Oleh : Mila Ummu Nadhira
Apalagi kalau bukan soal kemakmuran yang diklaim sudah bisa diciptakan oleh rezim petahana. Nah! Walau pun saya terus terang tak setuju, mengaitkan perilaku “suka jajan” sampai mau mengeluarkan 80 juta untuk sekali booking, lalu diartikan bahwa masyarakat Indonesia sudah makmur. Sungguh ini logikanya di mana? Silakan dijawab sendiri.
Untuk yang sudah ditetapkan sebagai “korban” sehingga dilepas pihak kepolisian karena tak ada pasal KUHP yang bisa menjeratnya, atau terhadap mucikari yang memasarkan via online (tirto.id, 07/01/2019)
Sempat terbersit: apakah cari rezeki halal sudah sedemikian sulit sehingga rela melakukan apapun untuk sesuap nasi dan sebongkah berlian? Walaupun sang “korban” itu sudah mengaku khilaf dan meminta maaf kepada seluruh bangsa Indonesia, tetap saja pertanyaan itu ada di kepala saya.
Apalagi pas baca status seseorang yang seolah membandingkan “harga” seorang istri dibanding figur ini dengan pertanyaan “nyakitin”, “ Lalu, yang sebenarnya murahan itu siapa?” Tambah geleng-geleng kepala rasanya, kenapa logika orang-orang ini makin “terjun bebas” saja?
Sistem Kapitalis dan Gaya Hidup
Di era kekinian, life style masyarakat kadang terlihat ajaib. Banyak orang rela melakukan apapun demi terlihat glamour.
Untuk sebuah tas branded atau baju dari perancang ternama, mereka “tega” mengeluarkan uang ratusan juta rupiah.
Padahal faktanya modal tu tas dan baju bisa jadi tak se-fantastis harga yang dibandrol. Tapi ya tetep aja diburu para sosialita di negeri ini. Sekarang kayaknya orang tak mementingkan fungsi kah?
Di sisi lain, tak bisa dipungkiri di negri ini tak semua orang bisa memenuhi kebutuhan pokoknya setiap hari. Bahkan tak sedikit yang jadi pengemis, atau mengais-ngais sampah mencoba mencari peruntungan siapa tau ada yang bisa dikilo di pengumpul barang rongsokan untuk didaur ulang. Itu yang halal.
Nah yang menabrak soal ini salah satunya ya seperti kasus yang lagi hit barusan. Mereka rela menjual kehormatan dengan terjun ke bisnis haram prostitusi. Baik sebagai mucikari atau “anak binaan”nya. Baik penikmatnya adalah buaya darat maupun buaya daring (memangnya ada?).
Memang perekonomian kian terpuruk, sejak negri ini menerapkan ekonomi libera. Rasanya betul-betul tak menentu. Harga sembako makin menggila. Lebih sering naik, dan “males” betul turunnya. Emak-emak yang sering ke pasar tau lah kondisinya.
Padahal hidup bukan cuma perlu makan kan? Tentu kebayang, kehidupan yang semakin sulit bisa saja berdampak ke semua kalangan.
Termasuk kaum perempuan yang lemah imannya. Bisa jadi ada yang terpaksa bermaksiat untuk melanjutkan hidup, tapi tak sedikit pula yang memang sudah terbiasa menggunakan cara-cara instan dalam “menjemput” rezeki. Apalagi kalau bukan menggunakan modal kemolekan jasmani. Astaghfirullah.
Sedihnya, sistem ini telah membuat yang muslim pun terbawa arus kuat gaya hidup liberal-hedonis. Nilai halal-haram menjadi tak penting, termasuk pada perkara rezeki. Tak peduli bagaimana cara mendapatkannya.
Pandangan tentang rezeki adalah “pemberian” dari Allah dan adanya jaminan dari-Nya atas setiap makhluk, tetiba terkikis atau minimal diragukan ketika berhadapan dengan realita betapa sulit kenyataan hidup hari ini.
Padahal Allah Swt telah berfirman :
“Dan tidak ada satupun makhluk yang berjalan di muka bumi melainkan Allah-lah yang memberi rizkinya” (TQS Huud: 6).
“ Dan makanlah dari apa yang Allah rizkikan kepada kamu yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu imani itu” (TQS. Al-Maidah : 88).
“Allah Maha Lembut kepada hamba-hamba-Nya, Dia memberi rizki kepada siapa yang Dia kehendaki” ( TQS. Asy-Syura : 19).
Ayat di atas dan banyak lagi ayat-ayat senada yang menunjukkan kepada satu pengertian bahwa Allah-lah pemberi rezeki (ar-Razaq).
Dia memberi rezeki kepada siapa dan kadar yang sudah Allah tentukan. Baik dia berakal maupun tidak, baik dia beriman (Islam) maupun tidak. Ini perkara yang wajib diimani.
Dalam sistem yang tidak Islamy, jaminan Allah terkait rezeki seolah tak bisa dibuktikan. Karena fakta di depan mata menunjukkan betapa sulit mengaisnya. Bahkan sampai-sampai muncul statement: “Yang haram aja susah, apalagi yang halal.” Duh.
Bekerja, Tak pasrah Menunggu
Dalam sistem Islam, negara wajib melakukan riayah (pelayanan) pada masyarakat agar tercukupi kebutuhannya, sejahtera hidupnya. Negara harus memanfaatkan seluruh pemberian Allah berupa sumber daya alam untuk kepentingan masyarakat dan tidak boleh melakukan swastanisasi.
