Oleh: Susi
(Anggota Forum Pena Dakwah Maros)
Mediaoposisi.com-Dari beberapa jumlah perempuan yang telah bergabung dalam organisasi Aliansi Cerahkan Negeri (ACN) dan digelari aksi dalam penolakan untuk Rancangan Undang-Undang Penghapusan Seksual (RUU PKS). RUU tersebut tidak memiliki kejelasan dalam aturannya.
Memang sih dalam orientasi seksual bukan hanya kalangan perempuan ataupun laki-laki tapi dalam konteks bisa jadi antara laki-laki maupun perempuan dan perempuan. Dan ini sangat bertentangan dengan pancasila, UUD 1945 serta norma agama (medcom.id) Jakarta pusat, minggu,14 Juli 2019.
Jika kita menilai bahwa RUU tidak dapat melindungi perempuan dalam tindakan kekerasan seksual ataupun pemerkosaan. Munculnya RUU P-KS ini justru menimbulkan masalah, yakni ketika laki-laki dan perempuan berhubungan intim diluar nikah dengan dalih saling sama suka, lantas tidak mendapatkan efek jerah jika ada yang mengadu.
Menurut majelis Nasional Forum Alumni HMI-Wati (Forhati) menyatakan sikap untuk menolak RUU tentang penghapusan kekerasan Seksual (RUU PKS) yang dibahas oleh DPR dengan pertimbangan melanggar norma agama serta sarat dengan apa yang dimuat feminisme dan liberalisme (15 Juli 2019.
Jika kita lihat dari segi namanya RUU ini memang terkesan baik karena sangat memperhatikan maraknya kasus-kasus kekerasan seksual di negeri ini. Akan tetapi kita mesti teliti secara terperinci, karena akan nampak jika dimuat itu berasal dari pemikiran Barat yang begitu memuja nilai sekularisme dan liberalisme turut ikut andil dalam materi RUU ini.
Contoh dalam definisi dari kekerasan seksual yang dipergunakan, sangat fokus dengan klausul secara paksa dan sangat bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang tidak bisa memberikan kata setuju dalam keadaan bebas.Sehingga kesan dalam perbuatan seksual yang dilakukan secara paksa.
Dan ini dikehendaki oleh satu sama lain walaupun itu bukan dari pihak suami istri maka tidak akan ada kategori sebagai perbuatan yang dapat dikenakan sanksi. Jadi disinilah peran agama apalagi islam saat ini dimatikan, jika ini yang diterapkan bukannya menyelesaikan masalah tapi justru menambah perzinahan atas dasar suka sama suka dan dilegalkan di negeri kita ini.
Kalau memang berniat untuk menghapus kekerasan seksual maka tidak bisa jika hanya ingin mengesahkan RUU P-KS ini. Penyelesain ini perlu diselesaikan dari akar masalahnya dari adanya kekerasan seksual. Menurut beberapa kalangan bahwa penyebab munculnya kekerasan seksual adalah dampak dari adanya tingkat gender.
Oleh karena itu maka mereka giat untuk mencari ide keadilan dan kesetaraan terhadap gender (KKG). Ide ini sejatinya upaya yang dilakukan kaum feminis untuk merusak tatanan agama. Padahal dalam islam perempuan sudah memiliki posisi yang dimuliakan bukan untuk disetarakan oleh kaum laki-laki, sehingga dalam pandangannya untuk islam diskriminatif terhadap perempuan.
Dalam syariat sudah ditentukan dari sisi pakaian, melarang seorang perempuan menjadi pemimpin negara atau penguasa, tanggung jawab ibu rumah tangga, perkawinan, ketentuan waris dan lain-lainnya dianggap diskriminasi dan tidak adil terhadap perempuan. Banyak ayat dan hadist dituduh membenci perempuan. Sehingga muncul ide yang pada hakikatnya ingin mengergat terhadap islam.
