Oleh : Thyna Mujahidah
Mediaoposisi.com- Ketika kaum muslimin hidup dalam naungan sistem Khilafah, berbagai muamalah mereka selalu berada dalam timbangan syariah (halal-haram). Khalifah Umar bin Khaththab misalnya, tidak mengizinkan pedagang manapun masuk ke pasar kaum muslimin kecuali jika dia telah memahami hukum-hukum muamalah. Tujuannya tiada lain agar pedagang itu tidak terjerumus ke dalam dosa riba. (As-Salus, Mausu’ah Al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, h. 461).
.
Namun ketika Khilafah hancur tahun 1924, kondisi berubah total. Kaum muslimin makin terjerumus dalam sistem ekonomi yang dipaksakan penjajah kafir, yakni sistem kapitalisme yang memang tidak mengenal halal-haram. Ini karena akar sistem kapitalisme adalah paham sekularisme yang menyingkirkan agama sebagai pengatur kehidupan publik, termasuk kehidupan ekonomi.
Walhasil, seperti kata As-Salus, kaum muslimin akhirnya hidup dalam sistem ekonomi yang jauh dari Islam (ba’idan ‘an al-Islam), seperti sistem perbankan dan pasar modal (burshah al-awraq al-maliyah) (ibid., h. 464).
Rakyat terus dibodohi dengan angka - angka yg tak ada hubungannya dengan peningkatan kesejahteraan hidup mereka sehingga konsep ekonomi kapitalisme memang hanya mengukur kesejahteraan dari angka-angka.
Faktanya yang diuntungkan bukan rakyat, tapi para kapitalis. Hanya sistem ekonomi islam yg tegak dalam sistem khilafah yg menjamin kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengapresiasi pencapaian Kementerian Keuangan dengan penerimaan negara mencapai 100 persen atau sebesar Rp 1.894,7 triliun.
"Pada tahun ini untuk pertama kalinya Kementerian Keuangan tidak mengundang-undangkan APBN Perubahan dan tahun 2018 ditutup dengan penerimaan negara sebesar 100 persen, belanja negara mencapai 97 persen dan defisit atau primary balance di bawah 2 (dua) persen sejak 2012." ujar Sri Mulyani dalam keterangan tertulis, seperti dikutip dari laman Kementerian Keuangan, Senin (31/12/2018).
Dalam postur APBN 2018, pendapatan negara dipatok Rp 1.894,7 triliun dan belanja negara Rp 2.220,7 triliun. Sedangkan defisit anggaran terhadap produk domestik bruto (PDB) 2,19 persen. Adapun belanja negara itu antara lain untuk belanja pemerintah pusat Rp 1.454,5 triliun yang digunakan untuk belanja kementerian/lembaga sebesar Rp 847,4 triliun dan belanja non K/L sebesar Rp 607,1 triliun. Sedangkan transfer ke daerah dan dana desa Rp 766,2 triliun.
Seperti diketahui, sebagai salah satu upaya konsolidasi dan koordinasi pelaksanaan anggaran pada akhir tahun, Sri Mulyani melakukan video conference dengan seluruh pejabat eselon I dan II di seluruh Indonesia. Kegiatan rutin tahunan ini dipusatkan di Aula Djuanda Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dengan mengikutsertakan seluruh pejabat Eselon I dan II Kantor Pusat dan instansi vertikal Kemenkeu yang berlokasi di DKI Jakarta. Sementara, pejabat eselon II instansi vertikal Kemenkeu di seluruh Indonesia mengikuti dari 34 kota, dari Aceh hingga Papua.
Video conference diisi dengan penyampaian laporan pelaksanaan tugas sepanjang tahun 2018 pada instansi vertikal Kemenkeu di seluruh Indonesia. Laporan tersebut mencakup pencapaian program strategis di bidang penerimaan, pengeluaran, dan capaian program strategis nasional di setiap regional instansi vertikal Kemenkeu.