Pengurusan harta-harta kekayaan milik umat harus sesuai dengan syariat Islam.
Sabda Nabi SAW telah menyebutkan, bahwa “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang dan api.” [HR Ahmad].
Karenanya sumber daya alam -yang merupakan rezeki yang berlimpah yang sudah diberikan Allah- menjadi milik umum. Bukan malah dikuasai negara dan apalagi untuk “dijual” kepada investor asing dan aseng. Sebagaimana di negri kita saat ini.
Demikian juga, Islam mengatur kepemilikan negara, berupa harta dari ghanimah, jizyah, kharaj, dharibah, harta orang yang tak punya ahli waris dll. Negara akan menggunakan semua itu untuk optimal dalam menjamin kebutuhan rakyatnya.
Baik mekanisme penjaminan negara secara langsung (pendidikan, kesehatan, keamanan, dll), atau penjaminan kebutuhan melalui mekanisme kewajiban penafkahan yang dibebankan kepada para wali (suami, ayah atau saudara laki-laki).
Dibarengi juga dengan membuka lapangan kerja yang luas bagi para penanggung nafkah ini, maka problem kesejahteraan mampu dituntaskan dengan mekanisme yang sudah diatur sangat detil dalam Islam.
Dari sini nampak bahwa keimanan kaum muslimin bahwa rezeki semata-mata berasal dari Allah, tak membuat mereka pasrah menunggu rezeki turun dari langit.
Islam juga mengatur mekanisme kepemilikan harta bagi individu salah satunya dengan sebab bekerja.
“ Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalan-lah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizqi-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”(TQS. Al-Mulk ; 15).
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah...” (TQS. Al-Jumuah : 10).
“Sesungguhnya Allah Ta'ala senang melihat hambaNya bersusah payah (lelah) dalam mencari rezeki yang halal. “ (HR. Ad-Dailami)
Bekerja untuk “menjemput” rezeki pemberian Allah adalah bentuk ibadah seorang mukmin kepada Sang Pemberi Rezeki. Bahkan Rasulullah bersabda :“ Pedagang yang jujur lagi terpercaya, kelak akan bersama-sama para Nabi, dan orang-orang yang jujur serta para syuhada.” Maasya Allah.
Ingat, dengan catatan menjemputnya harus dengan cara yang halal.
Karena sebenarnya dikejar dengan cara yang halal dan haram, rezeki kita tak akan berubah. Kok bisa? Karena Allah telah tetapkan takdir manusia ketika ia masih di perut ibunya.
Rasulullah Saw bersabda : “ Kemudian diutuslah malaikat untuk meniupkan ruh ke dalamnya (rahim ibu) dan diperintahkan pula untuk mencatat empat kalimat.
Maka malaikat itu menulis tentang rizkinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan celaka atau bahagianya...” (HR. Bukhari dan Muslim).
Firman Allah Swt : “ Allah meluaskan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia. Padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (TQS. ar-Ra’ad:26).
Melihat kasus prostitusi online (termasuk mata pencaharian melanggar syariat yang lain seperti mengambil riba, pencuri, dsb).
Andai mereka tahu bahwa sama saja kadar rezeki kita -baik diraih dengan yang halal atau yang haram- tentu sangat merugi jika menjemputnya dengan cara yang bertentangan dengan syariat. Selain dosa, tentu rezeki atau hasil yang dinikmatinya ini jauh dari keberkahan. Na’udzubillah.
Di sisi lain, tak ada hukum yang tegas terkait prilaku yang bejat dalam bekerja, justru merusak masyarakat. Lihat saja prilaku zina dan riba yang merebak. Bahkan sangat dimaklumi dan bebas tanpa sanksi.
Cuma mucikari dan rentenir yang dianggap pidana, karena merugikan. Kalau tidak berdampak kerugian, atau tak ada aduan, tak bisa masuk ranah kriminal. Sehingga kasus-kasus serupa terus terjadi, berulang kali.
Kembali pada Hukum Allah
Sesulit apapun kondisi hari ini, berpegang teguh kepada syariat dan selalu bersandar kepada Alah (tawakal) akan membuka jalan-jalan keluar bagi segala kesulitan. Mengambil jalan instan dan sesat hanya akan merugi di dunia dan di akhirat.
Selebihnya, memperbaiki kondisi masyarakat agar berubah untuk menerapkan Islam kaffah sebagai sistem hidup formal adalah kebutuhan yang sangat mendesak.
Karena tanpanya kemaksiatan akan tumbuh subur, bahkan mereduksi keimanan kaum muslimin. Menyeretnya pada gaya hidup di luar Islam.
Ini sangat mengkhawatirkan. Dengan Islam bukan hanya penerapan sanksi tegas bagi para pelaku maksiat bisa diterapkan, tanpa pandang kerugian apa yang dihasilkan.
Juga seluruh kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi dengan baik, dengan cara yang bersih. Menutup semua pintu kerusakan (atau jebakan pola hidup salah) yang menjauhkan masyarakat dari keberkahan hidup.
Semoga kesadaran umat Islam makin menguat terhadap solusi Islam Kaffah, dengan dakwah pemikiran yang genjar.[MO/AD]