Oleh : Nadhifah Zahra (Ibu Rumah Tangga)
Mediaoposisi.com-Kontroversi ucapan selamat natal kembali mewarnai peringatan Natal tahun 2019. Tidak tanggung-tanggung, kontroversi ini justru muncul dari Ketua Tahfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas yang berpendapat untuk menjaga kerukunan beragama. Menurutnya ucapan selamat natal adalah bagian dari kesadaran bermuamalah dan menganggap hal itu sebagai upaya menjaga hubungan sosial.TEMPO.CO (22/12/2019).Tentu pernyataan tersebut cukup mengejutkan, karena sebagai seorang muslim, seharusnya kita mudah untuk berucap tapi wajib mensyaratkan setiap pendapat dan ucapan kita pada hukum Syara', apalagi sebagai tokoh besar yang setiap ucapannya akan menjadi rujukan di tengah-tengah umat. Kesalahan dalam berucap akan mengantarkan pada kesesatan di tengah-tengah umat.
Bagaimana Islam memandang ucapan selamat natal?.
Dengan mengangkat isu toleransi beragama dan demi kelangsungan kehidupan sosial muncul berbagai fenomena umat Islam dibolehkan mengucapkan selamat natal dan bahkan beberapa kelompok umat Islam latah ikut meramaikan perayaan Natal di gereja-gereja. Padahal kita harus membedakan antara toleransi beragama dan sikretisme beragama. Sikretisme artinya mencampuradukkan aliran keyakinan, paham dan aliran beragama. Sinkretisme ini adalah hal yang terlarang dalam Islam. Contohnya seperti mengucapkan selamat natal dan juga memakai atribut dan simbol-simbol agama lain, karena ini bukanlah toleransi tapi sikretisme.
Padahal sinkretisme merupakan ajaran dari faham pluralisme yang diharamkan dalam Islam, yang telah difatwakan oleh MUI sejak tahun 2005. Pluralisme sendiri adalah faham yang mengakui kebenaran semua agama. Tentu hal ini sangat bertentangan dengan firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 19, bahwa satu-satunya agama yang diridhoi Allah SWT adalah Islam.
Rosulullah Saw secara tegas menolak toleransi yang kebablasan semacam ini, pernah suatu saat tokoh Quraisy menemui nabi, mereka adalah Al Walid bin Mughiroh, Al 'Ash bin Wail, Al Aswad Ibnu Muntholib, dan Umayyah bin Khalaf, mereka menawarkan pada beliau, "Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian juga beribadah kepada Tuhan kami.
Kita bertoleransi dalam segala urusan agama kita. Jika ada sebagian dari ajaran agama kamu (yang menurut kami) lebih baik daripada tuntunan agama kami, maka kami akan mengamalkan hal itu. sebaliknya, jika ada sebagian ajaran agama kami lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya". ( Al Qurthubi, tafsir Al Qurthubi, 20/225). Kemudian turun surat Al Kadirun yang menolak secara tegas toleransi kebablasan semacam ini.
Kepentingan barat dibalik narasi Toleransi
Narasi Toleransi senantiasa dipropagandakan barat terhadap umat Islam, hal ini bermula dari anggapan barat bahwa agama Islam adalah agama yang intoleran, karena adanya klaim kebenaran yang ada pada agama Islam. Untuk itu umat Islam harus menghapus klaim kebenaran itu dengan mengajak umat Islam bersikap toleran, sehingga mereka mengintervensi umat Islam untuk meyakini kebenaran agama lain dan mendukung kebebasan beragama. Dengan inilah Barat mampu menjauhkan umat Islam dari prinsip aqidah dan syariahnya.
Bagi Barat sikap umat Islam yang berpegang teguh pada agamanya sangat menggangu kepentingan ekonomi Barat. Hal ini ditegaskan oleh Menlu AS, Mike Pompeo, dihadapan pendukung kebebasan beragama dari 80 negara dalam KTT kebebasan beragamadi Washington DC. (24/7/2018).
Islam adalah agama yang toleran
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi toleransi, hal ini telah dibuktikan selama 14 abad ketika Islam berkuasa di muka bumi. Islam menjunjung tinggi keadilan bagi siapa saja, baik muslim maupun non-muslim. Islam melarang keras berbuat dzolim dan merampas hak-hak non muslim. ( QS. Al Muntahanah:8)
Islam pun melarangembunuh kafir dzimmi, kafir Musta'min, dan kafir mu'ahad. Rosulullah Saw, bersabda, "siapapun yang membunuh kafir dzimmi, tidak akan mencium bau surga. Padahal bau surga itu tercium dari perjalanan 40 tahun".( HR An nasa'i).
Islam telah melaksanakan praktik toleransi ini sejak masa Rosulullah dan dilanjutkan dalam masa kekhilafahan berikutnya. Adalah Muhammad Al Fatih yang mampu mengukir dengan tinta emas bagaimana sikap toleransi ini diwujudkan ketika menaklukan Konstantinopel. Saat itu banyak umat Nasrani yang pucat pasih, tubuh mereka mengigil ketakutan di sudut gereja, namun Muhammad Al Fatih tidak pernah memaksa mereka masuk ke dalam agama Islam, dan tidak satupun dari mereka yang teraniaya. Bahkan seluruh kebutuhan mereka di penuhi dan dilindungi.[MO/dp]
Wallahu A'lam bishowab.