Endah Sulistiowati
(Dir. Muslimah Voice)
Pemilu akbar tahun ini telah usai. Dan umat pun sudah menambatkan dimanakah hati mereka akan menautkan pilihan. Ini akan menjadi pemilihan presiden langsung terbesar di dunia (karena Amerika Serikat (AS) menggunakan sistem electoral college), dan salah satu pemilu satu hari yang paling rumit dalam sejarah dunia. Saat ini, tinggal menunggu kabar resmi, siapakah orang yang akan menjadi pemimpin Indonesia untuk lima tahun kedepan.
Hasil versi quick count dari Lembaga survey memang sudah ada yang rilis. Masyarakat riil dan jagad sosmed terus menjadikan hasil pemilu (pilpres utamanya) sebagai tema pokok pembahasan. Mulai dari kebohongan Lembaga survey, daftar pemilih yang tidak wajar, pendataan orang gila dengan adanya TPS di rumah sakit-rumah sakit jiwa, kertas suara yang sudah tercoblos, kertas suara habis, sampai adanya dugaan pengerahan hacker (nasional/internasional) untuk membobol system keamanan data di KPU.
KPU dan Bawaslu seakan-akan membiarkan bola panas yang terus menggelinding di tengah-tengah masyarakat, dengan sikap diam dan menutup diri. Masyarakat terus dibiarkan bertanya-tanya, sedangkan berita di media dibiarkan menggiring opini ke satu titik. Sebagai Lembaga resmi negara yang menjadi penyelenggara Pemilu, seharusnya KPU lebih membuka diri dan fair dalam melayani segala keluhan masyarakat, dan bertindak adil, namun faktanya masyarakat merasa bahwa KPU berat sebelah.
Inilah yang membuat masyarakat dan umat jengah, bosan, dan akhirnya marah. Umat sudah Lelah dengan segala permainan demokrasi. Umat menginginkan perubahan. Demokrasi yang mahal membuat hanya pihak tertentu yang memiliki modal yang bisa bermain disana, menguasai dan mengendalikan. Demokrasi juga terlalu tinggi untuk digapai rakyat, keadilan dan kesejahteraan hanya mimpi yang hanya bisa tergantung diangan-angan.
Kalau demokrasi seperti ini yang dielu-elukan dan dibanggakan, maka sama saja dengan membunuh aspirasi rakyat. Rakyat seakan-akan diberi pilihan, namun pilihannya dikebiri oleh penguasa dan dipaksa menerima apa yang menjadi ketetapan penguasa. Apakah system pemerintahan seperti ini layak untuk diperjuangka dan dipertahankan?
80 persen dari 260 juta penduduk Indonesia adalah Muslim. Mereka punya suara, mereka punya aspirasi serta keinginan berharap ada perubahan yang lebih baik. Namun jika fakta perubahan tidak kunjung ada, keterpurukan negara telah jelas didepan mata, maka kearah mana haluan biduk suara ini harus dilabuhkan? Partaikah? Sudah banyak bukti mereka tidak amanah. Ormas? Beberapa dari mereka menjadi perpanjangan tangan penguasa, meski banyak yang masih lurus tapi suara mereka tidak pernah didengar penguasa. Ulama? Ulama-ulama yang hanif banyak yang dimusuhi, dikerdilkan, dan dipersekusi. Mau diayunkan kemana lagi kaki ini?
Islam bukan sekedar agama ritual semata, Islam Allah turunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW sebagai sebuah system kehidupan. Islam yang diterapkan Rasulullah, Khulafaur Rasyidin dan para Khalifah-Khalifah setelahnya telah membuktikan bahwa Islam sebagai system kehidupan mampu membawa kejahteraan, keadilan, dan keunggulan peradaban manusia.
Sehingga ketika umat sudah muak dengan berbagai tipu daya demokrasi maka sudah waktunya kembali pada system yang telah diturunkan Sang Pencipta. Kesanalah langkah-langkah umat harus diayunkan dan suara umat akan mendapatkan tempat semestinya. Bersama dan bersinergi dalam satu wadah perjuangan dengan satu tujuan. Untuk mengembalikan system kehidupan Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah. Wallahu’alam.[]
from Pojok Aktivis