Maka ketika kembali membahas pengesahan RUU PKS disebabkan pemahaman yang mengenai dampak ketimpangan gender maka akan kita dapati ketidak sesuaian antara kedua hal ini. Karena adanya penyebab kekerasan seksual terhadap perempuan bukanlah karena mau disetarakan gender antara laki-laki dan perempuan.
Semua ini karena dampak dari penerapan sistem sekuler demokrasi kapitalis yang menjauhkan peran agama dalam dunia kehidupan. Sehingga masyarakat sekuler meniadakan peran pencipta dalam kehidupan sehari-harinya termasuk dalam hal menangani kekerasan seksual yang terjadi saat ini.
Sekularisme memang menerima adanya peran pencipta, namun dibatasi dalam ruang privat, yaitu hanya untuk ibadah saja. Dalam sekularisme semua aturan untuk kehidupan diserahkan kepada manusia. Aturan yang dibuat bahkan sering terjadi pro dan kontra antara berbagai pihak yang memiliki pandangan dan kepentingan yang berbeda.
Akibatnya dalam penegakan aturan pun tidak dapat optimal dan efektif untuk menyelesaikan akar masalahnya. Maka timbul kejadian bahwa percuma jika RUU ini disahkan namun miras dilegalkan bahkan tontonan video-video yang mengandung unsur pornopun masih mudah untuk diakses disosmed.
Seharusnya dalam penanganan kejahatan seksual ini dilakukan secara preventif dan kuratif tanpa adanya preventif dan langkah kuratif yang dilakukan, seperti menjatuhkan sanksi hukum yang berat, tidak akan pernah efektif. Ada tiga pilar yang mendukung yakni ketakwaan individu, kontrol sosial, dan penegakan hukum syariat oleh negara.
Ketakwaan individu menjadikan setiap individu muslim mampu menjaga dirinya dari perbuatan yang tidak sesuai dengan islam. Keimanan dan ketakwaan setiap individu menjadikan faham akan batasan aurat, batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan.
Disini juga perlu kontrol dari masyarakat yang harus dibangun untuk mencegah tindakan kekerasan seksual ini. Seperti mengamalkan amar ma'ruf nahi munkar yang dalam islam memang diwajibkan. Setiap muslim akan menjadi pengawas tindakan muslim lainnya, apakah tindakan ini bertentangan dengan syariat atau tidak. Ini yang menjadi kontrol dalam kehidupan masyarakat.
Islam Pun memberikan solusi yang tegas bagi para pelaku. Yakni ancaman cambuk bagi yang belum menikah dan dirajam sampai mati yang berzina dengan bukan orang halalnya, hingga hukuman yang berlapis-lapis jika kejahatannya beragam.
Kisah yang terjadi pada masa khalifah
ada sedikit gambaran terkait bagaimana islam menjaga dan memuliakan kehormatan perempuan adalah pada kisah yang terjadi pada masa khalifah mu'tashim billah.
Kholifah berhasil mengalahkan dan memukul mundur orang-orang kafir dalam satu kota. Hanya karena masalah yang sepele saja. Yaitu, seorang wanita muslimah yang diganggu dan dilecehkan kehormatannya oleh orang kafir.
Kain kerudungnya dikaitkan dipaku, sehingga berdiri terlihatlah auratnya. Wanita tersebut berteriak memanggil khalifah mu'tashim billah dengan ucapan lafadz terkenal " Waa mu'tashimaah" maka itu kholifah menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerang kota Amora dan menghancurkan orang kafir yang berada di kota tersebut.
Kehidupan ini terjadi jika sistem islam yang ditetapkan dalam sebuah institusi negara bukan sekedar menjadikan agama spiritual yang hanya dipakai untuk beribadah saja. Tapi islam harus diterapkan dalam sebuah lini kehidupan manusia dalam bingkai daulah khilafah islamiyyah.
Maka dengan penerapan islam yang sempurna ini kita bisa meraih keberkahan hidup akan diraih dan segala masalah akan terselesaikan termasuk soal kekerasan terhadap perempuan pada saat ini.
Wallahu alam bis shawab. [MO/sg]