Oleh : Miniarti Impi, S.T
(Member WCWH)
Mediaoposisi.com-Sejumlah protes dan kritik disampaikan banyak pihak terhadap pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebab dianggap tidak memiliki tolak ukur yang jelas.
Secara filosofis, sosiologis dan yuridis RUU ini dianggap berpotensi besar melegalkan pelanggaran hukum syara’ dan moral masyarakat yang dilakukan secara sukarela. Yaitu berpotensi memunculkan celah penyimpangan-penyimpangan dan perzinahan, berpotensi membuat banyak kasus perceraian, dan lain-lain.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual harus diwaspadai karena dinilai sarat dengan konsep barat yang liberal.
Sebagaimana dilansir dalam medcom.id, sejumlah perempuan yang tergabung dalam organisasi Aliansi Cerahkan Negeri (ACN) menggelar aksi dalam menolak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Humas ACN Alwiyah mengatakan banyak pasal dalam RUU tersebut yang tidak memiliki penjelasan secara rinci dan menjadi bias makna. Ia juga menilai RUU tersebut juga tidak dapat melindungi perempuan dalam tindakan kekerasan seksual atau pemerkosaan. Terlebih penggagas RUU ini adalah Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) yang seharusnya bisa melindungi kaum Hawa.
Majelis Nasional Forum Alumni HMI-Wati (Forhati) juga menyatakan sikap menolak RUU PKS yang sedang dibahas DPR dengan pertimbangan melanggar norma agama serta sarat dengan muatan feminisme dan liberalisme sehingga RUU PKS ini memungkinkan munculnya celah legalisasi tindakan LGBT serta pergaulan bebas. Sehingga RUU PKS ini memungkinkan munculnya celah legalisasi tindakan L9BT, serta pergaulan bebas. (AntaraNews)
Perlindungan Semu bagi Perempuan
Salah satu nilai liberal yang melatarbelakangi pembuatan semua regulasi anti kekerasan ini adalah ide kesetaraan gender.
Indonesia, sebagai negara yang telah meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) telah diwajibkan untuk menjalankan langkah-langkah perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan.
Oleh sebab itu, sejak tahun 2011 kalangan feminis telah menuntut DPR segera membahas RUU Kekerasan Seksual yang digagas LBH APIK.
Di dalam RUU ini banyak celah bagi masuknya nilai-nilai liberalisme-sekulerisme yang berbahaya bagi masyarakat, khususnya keluarga yang menjadi tempat lahir dan tumbuhnya generasi.
Kehidupan yang bebas tanpa aturan dengan mengagungkan materi senantiasa mereka propagandakan dengan berbagai cara. Agama, yang menjadi penghalang terbesar mereka, terus menjadi sasaran. Mereka mencoba untuk menyingkirkan aturan agama dalam kehidupan keluarga.
RUU PKS bagai racun berbalut madu, kedengarannya manis namun jika dikaji ternyata RUU ini hanya mempermasalahkan kasus yang di dalam tindak seksualnya ada unsur pemaksaan. Namun ketika tidak ada pemaksaan, maka hal tersebut dianggap bukan sebuah kejahatan atau pelanggaran terhadap peraturan.
Maka, jika seseorang melakukan zina suka sama suka, atau suami menyodomi istrinya dan istrinya senang-senang aja, itu dianggap bukan termasuk kekerasan seksual.
Selain itu, perzinaan dan perilaku penyimpangan seksual lainnya juga tidak dianggap sebagai bentuk kekerasan seksual jika tidak ada unsur paksaan walaupun perilaku seksual tersebut bertentangan dengan moralitas dan agama.
RUU ini, juga berpotensi melegalkan prostitusi karena jika tubuh seseorang dieksploitasi demi hasrat seksual, namun atas persetujuan yang bersangkutan, dan atas karenanya yang bersangkutan akan mendapatkan keuntungan, tidak akan terkena delik kekerasan begitu juga dengan aborsi.
Dengan berlindung di balik upaya perjuangan membela kaum perempuan, namun sejatinya mereka tengah menawarkan racun dengan kemasan semanis madu. Masyarakat harus jeli dan cerdas dalam melihat isu ini agar tak terperosok semakin dalam ke jurang kehancuran akibat paham-paham menyesatkan anti Islam.
Kembali Kepada Syariat
Untuk menghapus kekerasan seksual maka tidak bisa dan tidak akan pernah bisa hanya dengan mengesahkan RUU PKS ini. Penyelesaian ini harus diselesaikan dengan mencari akar permasalahan dari adanya kekerasan seksual.
Sebab paling utama, sekularisme yang diadopsi seluruh bangsa di dunia pada hakikatnya menjauhkan hukum Allah sehingga masyarakat tidak pernah mendapatkan perlindungan yang ideal. Akan percuma jika RUU disahkan namun faktor-faktor penyebab kejahatan tidak mampu dilenyapkan, keamanan, kehormatan dan nyawa perempuan dan anak-anak masih terancam
Seharusnya penanganan kejahatan dilakukan secara preventif dan kuratif. Tanpa upaya preventif, apapun langkah kuratif yang dilakukan, seperti menjatuhkan sanksi hukum yang berat, tidak akan pernah efektif.
Sesungguhnya penanggulangan kejahatan seksual, bahkan penanggulangan semua penyakit sosial yang ada dalam sistem sekuler-kapitalis saat ini, wajib dikembalikan kepada syariah Islam yang diterapkan secara kaffah dalam negara Khilafah.
Dengan tiga pilar pelaksanaan syariah Islam, yaitu ketakwaan individu, kontrol sosial, dan penegakan hukum oleh negara, insya Allah semua penyakit dan kejahatan sosial akan dapat dikurangi atau bahkan dilenyapkan dari muka bumi dengan seizin Allah.
Walhasil, kejahatan ini tidak akan terjadi bila masyarakat memiliki keyakinan bahwa sekecil apapun perbuatan buruk, akan diketahui Allah subhanahu wa ta’ala dan pasti mendapatkan balasan di hari akhirat.
Keterikatan pada hukum syariat mampu mencegah perbuatan zalim apapun dan terhadap siapapun. Mekanisme sistem sanksi dalam Khilafah Islam yang tegas pun akan menjadi penghalang kemaksiatan, karena keberpihakan hanya berlaku pada hukum Allah, bukan pada penguasa ataupun pengusaha. “Wallahu’alalbisshowab” [MO/sg]