-->

ASN Masa Kini vs ASN Masa Khilafah

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen
Oleh : Hermin Setyoningsih, A.Md.Keb.

Praktisi Kesehatan - Muslimah Aktivis Dakwah

Mediaoposisi.com-

Diketahui, sejumlah Kementerian dan Badan melakukan penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) Penanganan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Hotel Grand Sahid, Jakarta Selatan, Selasa (12/11) lalu. Dalam kesempatan ini juga diluncurkan portal aduan ASN.
Adapun yang menandatangi SKB ialah Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), Mendagri, Menkumham, Menag, Mendikbud, Menkominfo, Kepala BIN, Kepala BNPT, Kepala BKN, Kepala BPIP dan Komisi ASN.
Hal ini terkait dengan maraknya ASN yang dianggap terpapar radikalisme. Iya, dua kebijakan pemerintah terkait radikalisme, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019 dan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang diteken sebelas kementerian dan lembaga menuai persoalan. Dua aturan itu dianggap kontraproduktif dengan upaya penanganan terorisme dan radikalisme, bahkan berpotensi melanggar HAM.
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia menyebut, DPR akan meminta penjelasan lahirnya poin-poin yang menyebabkan seseorang bisa dianggap radikal. Ia menyebut, bisa saja aturan soal radikalisme ini menyenggol hak azasi manusia (HAM) dan kebebasan berpendapat, kata Doli di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Senin (25/11). Doli mempertanyakan urgensi sehingga PP dan SKB itu diterbitkan.
Anggota DPR RI Komisi II Sodik Mudjahid Frasi Partai Gerindra menilai SKB tersebut mengekang kebebasan berpendapat para ASN karena dalam salah satu pasalnya mengatur ASN dalam memberikan pendapat di media sosial. Sodiq khawatir adanya SKB itu malah membuat kemunduran pada reformasi dan balik ke zaman orde baru, kata Sodik di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (25/11).
Situs pelaporan aparatur sipil negara (ASN) berpotensi besar menimbulkan saling curiga, saling lapor antar anak bangsa. Dan dikhawatirkan tidak hanya saling curiga dan lapor, malah berpotensi saling stigma, persekusi dan tindakan fisik. Apabila ini terjadi, maka dikhawatirkan Negara telah mensponsori kebencian antar anak bangsa. 

Seharusnya pemerintah tidak melakukan stigmatisasi dan tindakan persekusi terhadap seseorang dan kelompok dengan tuduhan sebagai ‘anti pancasila, anti kebhinekaan, mengganggu dan mempermasalahkan Pancasila’, apabila hal ini dilakukan maka dikhawatirkan akan terjadi persekusi di akar rumput rakyat. Dan pemerintah seharusnya tidak melakukan pendefinisian, pengkotak-kotakan yang semuanya dilakukan oleh dan menurut persepsi pemegang kekuasaan negara.

