Oleh: Endiyah Puji Tristanti, S.Si (Penulis dan Pemerhati Politik Islam)
Mediaoposisi.com-Apa mau dikata sesat pikir petinggi perguruan tinggi di Indonesia memang bukan hanya tuduhan. Kecewa dan amarah saja tak cukup untuk dialamatkan kepada pemilik gagasan pewacanaan ide Marxisme dan penyimpangan sosial (LGBT) di kampus-kampus.
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir (26/7), mempersilakan para mahasiswa dan civitas akademika yang ingin melakukan kajian mengenai paham Marxisme di lingkungan kampus. Dirinya pun mempersilahkan apabila mahasiswa ingin melakukan kajian terkait Lesbian, Gay, Transgender, dan Biseksual (LGBT) sebatas kajian akademis, (tirto.id)
Bila serius diijinkan tentu ini menjadi preseden buruk bagi perguruan tinggi di Indonesia. Sebab perguruan tinggi bagaimanapun level pemikiran kaum intelektualnya di atas kaum pelajar sekolah dasar (SD-SMA), tetap saja perguruan tinggi adalah lembaga pendidikan.
Pendidikan seharusnya mencetak sosok manusia berkepribadian mulia dan unggul. Pendidikan bukan sebatas transfer of knowledge. Pendidikan sejatinya proses terjadinya transfer of value.
Bila nilai-nilai pemikiran yang dikaji memuat pemikiran yang rusak dan merusak nilai-nilai keadaban, kebenaran dan kemanusiaan di tengah masyarakat, maka output pendidikan yang diciptakan pastilah generasi split personality.
Tentu sangat mengerikan ketika mereka kelak harus mengisi estafet kepemimpinan negara, membuat kebijakan dan menjalankan berbagai program pembangunan.
Manusia melahirkan manusia. Binatang melahirkan binatang. Marxisme buah ideologi Sosialisme telah mengambil materialisme sebagai asas. Isme ini telah gagal memahami perkara-perkara maknawi dalam kehidupan manusia seperti kehormatan, kemuliaan, kebenaran dan kemanusiaan.
Bagaimana mungkin dilegalkan untuk dikaji oleh kaum intelektual kampus. Bagaimana juga cara menjamin tidak akan terjadi kulturisasi di masyarakat ketika sudah dikaji. Perangkat pemikiran dan perangkat fisik apa yang telah dimiliki oleh negara untuk mencegah dampak negatifnya.
Berkebalikan, Kemenristekdikti (26/7) justru akan mendata nomor telepon dan media sosial dosen, pegawai, dan mahasiswa pada awal tahun kalender akademik 2019/2020. Hal ini dilakukan untuk menjaga perguruan tinggi dari radikalisme dan intoleransi. Ia menjelaskan, Kemenristekdikti berencana bekerjasama dengan BNPT dan juga BIN terkait menjaga kampus dari radikalisme dan intoleransi. Apabila nantinya ada mahasiswa yang terdeteksi melakukan radikalisme atau intoleransi maka akan diberi edukasi, (republika.co.id).
Tentu saja gagasan radikal dan intoleran yang dimaksud adalah ideologi Islam beserta turunannya, syariah, Khilafah, dakwah dan jihad. Pernyataan Kemenristekdikti bahwa gagasan apapun boleh dikaji bila sebatas gagasan tanpa upaya menerapkannya patut dianggap lip service. Bukankah ajaran Islam dikaji untuk dilaksanakan dan diterapkan, bukan sebatas didiskusikan.
Lain pejabat lain ujaran. Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar (1/8) yang saat ini sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) mengaku Marxisme-Komunis, Kapitalisme, radikalisme, dan Khilafah sangat berbahaya. Namun lebih khawatir menghadapi penyebaran Khilafah dibandingkan Marxisme-Komunis, (pembawaberita.com)
Aroma islamophobia kian menguat di dunia kampus. Potensi pemikiran mahasiswa dikebiri untuk obyektif menilai ideologi Islam. Gagasan ideologi Islam diposisikan sebagai ancaman serius jauh di atas ancaman ideologi Sosialisme-Komunisme.
Jikapun benar Khilafah boleh dikaji sebatas gagasan. Maka, gagasan versus gagasan kini pecah dalam kancah pertarungan intelektual. Artinya para penyeru masing-masing gagasan ditantang untuk face to face.
Namun yang penting untuk dipahami bagi para petarung ideologi, bahwa selalu ada para membonceng gelap dibalik pertarungan ini. Mereka adalah penyeru ideologi Kapitalisme-Sekulerisme yang senantiasa mengambil manfaat sebesar-besarnya atas pertarungan ini.
Gagasan pamungkas dari ideologi Islam terletak pada ide Khilafah. Sebagai institusi penerap ideologi Islam, Khilafah jelas bukan mitos ataupun khayalan. Masa kekhilafahan Khulafaur Rasyidin, bersambung kekhilafahan Umayyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah terbentang memanjang dalam sejarah dunia. Prediksi berdirinya pun telah diakui penentangnya.
Dewan Intelijen Nasional Amerika Serikat (National Inteligent Council/NIC) pada Desember 2004 merilis laporan dalam bentuk dokumen yang berjudul Mapping The Global Future. “A New Caliphate provides an example of how a global movement fueled by radical religious identity politics could constitute a challenge to Western norms and values as the foundation of the global system” [Maping The Global Future: Report of the National Intelligence Council’s 2020 Project].
Barat di kawasan Asia Timur Jauh termasuk Indonesia ingin tetap berebut hegemoni dengan cara bermain cantik dan elegan selama antek-anteknya cukup loyal. Dengan memastikan tetap terkuburnya gagasan ideologi Sosialisme-Marxisme kecuali sebagai kambing hitam sekaligus batu loncatan memerangi Islam, serta memastikan upaya serius menggagalkan lahirnya ideologi Islam yang mereka sadari mustahil diaborsi.
Barat selalu menjadi pembonceng gelap. Gagasan Sosialisme-Marxisme sengaja dimainkan untuk menyibukkan umat terhadap kemungkinan kebangkitannya. Trauma masa lalu terhadap ideologi ini dimanfaatkan oleh Barat. Tujuannya agar semua potensi umat tertuju untuk menolak gagasan Sosialisme yang memang bertentangan dengan akal sehat dan fitrah manusia.
Hasilnya umat lupa bahwa hegemoni yang sesungguhnya adalah ideologi Kapitalisme-Sekuler. Dalam hal ini ide kebebasan berpikir menjadi sarana efektif dalam pertarungan tiga ideologi sekaligus. Targetnya menjadi sangat jelas, memukul gagasan Khilafah secara bersama-sama.
Maka perlindungan hakiki bagi pemikiran umat termasuk kaum intelektual hanyalah Khilafah penerap ideologi Islam. Khilafah tidak akan membiarkan para pemikir sesat dan sesat pikir bebas menyebar di masyarakat.
Sebab salah satu maqoshid syari' adalah menjaga akal. Baik dengan mengharamkan khamer sebagai barang ekonomi, maupun dengan mengharamkan penerapan dan penyebaran ideologi kufur Sosialisme dan Kapitalisme serta berbagai pemikiran cabangnya.
Saatnya kaum intelektual muslim bangkit, tanpa tapi tanpa nanti hanya dengan ideologi Islam yang digaransi langsung oleh Dzat Pemilik Semesta Alam. Dalam hal ini penulis memilih sudut pandang yang mungkin berbeda dengan pembaca. Bolehkan? Wallaahu a'lam bish shawab. [MO/sg]