Oleh: Azizah
(Aktivis Remaja Muslimah)
Mediaoposisi.com- Jelang pemilu 2019 Capres-Cawapres mempersiapkannya dengan amat teliti. Dengan mengadakan kembali debat pilpres yang kedua untuk pasangan Prabowo-Sandiaga dan Jokowi-Ma’aruf amin akan diselenggarakan kembali dimana dari masing-masing calon pasangan tidak boleh diberi kisi-kisi untuk debat pilpres kedua nanti. Masyarakat akan mendengarkan kembali jawaban dari masing-masing kubu.
Itu sebabnya debat Pilpres akan dilaksanakan kembali. Dengan debat Pilpres yang kedua dipastikan dari Tim Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak membocorkan kisi-kisi terlebih dahulu. Karena dengan begitu rakyat akan menilainya sesuai jawaban dari masing-masing kubu tanpa adanya persiapan sebelum adanya debat. Debat Pilpres kedua akan menentukan siapakah yang terbaik menjawab segala persoalan rakyat dan mengatasi segala permasalahannya dengan jawaban tanpa dibuat-buat dan murni keluar dari pemikiran tanpa perencanaan.
Politisi Partai Gerindra menyebut pihaknya turut mendukung apabila KPU melarang kandidat capres-cawapres membawa contekan atau tablet saat debat berlangsung. "Agar rakyat mendapatkan jawaban dari kepala kandidat, bukan dari teks atau contekan. Sehingga rakyat benar-benar bisa menilai kualitas masing-masing kandidat," jelas dia. juru bicara BPN Andre Rosiade saat dikonfirmasi, Minggu (20/1/2019).
Adanya pemberitahuan tentang debat pilpres kedua yang kembali dilaksanakan akan membuat rakyat sadar dengan apa yang mereka dengar sebelum dan sesudahnya. Rakyat sudah tidak tahu harus menentukan pemilihan itu kepada siapa lantaran debat pilpres kemarin terjadi beberapa kejanggalan dalam setiap jawaban yang diberikan. Rakyat tidak butuh jawaban analisa yang sudah dirancang indah di kertas. Rakyat hanya butuh bukti nyata. Bukti yang akan membuat rakyat kecil lebih sejahtera.
Begitulah rangkaian pemilu yang terjadi dalam sistem sekuler saat ini. Berbagai bentuk kecurangan seringkali dilakukan. Karena fokus utama pemilihan pemimpin dalam demokrasi adalah beralihnya kekuasaan, maka tak heran jika tindakan kecurangan pun kerap terjadi. Pemilihan pun tak lebih seperti ajang pemilihan artis idol dan ceremonial.
Lain hal jika pemilihan pemimpin tersebut dilandasi dengan sistem Islam. Dalam Islam mekanisme pemilihan sangat simple namun esensial. Pemimpin dipilih berdasarkan kemampuannya menerapkan syariah Islam secara kaffah dan kapabilitasnya dalam mengurus urusan rakyat.
Demikian terlihat dengan jelas bahwa Islam adalah agama yang sempurna (kaffah), mengatur seluruh aspek kehidupan. Mulai dari yang dipandang kecil seperti memakai sandal mulai dari kaki kanan terlebih dahulu hingga mengatur urusan politik dan pemerintahan.
Islam mengatur segenap perbuatan manusia dalam hubunganya dengan Khaliq-nya, hal ini tercermin dalam aqidah dan ibadah ritual dan spiritual. Seperti: tauhid, salat, zakat, puasa dan lain-lain. Kedua, mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Yang diwujudkan berupa akhlak, pakaian, dan makanan. Ketiga, mengatur manusia dengan lingkungan sosial. Hal ini diwujudkan dalam bentuk mu'amalah dan uqubat. (sistem ekonomi Islam, sistem pemerintahan Islam, sistem politik Islam, sistem pidana Islam, strategi pendidikan, strategi pertanian, dan lain sebagainya (Taqiyyudin, Nidhomul Islam)
Maka Islam adalah berbeda dengan agama-agama yang lain, sebab Islam tidak sebatas ibadah ritual dan spiritual belaka, namun juga memasuki ranah publik. Maka kaum muslim yang memisahkan agama Islam dengan kehidupan publik (fasluddin 'anil-hayah) berarti ia telah terkena virus sekulerisme.
Sekulerisme sendiri sebagaimana ditulis Shidiq Jawi di majalah Al-Waie mempunyai akar sejarah sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat. Pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan. (Idris, 1991:74). Menurut Abdulah Nashih Ulwan (1996:71), pada era awal ini pengamalan agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan,"Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan."
Sekularisme merupakan akar dari liberalisme yang sejatinya masuk secara paksa ke Indonesia melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekuler telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama. (Suminto, 1986:27).
Uniknya sebagian kaum Muslim secara sadar atau tidak justru mengagung-agungkan paham yang satu ini, padahal jika ditelisik lebih dalam ini adalah jelas merupakan produk pemikiran impor dari Barat. Bisa pula disebut ideologi transnasional. Pemikiran sekulerisme inilah yang menjadi jalan bagi penjajah untuk tetap menjajah Indonesia meski bukan lagi dalam bentuk penjajahan fisik. Baik penjajahan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan keamanan. Semua ini dibalut dengan ideologi negara yang sudah disepakati bersama. Sayangnya sekulerisme ini terus menerus dikampanyekan oleh para pengagumnya.
Pemikiran sekulerisme inilah yang menjadi jalan bagi penjajah untuk tetap menjajah Indonesia meski bukan lagi dalam bentuk penjajahan fisik. Baik penjajahan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan keamanan. Semua ini dibalut dengan ideologi negara yang sudah disepakati bersama. Sayangnya sekulerisme ini terus menerus dikampanyekan oleh para pengagumnya. Oleh karena itu, sudah saatnya kita tinggalkan sistem sekulerisme dan menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah ala min hajin Nubuwwah.[MOsr]