Oleh: Nur Afifah Fakhirah Salim.
(Mahasiswa UIN Alauddin Makassar)
Pertimbangan itu dituangkan dalam putusan nomor 135/PUU-XIII/2015.
”Dapat dipahami bahwa dalam interaksi masyarakat sehari-hari istilah gangguan jiwa dan / atau gangguan ingatan selalu dibayangkan sebagai kondisi 'gila',atau secara medis disebut sebagai sakit jiwa(psikosa). Padahal sebenarnya gila hanya satu jenis dari abnormal mental,” demikian pertimbangan MK, Senin (14/1).
Lalu bukankah abnormalitas mental merupakan sesuatu kondisi dimana pikirannya tidak normal secara akal pikiran. Lalu bagaimana kemudian ia akan memilih secara logis jika pikirannya saja mengalami gangguan.Bukankah memilih seorang pemimpin harus didasarkan pada hasil pertimbangan dari gagasan yang berdasar pada analisa tentang Paslon yang akan dipilihnya?.
Walaupun sebenarnya orang gila notabene termasuk warga negara Indonesia yang memiliki haknya sebagai warga negara,bisakah kita mengabaikan realitas tentang cacat mental yang diidapnya?.
Secara Akal Sehat jawabannya ialah Tidak bisa.Bagaimanapun hal seperti ini tidak bisa ditolerir begitu saja,apalagi banyak dampak negatif yang dapat ditimbulkan jika benar-benar hal ini sampai dibiarkan saja terjadi.
Terlebih lagi Pemilu tahun ini jelas terumit dalam sejarah ,banyak kartu suara yang harus dicoblos,ada caleg DPRD Kabupaten/Kota,DPRD provinsi, DPR RI, DPD, dan Presiden/Wakil presiden.Dalam pemilu dengan kartu suara sederhana saja orang sakit jiwa dimaklumi untuk dengan tidak diberi hak pilih,apalagi sekarang yang merupakan pemilu terumit sepanjang sejarah.
Pengidap keterbatasan mental tidak sepatutnya diberikan hak pilih.Meskipun tidak diatur secara tegas dalam UU Pemilu,tetapi dalam pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) secara jelas diatur jika orang gila tidak cakap melakukan aktivitas hukum dan itu termasuk dalam memilih pada saat Pemilu.
Sungguh miris rasanya melihat masa depan negeri kita apabila yang menjadi nahkoda RI merupakan hasil keputusan yang 'tidak sepatutnya' hanya karena dimenangkan oleh rakyat Indonesia yang diperkuat oleh pemikiran yang tidak didasari keyakinan analisa mendalam terhadap pilihannya.
Secara konstitusional pengidap gangguan jiwa ini dilindungi haknya sebagai warga negara, sehingga menyebabkan hak pilih mereka dianggap sah secara konstitusional.
Orang dengan gangguan jiwa se-ekstrem apapun adalah tetap manusia,sehingga dia layak diperlakukan sebagai warga negara. Tapi pada kenyataannya definisi manusia itu sendiri disandarkan pada rasionalitas, yang berbunyi mereka yang tidak rasional, yang bahkan tidak sadar atas dirinya maka tidak dianggap manusia.
Sementara itu apa yang seharusnya dilakukan agar kualitas Pemilu kedepannya menjadi hal yang konsistensi yang tidak menuai dampak negatif yang dikhawatirkan akan merusak kualitas pemilu dengan dihapuskannya hal-hal tidak berdasar seperti hak politik seorang pengidap keterbatasan mental tersebut.
Mengubah undang-undang terkait merupakan satu-satunya jalan keluar agar kecacatan dalam undang-undang menyangkut hak politik warga negara kemudian diatur secara tegas dan spesifik.
Menggunakan hak pilih seyogyanya merupakan pelaksanaan hak hukum yang sangat penting karena akan menentukan siapa yang menjadi pemimpin negara.Jika orang gila diberi hak pilih bisa diragukan kualitasnya.Dampak lain yang akan dikhawatirkan terjadi ialah dugaan terjadinya peluang manipulasi.
Bisa saja orang gila tersebut diarahkan memilih salah satu Paslon tertentu akibat intervensi dari salah satu pihak.Bukan hal yang tak mungkin terjadi karena secara logika mereka tidak sadar apa yang mereka lakukan.
Inilah Pemilu 2019,momen persiapan akhir untuk mendapatkan format ideal sebagai upaya menyambut sang pembaharu kian diwarnai dengan drama panjang berujung kontroversi dalam tirani Demokrasi dimana hal diluar nalar dilegalkan.[MO/ad]