Bias Istilah Radikalisme
Terkait defenisi radikal apakah memiliki dasar hukum? Di dalam Peraturan perundang-undangan yang mana? Pasal berapa? Semestinya setiap tindakan pemerintahan itu harus ada dasar hukumnya dalam suatu peraturan perundang-undangan. Pejabat Pemerintahan semestinya mengedepankan dasar hukum dari sebuah keputusan atau tindakan yang dibuat oleh Badan atau Pejabat Pemerintahan. 
Saat ini radikalisme dinarasikan sebagai paham yang dapat menyebabkan pengikutnya menjadi teroris. Seorang teroris tidak akan menjadi teroris jika dia tidak terpapar radikalisme. Karena itu, paham ini sangat berbahaya. Harus diperangi. Senjatanya adalah deradikalisasi. Narasi ini jelas bersandar pada pemaknaan yang kurang tepat terhadap radikalisme. Ia dimaknai sebagai paham kekerasan. Ia digunakan oleh pejabat negara ketika berbicara terorisme. Diandaikan, radikalisme adalah benih dari terorisme.
Istilah radikalisme pada dirinya sendiri tidak mengandung makna kekerasan. Kata radikal berasal dari bahasa Latin, radix/radici. Artinya akar atau dasar. Imbuhan isme membuat kata ini bermakna paham yang ingin kembali pada akar dan atau berpegang teguh pada hal-hal mendasar.
Dalam beragama orang yang kembali pada "radix" atau "akar" ingin segala sesuatu berpijak pada akar keyakinan, yaitu prinsip-prinsip mendasar yang menjadi pedoman bagi setiap orang beriman atau beragama. Artinya, sesuai dengan makna kata itu, menjadi radikal, tidak berarti menjadi teroris. Menjadi radikal tidak sama dengan membenarkan kekerasan. Bahkan, kembali ke akar, atau berpijak pada keyakinan dasar agama, merupakan hal lumrah bagi penganut agama (baca: Islam), termasuk yang menjadi bagian dari ASN. Mereka punya hak untuk menjalankan ajaran agamanya secara totalitas. 
Sayangnya, Buku Moderasi Beragama yang diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia (2019), misalnya, memaknai radikalisme sebagai suatu ideologi (ide atau gagasan) dan paham yang ingin melakukan perubahan pada sistem sosial dan politik dengan menggunakan cara-cara kekerasan dan ekstrem atas nama agama, baik kekerasan verbal, fisik maupun pikiran.
Pemaknaan tersebut membawa buku itu pada kesimpulan bahwa inti dari tindakan radikalisme adalah sikap dan tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengusung perubahan yang diinginkan. Dengan kata lain, radikalisme sinonim dari ideologi yang melegitimasi kekerasan.
Sebagai kategori, istilah radikalisme jelas terlalu luas dan bias. Wacana yang sempat dilontarkan Menteri Agama Fachrul Razi untuk melarang celana cingkrang, misalnya, contoh nyata dampak dari bias istilah radikalisme. Tidak menutup kemungkinan, bias ini akan mengarah pada tindakan sewenang-wenang pemerintah dalam menstempel siapa yang radikal dan siapa yang moderat. Disinilah bahaya perpecahan itu akan muncul. 
Hanna Meinita, seorang pegawai negeri sipil di lembaga pemerintah yaitu Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, mengaku tidak setuju dengan kanal pelaporan. Sebab batasan tentang radikalisme versi pemerintah, terlalu remeh dan tidak jelas. "Kalau orang tersebut menulis yang jelas-jelas menyebarkan kebencian, okelah . Tapi kalau cuma memberikan like , itu kan tidak bisa. Karena ada kondisi misalnya enggak sengaja kepencet. Nah mau memvalidasi itu gimana?" ujar Hanna kepada BBC, Selasa (12/11).
Pakar administrasi negara dari Universitas Indonesia, Dian Puji Simatupang, menilai kanal pelaporan ASN untuk penanganan radikalisme tidak diperlukan. Sebab kanal semacam itu tidak dikenal dalam Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara. Di undang-undang ASN, pemantauan terhadap pegawai pemerintah dilakukan oleh internal pengawas yang dilakukan secara berjenjang. Jika ditemukan ada ASN yang terlibat, maka yang pertama harus dilakukan adalah pembinaan dan selanjutkan sanksi disiplin.
