Suro Kunto
(Koordinator SPBRS)
Kinerja pemerintah Joko-JK sedang disorot, persentase peningkatan upah minimum buruh di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus menurun setiap tahunnya. Hal ini terjadi akibat penetapan upah minimum diserahkan kepada mekanisme pasar, yang disesuaikan dengan inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi.
Kontan buruh mendesak mekanisme penetapan upah dikembalikan pada survei harga (KHL) dan perundingan di Dewan Pengupahan sesuai UU 13 Tahun 2003. Pemerintah membiarkan mekanisme pasar mendominasi hubungan ketenagakerjaaan melalui PP Pengupahan 78 Tahun 2015 dan menutup mata pada praktek kontrak kerja.
dalam sistem kapitalisme ada segudang problem perburuhan, problem gaji adalah problem laten. Problem perburuhan ini sebenarnya terjadi dipicu oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost terendah. Dan Islam punya solusi, dalam menentukan standar gaji buruh, standar yang digunakan oleh Islam adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh di pasar, bukan living cost terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat.
Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara’)-lah yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.
Dengan demikian, negara tidak perlu menetapkan UMR (upah minimum regional). Bahkan, penetapan seperti ini tidak diperbolehkan, dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa.
Mengenai hak berserikat bagi buruh, maka hak ini tidak dinafikan oleh Islam. Mereka boleh berkumpul, baik dengan sesama buruh, maupun buruh dengan para majikan. Hanya saja, diperbolehkannya hak berserikat ini tidak berarti Islam membolehkan para buruh tersebut membentuk serikat pekerja. Karena ini merupakan dua hal yang berbeda.
Berkumpul adalah hak yang dijamin oleh syariah. Namun, membentuk serikat pekerja yang mengurusi kesejahteraan buruh, dan sebagainya merupakan aktivitas ri’ayatu as-syu’un yang hanya boleh dilakukan oleh negara. Karena itu, hak membentuk serikat pekerja yang melakukan ri’ayatu as-syu’un tidak diberikan kepada yang lain, selain kepada negara. Karena negaralah yang bertanggungjawab terhadap kewajiban ri’ayatu as-syu’un ini, baik dalam perkara parsial maupun menyeluruh.
Mengenai hak mogok kerja, pada dasarnya hak ini tidak ada dalam Islam. Karena kontrak kerja buruh ini merupakan akad ijarah, dan akad ijarah ini merupakan akad yang mengikat, bukan akad suka rela yang bisa dibatalkan sepihak dengan seenaknya.
Tentang dana pensiun, penghargaan dan kompensasi yang diberikan kepada para buruh, pada dasarnya ini merupakan bentuk tambal sulam sistem Kapitalis untuk memenuhi kebutuhan kaum buruh yang dianggap tidak mampu. Hanya saja, upaya ini telah menghilangkan kewajiban negara untuk memberikan jaminan kepada rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya. Karena kewajiban ini merupakan kewajiban negara. Bukan kewajiban majikan atau perusahaan.
Dengan demikian, berbagai solusi yang dilakukan oleh sistem Kapitalis ini pada dasarnya bukanlah solusi. Tetapi, sekadar “obat penghilang rasa sakit”. Penyakitnya sendiri tidak hilang, apalagi sembuh. Karena sumber penyakitnya tidak pernah diselesaikan. Karena itu, masalah perburuhan ini selalu muncul dan muncul, karena tidak pernah diselesaikan.
from Pojok Aktivis