Oleh : Rahma Asy Syifa (Pemerhati Kebijakan Publik)
Mediaoposisi.com-Tol layang Jakarta-Cikampek beberapa waktu lalu telah diresmikan oleh Bapak Presiden. Pembangunan tol ini sudah dilaksanakan sejak tahun 2017 silam. Ada harapan baru bagi masyarakat untuk bisa keluar dari permasalahan kemacetan. Pun juga mereka bisa berkendara dengan nyaman dan aman. Namun ternyata keberadaan tol layang justru tidak sesuai harapan.Seperti yang dilansir dari republika.co.id (22/12/19), dimana Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan Tol Japek Layang belum memenuhi ekspektasi masyarakat sebagai solusi kemacetan jalur yang hampir setiap hari terjadi. Sebagaimana pada Sabtu (21/12) tol layang Cikampek macet total selama dua jam, dan akhirnya arus lalu lintas menuju tol layang ditutup sementara.
Selain kemacetan yang terjadi, ternyata ada 13 kasus mobil pecah ban di Tol Layang ini. Jasa Marga mencatat gangguan kendaraan akibat pecah ban selama tiga hari dioperasikan (15-17 Desember) mencapai 13 kali. Diduga kejadian ini akibat konstruksi jalan, terutama sambungan antargirder atau expansion joint tidak rata. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh General Manajer Traffic PT Jasa Marga Jalan Layang Cikampek, Aprimon, yang dikutip dari metro.tempo.com (19/12/19), dimana ada sebanyak 26 sambungan antargirder yang rusak. Sambungan ini yang masih dirasakan oleh pengguna jalan tol tersebut dan sekarang sedang dalam perbaikan.
Lebih parah lagi, dikabarkan oleh cnbcindonesia.com (22/12/19) bahwa terjadi kecelakan beruntun di KM 27 Tol Layang tersebut pada Ahad 22 Desember. Menurut informasi yang diperoleh Jasa Marga, kecelakaan diakibatkan kurang antisipasi sehingga ada kendaraan yang tertabrak dari belakang. Akhirnya, Jasa Marga atas diskresi Kepolisian mulai memberlakukan contraflow dari Km 47 s.d. Km 61 arah Cikampek sejak pukul 08.20 WIB. Dengan diberlakukannya contraflow ini diharapkan dapat mencairkan kepadatan yang terjadi di titik pertemuan jalan tol Japek elevated dan jalan tol Japek di km 48 serta titik menjelang rest area di Km 50.
Banyaknya kondisi yang tidak sesuai harapan tersebut harusnya berbuah adanya evaluasi kualitas pembangunan infrastruktur. Kondisi jalan yang tidak memadai, sistem operasional yang kurang mendukung, dan parahnya sampai terjadi kecelakaan beruntun. Namun Menteri Perhubungan tidak mau mengakui atas kekurangan hasil proyek pembangunan tol tersebut. Beliau justru mengatakan jika ini semua terjadi karena euforia masyarakat yang beramai-ramai ingin mencoba tol baru sehingga terjadi lonjakan. Maka bukan berarti pembangunan jalan tol tersebut mengalami kegagalan.
Patutlah masyarakat bertanya, sejauh mana evaluasi bahkan perbaikan yang akan dilakukan pemerintah. Karena sampai saat ini, pemerintah telah berkali-kali mengecewakan. Fasilitas jalan pemukiman saja butuh waktu lama untuk diperbaiki, apalagi jalan raya termasuk tol layang yang memakan biaya tinggi. Padahal biaya yang akan dikenakan bagi pengguna jalan tol pastinya tidak murah. Sebagaimana tol yang lain, karena mahalnya biaya masuk tol sehingga jalan tersebut hanya bisa diakses oleh masyarakat kelas menengah ke atas. Sedangkan masyarakat kalangan bawah dibiarkan begitu saja, tanpa solusi yang pasti. Padahal yang mengalami kemacetan seluruh masyarakat tanpa terkecuali.
Tol Japek hanyalah salah satu fakta bahwa infrastruktur yang dibangun atas landasan sistem kapitalisme-neolib tidak akan berorientasi pada kepentingan rakyat. Sebaliknya, mereka menciptakan berbagai proyek strategis hanya untuk memberi peluang bagi asing menguasai atas nama investasi. Sejauh ini, pembiayaan infrastruktur bersumber pada APBN-APBD sebanyak 33 persen, penugasan BUMN sebanyak 25 persen, sisanya bekerja sama dengan swasta. Salah satu pembiayaan yang menjanjikan adalah investasi dan utang.
