Oleh: Elisa Syalsabila Lukmayanti
(Mahasiswi Keperawatan STIKES Dharma Husada)
Mediaoposisi.com-Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) akan mendata nomor telepon dan media sosial dosen, pegawai, dan mahasiswa pada awal tahun kalender akademik 2019/2020.
Hal ini dilakukan untuk menjaga perguruan tinggi dari radikalisme dan intoleransi. Ia menjelaskan, apabila di Kampus tidak terjadi masalah apapun terkait radikalisme atau intoleransi, maka tidak akan dilakukan pelacakan. Sebaliknya, apabila terjadi masalah terkait radikalisme atau intoleransi di Kampus, maka data medsos dan nomor telepon tadi akan dilakukan pelacakan.
Kemenristekdikti, Mohammad Nasir, juga mempersilahkan mahasiswa untuk mempelajari mengenai paham marxisme di lingkungan Kampus. Kemudian kemenristekdikti juga mengatakan, "Kalau kegiatan mereka [mahasiswa] untuk kajian akademis, silakan. Yang tidak boleh itu LGBT, making love di dalam Kampus. Jadi aktivitas LGBT yang terkait pada kegiatan LGBT itu tidak boleh," (republika.co.id)
Jelas sekali dalam tutur kata diatas seperti melarang mahasiswa untuk melakukan LGBT di Kampus, tetapi jika diluar kampus artinya boleh saja. Padahal, dengan mempelajari LGBT membuat mahasiswa penasaran dan akhirnya malah terjerumus bukan mengedukasi karena semakin sini LGBT semakin marak.
Lalu setelah maraknya LGBT apa yang dilakukan pemerintah? Pemerintah hanya diam karena menganggap bahwa LGBT adalah Hak asasi manusia.
Dengan adanya penjelasan Kemenristekdikti itu membuat masyarakat menjadi takut dengan pemahaman Islam dan Khilafah karena pemerintah malah menutup rapat bahkan melarang ketika ada masyarakat yang mempelajari atau mengkaji Islam secara kaffah.
Terlebih dengan kata Khilafah, jika orang yang asing pasti menganggap bahwa Khilafah itu paham radikal . Padahal Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam sebagaimana shalat, puasa, zakat, haji, dan lainnya.
Menegakkan Khilafah adalah wajib menurut syari'ah Islam. Khilafah juga tidak ada sedikitpun nilai radikal. Bahkan Khilafah merupakan “tâj al-furûd (mahkota kewajiban)”. Pasalnya, tanpa Khilafah, sebagaimana saat ini, sebagian besar syari'ah Islam di bidang pendidikan, ekonomi, sosial, pemerintahan, politik, politik luar negeri, hukum/peradilan, dan lain-lain menjadi terabaikan.
Di bidang pendidikan misalnya, negara menerapkan sistem pendidikan sekular. Di bidang ekonomi, negara menerapkan sistem ekonomi kapitalisme-neoliberal. Di bidang sosial, negara mengadopsi HAM Barat sehingga zina dan LGBT dibiarkan dan tidak dianggap kriminal.
Karena itu tentu tidak wajar apabila Pemerintah dan orang-orang yang dijuluki sebagai ulama dan pakar ketatanegaraan Islam ingin membuktikan bahwa Khilafah bukan ajaran Islam.
Maka dari itu, dengan terpaparnya fakta-fakta diatas, sudah terlihat bahwa pemerintah sangat jauh dengan Islam dan bisa dikatakan anti terhadap ajaran Islam yang sesungguhnya. Jadi kita harus benar benar-benar mempelajari semua tentang Islam secara menyeluruh, setelah itu amalkan, lalu dakwahkan. Jangan sampai kita menyimpulkan tentang Islam tanpa memahami dan mengkajinya terlebih dahulu.
Allaahu a'lam bi ash-shawab. [MO/sg]