Regional I (Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara), penyampaian laporan diwakili oleh Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak Papua dan Maluku;
Regional II (seluruh Provinsi di wilayah Sulawesi), penyampaian laporan diwakili oleh Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Sulawesi Bagian Utara;
Regional III (seluruh Provinsi di wilayah Kalimantan), penyampaian laporan diwakili oleh Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kalimantan Barat;
Regional IV (Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Bali), penyampaian laporan diwakili oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Provinsi Bali;
Regional V (seluruh provinsi di wilayah Jawa), penyampaianegional V (seluruh provinsi di wilayah Jawa), penyampaian laporan diwakili oleh Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Jawa Barat;
Regional VI (seluruh provinsi di wilayah Sumatera), penyampaian laporan diwakili oleh Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Aceh.
Salah satu perbedaan penting antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi Kapitalis adalah dalam memandang apa sesungguhnya yang menjadi permasalahan utama ekonomi. Dalam sistem ekonomi kapitalis, permasalahan ekonomi yang sesungguhnya adalah kelangkaan (scarcity) barang dan jasa. Hal ini karena setiap manusia mempunyai kebutuhan yang beranekaragam dan jumlahnya tidak terbatas sementara sarana pemuas (barang dan jasa) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia terbatas.
Dari pandangan ini solusi pemikiran untuk memecahkan problematika ekonomi tersebut dengan jalan menitikberatkan pada aspek produksi dan pertumbuhan. Perhatian yang begitu besar terhadap aspek produksi dan pertumbuhan seringkali justru mengabaikan aspek distribusi dan kesejahteraan masyarakat banyak. Hal ini dapat dilihat dari keberpihakan yang sangat besar kepada para konglomerat, sebab pertumbuhan yang tinggi dengan mudah dapat dicapai dengan jalan ekonomi konglomerasi dan sulit/ lambat jika ditempuh dengan mengandalkan ekonomi kecil dan menengah.
Sebagai contoh dalam kasus makanan, permasalahan ekonomi seolah-olah dianggap sudah teratasi jika produksi/stok beras sudah lebih dari total kebutuhan rakyat, uswono, menteri pertania. Disisi lain apakah beras tersebut bisa dinikmati oleh rakyat kurang mendap“Kebutuhan beras tahun ini akan terpenuhi oleh persediaan yang ada” kata Sat perhatian, bahkan petani penanam padi di daerah lumbung padi pun hidup kekurangan, dengan rata-rata hasil bersih Rp. 350 ribu/bulan
Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, problematika ekonomi yang utama adalah masalah pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga negara, walaupun pertumbuhan dan produksi barang dan jasa tinggi, namun bila ada warga negara yang tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya, berarti ekonomi negara tersebut berada dalam masalah.
Oleh sebab itu, solusi problem utama ekonomi sebenarnya adalah bagaimana mengatur distribusi harta kekayaan sehingga semua individu terpenuhi kebutuhan pokoknya dan kekayaan tersebut beredar tidak hanya dikalangan orang-orang kaya saja.
Banyak ayat al-Quran dan al-Hadits yang berbicara masalah distribusi kekayaan, diantaranya nash-nash yang memerintahkan manusia untuk menginfakkan harta dan memberi makan orang-orang fakir, miskin, dan kekurangan, seperti dalam QS al-Hajj [22]: 28; al-Baqarah [2]: 177, 184, 215; al-Insan [76]: 8, al-Fajr [90]:13-14; dan al-Maidah [5]: 89. Al-Quran menyatakan bahwa dalam setiap harta terdapat hak bagi orang miskin. Allah Swt. berfirman:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
"Pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta-minta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian." (QS adz-Dzariyat [51]: 19).
Islam mencegah berputarnya harta kekayaan hanya di kalangan orang-orang kaya, sementara kelompok lainnya tidak memperoleh bagian. Allah Swt. berfirman:
كَيْ لاَ يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
"Supaya harta itu jangan hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kalian." (QS al-Hasyr [59]: 7).
Rasulullah saw bersabda:
وَأَيُّمَا أَهْلُ عَرْصَةٍ أَصْبَحَ فِيهِمْ امْرُؤٌ جَائِعٌ فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُمْ ذِمَّةُ اللهِ تَعَالَى
"Penduduk negeri manapun yang berada di pagi hari, sementara di tengah-tengah mereka ada orang yang kelaparan maka jaminan Allah telah lepas dari mereka." (HR Ahmad, al-Hakim dan Abu Ya’la)
Dalam sistem ekonomi Islam sumber daya alam sepenuhnya di kelola oleh negara dan didistribusikan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat. Wallahu a'lam (MO/ra)