Oleh: Novia Darwati
(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
Masih di bulan yang sama, bulan Januari yang harusnya mengawali indahnya pergantian tahun kembali ternoda dengan munculnya kasus seorang dosen yang berada di dalam kamar kos mahasiswinya. Dosen yang merupakan seorang intelektual sekaligus panutan justru memberikan contoh perilaku di luar nalar.
Memang bukan masalah baru, kasus-kasus asusila semacam ini seolah sudah menjadi makanan keseharian berita-berita di Indonesia. Namun, justru karena itulah Indonesia harus bersikap waspada. Jika di suatu tempat terdapat seribu orang, 900 di antaranya melakukan kesalahan yang sama dengan jangka waktu berulang, maka besar kemungkinan, kesalahan ada pada sistem yang sedang dijalankan. Jika di suatu tempat terdapat seribu orang, satu di antaranya melakukan kesalahan, maka bisa dipastikan itu adalah kesalahan individu.
Kasus prostitusi yang terkuak di Indonesia memang tidak mencapai 90% dari total penduduk Indonesia. Masih banyak rakyat Indonesia yang tertanam di dalam jiwanya norma dalam bersosial, baik itu didasarkan karena pemahamannya tentang budaya timur maupun atas dasar spiritual (keagamaan). Apalagi dengan sedang naik daunnya tren hijrah di Indonesia.
Namun, bagaimana pun juga, sudah tak terhitung jumlah prostitusi yang terjadi. Belum lagi yang tidak terkuak di khalayak ramai. Lebih memprihatinkan lagi, kasus-kasus ini rata-rata dilakukan oleh masyarakat usia produktif.
Banyak pihak yang menyebutkan bahwa Indonesia dalam waktu dekat segera mendapatkan bonus demografi yang akan dimulai tahun 2020 dan kemungkinan berada di puncaknya tahun 2030. Bonus demografi adalah kondisi dimana masyarakat usia produktif lebih banyak dibandingkan usia non produktif.
Hal ini bermakna, rentang tahun terjadinya bonus demografi adalah masa dimana Indonesia bisa bangkit dari keterpurukannya baik secara ekonomi, sosial, dll jika mampu memanfaatkan SDM usia produktif ini dengan baik dan benar.
Memang benar, Indonesia tidak diam saja dalam menyambut kedatangan bonus demografi. Segala macam hal telah disiapkan, salah satunya adalah ekonomi kreatif yang sedang digencarkan pada kalangan pemuda dengan dalih agar pemuda tidak kalah bersaing dalam menghadapi globalisasi dan bonus demografi.
Akan tetapi ada hal yang harusnya tak boleh luput dari pandangan dalam menyiapkan generasi Indonesia untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik, yakni moral anak bangsa yang telah banyak terkikis.
Permasalahan prostitusi ini misalnya, ia bukan lagi masalah individual diri yang sedang butuh dana tambahan lebih atau ikut-ikutan tren teman-temannya dalam bergaul. Namun, lebih dari itu, ini sudah menjadi masalah sistemik.
Salah satu penyebab para artis mau menjajakan dirinya adalah karena faktor tekanan lingkungan. Lingkungan yang mengharapkan ia selalu tampil sempurna di depan publik dan mengalahkan pesaing-pesaing artis lain membuat mereka harus merelakan sekian banyak rupiahnya untuk merawat diri dan membeli barang branded terkini. Tren menunjukkan eksistensi diri yang terus didorong oleh lingkungan dan sosial media membuat banyak anak muda merasa bangga jika ia menjadi artis, dikenal publik, hingga diidolakan fans setanah air.
Standar kebahagiaan semacam ini merupakan contoh aplikasi riil dari standart kebahagiaan paham kapitalisme, liberalisme, dan hedonisme. Generasi muda Indonesia banyak yang baik secara sadar atau tidak telah menjadikan paham kapitalisme liberal serta hedonisme ini sebagai gaya hidup mereka.
Kapitalisme menganggap bahwa kebahagiaan hanya bisa diperoleh dengan memiliki banyak harta, sedangkan liberalisme menganggap bahwa segala macam perilaku manusia adalah hak asasi diri sendiri, tidak berhak bagi orang lain untuk mencampuri urusan pribadi mereka walau itu demi kebaikan mereka sendiri. Dua paham ini menghasilkan sikap hedon (hanya berfokus pada mendapatkan kesenangan pribadi) bagi anak bangsa. Tak lagi terpikir mengurusi masalah negeri, yang penting diri bisa happy.
Penting mendesak bagi Indonesia untuk melakukan penangkalan terhadap paham kapitalisme liberal. Generasi muda harus segera dipahamkan terkait bahaya paham ini agar mereka yang telah terjangkiti segera sadar dan berubah. Jika perubahan mendasar ini terjadi, Indonesia bisa memanfaatkan bonus demografi dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin.[MO/sr]