Oleh: Mahrita Julia Hapsari, M.Pd
(Praktisi Pendidikan)
Mediaoposisi.com-Setiap hari kita disuguhi oleh peristiwa yang sangat menyesakkan dada. Ketidakadilan teramat transparan ditampilkan oleh para penegak hukum negeri ini. Sepertinya, keadilan bukan lagi milik semua orang, hukum tak lagi netral.
Saat ini, neraca keadilan tak lagi seimbang, telah di genggam oleh sekelompok orang. Sekelompok orang yang haus akan kekuasaan namun tak memiliki ilmu kepemimpinan.
Hari senin tanggal 28 Januari 2019, seorang musisi kharismatik yang sangat fenomenal di setiap karyanya telah di jeblokskan ke dalam penjara. Tersebab cuitannya yang menyinggung penista agama. Saat itu, si penista agama mencalonkan diri menjadi gubernur DKI.
Ketika si penista agama dengan pongah menyebutkan “jangan mau dibohongi pakai Al-Maidah ayat 51”, seketika itu pula segenap pendukungnya berusaha sekuat tenaga melindungi dan menghindarkannya dari jerat pasal penistaan agama dan ujaran kebencian.
Dan justru seorang Buni Yani yang di jerat dengan vonis UU ITE karena menyebarkan pertama kali video si penista agama. Dan buntutnya, sang musisi, Ahmad Dhani, vokalis Dewa19, pun merasakan dinginnya sel penjara. Mari berpikir sehat, yang salah itu siapa? Apakah yang membela agamanya saat dinista itu salah?
Beberapa waktu lalu, ada komika yang juga menista agama Islam. Lawakan yang tak lucu itu telah menyinggung hati ummat muslim. Sebelumnya, ada seorang Ibu bangsa yang dengan puisi tak sopannya telah menista syariat Islam.
Si ibu bangsa menyebutkan bahwa kidung lebih merdu dari azan, konde lebih indah dari cadar. Sebelum si Ibu bangsa, ada seorang aktivis partai yang sekarang menjabat sebagai gubernur, dengan pongahnya menuduh partai-partai Islam sebagai pendukung ide Khilafah. Khilafah adalah ajaran Islam yang agung.
Namun dengan penuh kebencian, tanpa didasari bukti yang kuat, dia tuduh khilafah berpotensi menghancurkan NKRI. Sudah banyak yang melaporkan manuver penistaan mereka, namun hingga sekarang tak ada proses kelanjutannya. Kemana condongnya neraca keadilan?
Ketika sekelompok orang membakar bendera tauhid, seperangkat alat rezim bergegas membela si pembakar. Meskipun akhirnya si pembakar bendera tauhid divonis 10 hari penjara dan denda 2.000 rupiah.
Sungguh vonis yang tak setimpal dengan perbuatannya. Padahal kalimat tauhid lebih berat timbangannya di sisi Allah dibandingkan dunia dan seisinya.
Terbaru, sebuah masjid di Jogja telah diserang oleh sekelompok pemuda pendukung partai pemenang pemilu. Kasus pun dinyatakan selesai oleh aparat dengan surat bermaterai, sementara pemilik akun yang menyebutkan nama partai perusak masjid justru dipolisikan. Kemana condongnya neraca keadilan?
Di tengah hiruk pikuk pembakaran bendera tauhid, justru seorang pegiat sosmed, yang mengaku ustadz, teriak-teriak menunjuk bendera tauhid sebagai bendera teroris. Di tempat yang lain, seorang politikus partai anyar, menyebut peserta aksi 212 dengan jama’ah monaslimin dan menistakan Islam, padahal dia muslim.
Seorang aktivis yang separtai dengannya, yang berbeda agama, pun dengan lantang menuduh perda syariah berpotensi menyebabkan diskriminasi. Terbaru, spanduk provokatif yang mereka letakkan di depan sebuah sekolah, berisi mendukung LGBT.
Mereka menampakkan kebencian pada agama rakyat yang justru mayoritas mutlak di negeri ini. Dan tak ada satupun proses hukum dilakukan pada mereka, meskipun sudah ada yang melaporkan. Kemana condongnya neraca keadilan?
Adalah ustadz Abu Bakar Ba’asyir yang sudah sepuh, sudah menjalani 2/3 masa tahanan, sisa hukumannya pun hanya tinggal 1 tahun lebih. Bahkan beliau ditahan pun dengan tuduhan yang tak jelas. Jahatnya rezim, justru memberi opsi pembebasan bersyarat.
Sebuah syarat yang dengan pasti tak mungkin bisa beliau lakukan. Sementara di lain pihak, negara justru memberikan remisi 77 bulan pada seorang koruptor, bos Bank Century, yang telah menghabiskan uang negara. Kemana condongnya neraca keadilan?
Ketika seorang santri menghina presiden, proses hukum pun dengan cepat dilakukan. Sementara, ketika seorang anak cukong dengan bangga mengaku bahwa presiden adalah babunya, dianggap sebagai kenakalan remaja, dan tak ada proses hukumnya. Kemana condongnya neraca keadilan?