Maka, katanya, jika peran internal pengawas dianggap kurang semestinya dikuatkan. Bukan dengan membuat kanal pelaporan. "Harus dipahami konsep utama dalam ASN adalah pembinaan. Sehingga ketika sesuatu terjadi, dilakukan pembinaan secara cepat, bukan begini [membuat kanal]," ujar Dian Puji Simatupang kepada BBC. Sementara adanya kanal pelaporan menunjukkan pemerintah gagal membina para bawahannya. Yang lebih ia khawatirkan, kanal tersebut menjadi alat represi pemerintah lantaran dilakukan tanpa melewati mekanisme yang sudah ada.
Radikalisme Bukan Masalah Utama
Padahal tokoh nasional Rizal Ramli mengatakan isu radikalisme yang didengungkan pemerintah bukan hal yang aneh. Menurutnya, isu ini akan terus dimainkan dalam setahun pemerintahan yang baru dilantik ini.
Sebenarnya, masalah paling besar yang harus segera diselesaikan ialah ekonomi yang jeblok. Pengusaha nasional Erwin Aksa membeberkan sejumlah keluhan dari pengusaha selama masa pemerintahan Presiden Jokowi 4,5 tahun terakhir. Dia bilang sejumlah sektor mengalami tekanan berat, utamanya sektor riil yang menjadi salah satu penggerak terbesar ekonomi dalam negeri.
“Kita ini merasakan sektor riil tidak bergerak. Daya beli turun, harga mahal. Itu tidak bergerak. Masyarakat tidak punya lagi space, tidak punya lagi tabungan untuk belanja lebih dari kebutuhan pokok mereka. Mereka tidak bisa lagi jalan-jalan, tidak bisa lagi liburan. Tidak bisa lagi belanja 2-3 kali per bulan. Jadi toko-toko pada sepi,” katanya dalam acara Diskusi Bareng Aliansi Pengusaha Nasional (APN) Indonesia di Hotel Century Park, Jakarta, Senin (8/4/2019).
Inilah faktanya. Pertumbuhan yang macet. Utang yang tembus Rp. 5.000 triliun. Deindustrialiasi yang tak terbendung. Pengangguran yang membengkak dan lapangan kerja yang entah untuk siapa. Kita juga mengalami kemiskinan yang tak kunjung turun secara berarti. Harga-harga terus melambung. Pajak mencekik. Yang tentunya dampak ini juga dirasakan oleh ASN. 
Mereka dengan gaji di tahun 2019 memang mengalami kenaikan dari pada tahun-tahun sebelumnya. Besarannya pun sudah tercantum jelas di Peraturan Pemerintah tahun Nomor 15 Tahun 2019. Setiap golongan dengan lamanya tahun mengabdi memiliki besaran yang berbeda-beda. Dengan Gaji pokok terkecil mulai dari Rp 1.560.800 (golongan I dengan masa kerja 0 tahun) sampai yang terbesar Rp 5.901.000 (Golongan IV e dengan masa kerja 32 tahun).
Bayangkan jikalau ASN itu adalah kepala keluarga, yang punya tanggungan anak, apakah cukup untuk membiayai kebutuhan pokoknya, biaya pendidikan yang kian melambung, dan belum lagi dipotong BPJS yang naik 2 kali lipat (karena ASN harus ikut)? Mengapa tidak membuat kanal aduan keluhan pekerjaan yang saat ini begitu luar biasa bebannya? Atau aduan tentang beban hidup mereka yang seharusnya lebih mendapatkan perhatian?
Realita ASN dalam Khilafah
Itulah realita kehidupan ASN dalam negara demokrasi kapitalisme, bandingkan dengan pejabat Negara Khilafah. Khilafah memberikan gaji yang cukup kepada pejabat/pegawainya, gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder, bahkan tersier. Di samping itu dalam pemerintahan Islam biaya hidup murah karena politik ekonomi negara menjamin terpenuhinya kebutuhan seluruh rakyat.
Kebutuhan kolektif, akan digratiskan oleh pemerintah seperti pendidikan, keamanan, kesehatan, jalan dan birokrasi. Sedangkan kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan dan papan bisa diperoleh dengan harga yang murah. (Abdurrahman al Maliki, Politik Ekonomi Islam, Bangil: Al Izzah, 2001). Pada masa Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji kepada guru pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Jika dikalkulasikan, itu artinya gaji guru sekitar Rp 30.000.000. Tentunya ini tidak memandang status guru tersebut PNS atau pun honorer. Masihkah kita tidak rindu hidup dalam sistem Khilafah wahai para ASN yang terhormat?[MO/db]



Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close