kan,isu RUU KPK ini bukan hal baru untuk dibicarakan sejak 2010 RUU KPK telah mulai diajukan namun pertentangan publik seakan menjadi hambatan untuk pengkajian, 2015 RUU KPK kembali muncul dibahas di proglesnas namun di batalkan oleh Presiden Jokowi, dan 2016 menjadi wacana terakhir yang paling tidak terdeteksi karena pengajuan kasus RUU melalui jalan yang legal.KPK dianggap masyarak menjadi satu satunya badan yang paling mampu untuk membrantas korupsi,menurut survei CSIS sebanyak 88,2 % responden percaya bahwa KPK paling bertanggung jawab dalam membrantas korupsi, dan sebanyak 73,6 % program KPK efektif dalam pelemahan angka korupsi.
Maka tak heran ketika independensi KPK mulai dikebiri masyarakat mulai bereksi, namun nyatanya kasus korupsi merupakan suatu kejahatan berdasarkan sistem, yang faktanya meski saat ini ada lembaga independen yang mengurusi masalah korupsi, kasus korupsi menjadi tak pernah habis, yang KPK urusi hanya kasus dalam jumlah besar, namun kasus yang jumlahya kecil seakan tidak terdeteksi, RUU KPK merupakan tameng bagi mereka untuk melindungi diri dari hukum yang menjerat, isi RUU KPK selalu kembali di munculkan ketika KPK sedang menangani kasus besar, jadi tak heran jika saat ini pengesahan RUU KPK sekan tergesa gesa diakhir periode pemerintahan, karena korupsi sendiri merupakan kejahan sistematis yang dimana mereka yang bermain disistem kapitalisme ini akan saling melindungi diri bagaimanapun caranya.
Ketika kejahatan korupsi berdasarkan sistem maka tidak ada jalan lain selain mengubah sistem yang saat ini menguntungkan mereka para pemilik kepentingan pribadi, islam memandang kaasus korupsi sebagai kasus yang harus ditangi dengan saat baik, penjatuhan hukumnya akan diserahkan kepada qodi , hukuman yang diberlakukan bisa berupa hukum potong tangan atau hukum mati , namun seorang qodi tidak akan langsung gegabah menjatuhi hukuman, qodi akan menelaah pelaku korupsi tersebut kenapa dia bisa melakukan korupsi, ketika pelaku korupsi melakukan korupsi karena memang tidak memiliki kebutuhan pangan maka pemerintah akan memberikan bantuan terhadap pelaku tersebut, bukan dijatuhi hukum potong tangan.
Namun fakta sekarang para pelaku korupsi adalah orang yang tak mungkin dikatakan tak memiliki kebutuhan pangan, dan ketika dijatuhi hukum, hukum yang diberikan tidak memiliki efek jera. Korupsi tidak akan terjadi apabila tiga hal ini diberlakukan yaitu keimanan setiap individu pemilik jabatan,kontrol masyarakat serta standar hukum syara yang diberlakukan negara. Oleh karena itu, selama manusia tidak kembali kepada Al Quran dan as sunah dalam menjalankan kehidupan , maka kehancuran kehancuran yang terus terjadi.