Itu hanya sebagian dari ketidakadilan yang mewujud nyata di negeri ini. Mengapa neraca keadilan seakan tak pernah seimbang? Sampai kapan kita berada pada kondisi tak menentu ini? Akankah kita berdiam diri saja melihat ketidakadilan ini? Mari kita jawab satu persatu pertanyaan tersebut.
Neraca keadilan takkan pernah seimbang selama hukumnya seperti ini. Hukum yang memang sudah salah, telah membuat neraca keadilan condong kepada rezim, penista agama, dan pendukungnya. Keadilan tak pernah direguk oleh para pembela Islam dan oposisi.
Ibarat pabrik neraca, hukum ini telah memproduksi neraca yang cacat. Mengapa bisa salah? Karena hukum yang ada saat ini adalah buatan manusia.
Sedangkan manusia memiliki keterbatasan dan kelemahan dalam menentukan baik-buruk dan benar-salah. Akhirnya, hukum yang dihasilkan pun tak pernah mampu menyelesaikan masalah dan memuaskan rasa keadilan bagi semua manusia.
Sistem demokrasi kapitalisme telah mendaulat manusia untuk membuat hukum-hukum yang mengatur kehidupannya. Sementara agama hanya diletakkan di masjid dan ujung sajadah. Produk hukum yang tak pernah memuaskan rasa keadilan ini pun dijalankan oleh manusia yang krisis keimanan.
Akibatnya, hukum pun tumpul kepada rezim pembuat hukum beserta pendukungnya, dan tajam kepada lawannya. Lihatlah betapa ringannya vonis hukum bagi si penista agama dan pembakar bendera tauhid, tak sebanding dengan perbuatannya.
Ketidakseimbangan neraca keadilan ini akan terus berlangsung selama kita masih mau diatur oleh sistem demokrasi kapitalisme.
Padahal, sistem ini telah mentransformasi manusia menjadi binatang dan mengubah negeri bagaikan hutan rimba. Maka berlakulah hukum rimba, yang kuat yaitu penguasa dan pengusaha, akan memakan yang lemah yaitu rakyat jelata.
Tentu kita tak menginginkan keadaan ini terus berlangsung. Untuk itu, kita harus mencari sistem yang bisa mengembalikan derajat manusia menjadi manusia seutuhnya, tak lagi bertransformasi menjadi binatang. Sistem itu semestinya sudah teruji dan hukum yang diberlakukan pun bukan buatan manusia.
Adalah sistem Islam, yang hukumnya bersumber dari Sang Maha Pencipta dan Maha Pengatur manusia beserta alam semesta. Sistem ini telah teruji selama 14 abad, sejak Rasulullah saw hijrah ke Madinah hingga diruntuhkan oleh seorang agen Inggris pengkhianat Islam keturunan Yahudi pada tahun 1924 Masehi. Sepanjang masa itu, keadilan sangat mudah didapatkan, bahkan oleh rakyat kecil sekalipun.
Di masa Khalifah Umar bin Khattab, ada seorang gubernur Mesir yang menggusur rumah dan tanah seorang Yahudi, untuk pembangunan masjid. Amr bin Ash, sang gubernur Mesir, sebenarnya telah menawar tanah dan rumah si Yahudi dengan harga sangat tinggi.
Namun yahudi tadi menolaknya, hingga terpaksalah Amr bin Ash menggusurnya. Yahudi tadi mengadu pada Khalifah Umar. Umar pun memperingatkan Amr bin Ash dengan sebuah tulang yang di gores garis lurus.
Demi melihat tulang itu, Amr bin Ash pun segera meruntuhkan masjid dan mengembalikan rumah dan tanah si Yahudi. Dengan terkagum-kagum, Yahudi itu pun bersyahadat, melihat betapa adilnya hukum Islam.
Satu lagi kisah nyata yang menkjubkan dalam keadilan sistem Islam. Siapa yang tak tau Sultan Muhammad Al-Faatih, sang penakluk Konstantinopel. Di masa beliau, seorang insinyur Romawi, Epsalanti, mengadu kepada hakim agar menghukum sang Khalifah. Epsalanti telah dipotong tangannya oleh sang Khalifah karena memasang tiang masjid tak sesuai permintaan beliau.
Dengan tegas, hakim pun memvonis hukum qishash pada sang Sultan, yaitu dipotong juga tangan beliau. Epsalanti pun terkejut luar biasa, bagaimana mungkin seorang hakim bisa setegas itu kepada seorang Sultan yang telah mengangkatnya menjadi hakim.
Epsalanti sebenarnya tak mengharapkan hukum potong tangan bagi Sultan. Dia hanya mengharapkan bayaran sebesar 10 dinar setiap bulannya untuk ganti tangannya yang dipotong. Hakim pun mengabulkannya. Sultan lalu memutuskan untuk membayar 20 dinar setiap hari sepanjang hidupnya si insinyur.
Demikianlah sistem peradilan Islam. Sungguh, keadilannya takkan bisa dikalahkan oleh sistem apapun di dunia ini. Keadilan yang memuaskan akal dan menentramkan jiwa. Keadilan yang menempatkan semua manusia sama di hadapan hukum Allah.
Sebagaimana sabda Rasulullah: “...Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya” (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no. 1688).[MO/ad]