Faktanya, memang akibat pembangunan infrastruktur yang tak terukur, menyebabkan hutang BUMN membengkak tak terbendung. Berdasarkan data Kementerian BUMN, jumlah utang perusahaan-perusahaan plat merah (unaudited) mencapai Rp5.271 triliun per September 2018. Jumlah utang tersebut mencakup Dana Pihak Ketiga (DPK) bank BUMN. Di luar DPK, jumlahnya mencapai Rp2.994 triliun.
Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adginegara, menilai bengkaknya utang BUMN dikarenakan dua hal: penugasan dan tekanan nilai tukar rupiah. Alhasil, proyek infrastruktur yang digenjot pemerintah sejatinya menyimpan bahaya terselubung, yang bila ini dilanjutkan maka membuat Indonesia sulit terlepas dari bayang-bayang hutang. Akhirnya berujung pada penjualan aset BUMN kepada asing akibat terpasung hutang.
Pembiayaan infrastruktur melalui investasi tentu juga berdampak pada keleluasaan swasta memiliki aset strategis negara. Sadar atau tidak, negeri ini sedang berjalan menuju kehancurannya. Infrastruktur terus dibanggakan, namun tak dimiliki sepenuhnya oleh rakyat dan negara. Tarif tol mahal dan penjualan beberapa ruas tol kepada asing menjadi contoh konkretnya.
Keadaan semacam ini jelas berbeda ketika syariat Islam diterapkan secara kaffah, termasuk dalam sistem perhubungan. Pemimpin sebagai pelindung rakyat akan memastikan sejauh mana fasilitas yang diberikan dapat menjamin kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan seluruh rakyatnya tanpa terkecuali, bahkan hewan sekalipun.
Seperti kisah Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah pernah berkata bahwa jikalau ada kondisi jalan di daerah Irak yang rusak karena penanganan pembangunan yang tidak tepat kemudian ada seekor keledai yang terperosok ke dalamnya, maka Umar yang bertanggung jawab. Dalam redaksi lain juga disebutkan bahwa Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu berkata, “Seandainya seekor keledai terperosok di Kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah Ta’ala, ‘Mengapa kamu tidak meratakan jalan untuknya?’.
Terlihat sekali dalam kisah tersebut bahwa Umar bin Khattab sangat memerhatikan dan peduli akan kebutuhan rakyatnya hingga dalam lingkup yang terkecil sekalipun. Jika keselamatan hewan saja sangat diperhatikan, apalagi keselamatan manusia. Hal ini terjadi karena syariat Islam diterapakan secara kaffah dimana segala sesuatu diatur dengan jelas dan tanggung jawab seorang pemimpin langsung kepada Sang Khalik.
Infrastruktur di setiap negara memang sangat diperlukan untuk memudahkan aktivitas manusia. Tak terkecuali dalam negara yang menerapkan sistem Islam. Adapun pembangunan dalam negara Islam tidak terlepas dari sistem ekonomi berbasis Islam. Negara tidak akan membiayai pembangunan dengan investasi dan hutang. Sebagai gantinya, khalifah akan memberlakukan sistem ekonomi Islam yang menyeluruh dan sempurna.
Hal ini terkait erat dengan kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, serta distribusi dan jasa di tengah-tengah masyarakat. Tidak hanya itu, negara juga akan memastikan berjalannya politik ekonomi dengan benar. Dengan penerapan sistem ekonomi Islam, negara akan memiliki sumber kekayaan yang cukup untuk membiayai infrastruktur. Negara juga mampu memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya. Sumber daya alam dikelola negara untuk kepentingan rakyat. Negara tidak akan menjual aset strategis. Ekonomi mengalami pertumbuhan karena produktivitas individu terjaga.
Oleh karena itu, hanya dengan syariat Islam kaffah yang bisa menyelesaikan masalah tanpa masalah. Menjadi pondasi dari seluruh aspek kehidupan termasuk mengontrol seorang pemimpin dalam mengatur urusan rakyat sehingga tidak ada lagi kesenjangan bahkan kesewenang-wenangan. Justru kesejahteraan seluruh masyarakat akan terjamin karena benar-benar dipastikan oleh seorang Khalifah. Wallahu A'lam bi Showab. [MO/dp]