
Oleh : Ummu Himmah
Mediaoposisi.com-Pucuk dicinta ulam tiba. Bagaikan mendapat angin segar, apa yang diinginkannya telah menemukan momen untuk mendapatkannya. Sudah sejak lama diperjuangkan dan waktunya digolkan. Begitulah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini mendapatkan kembali perhatian publik.
Mencuatnya kasus prostitusi online beberapa waktu yang lalu yang hanya menyeret mucikari sebagai tersangka, meninggalkan pelaku dan pelanggan pada posisi aman karena tidak adanya sanksi yang menjerat pelanggan. Juga kasus pelecehan seksual yang dialami Baiq Nuril yang dikenai delik UU ITE atau pemerkosaan saat KKN yang menimpa mahasiswi salah satu PTN baru terungkap setelah sekian lama karena ketidak beranian korban, dan pelecehan seksual lainnya. Merupakan fenomena pucuk gunung es dari darurat seksual yang dinilai oleh publik sangat buruk penanganannya, sehingga korban tidak mendapatkan akses kebenaran, keadilan dan pemulihan. Meski ada UU Penghapusan KDRT No. 23 Tahun 2004 mendorong korban untuk berani bicara, namun tidak mengatur secara khusus penanganan darurat seksual.
Sejak 2014, Komnas Perempuan telah menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual. Lembaga itu mencatat pada 2014, ada 4.475 kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak perempuan. Angka tersebut meningkat pada 2015 menjadi 6.499 kasus dan di 2016 menjadi 5.785 kasus.(Tempo.co 29/1/2019)
Data ini sempat digunakan untuk mendesak pengesahan RUU PKS ini waktu itu, namun mandek. Hingga mencuatlah kasus-kasus diatas menjadi tambahan alasan untuk disegerakannya pengesahan RUU ini.
Ada delapan bentuk kekerasan seksual yang diatur di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual versi Komnas Perempuan. Adapun bentuknya adalah pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan prostitusi, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual.
Selain itu, di dalam draf RUU itu juga diatur mengenai sistem pemidanaan bagi para pelaku. Pidana pokok yang bisa dijerat tidak hanya berupa kurungan, tetapi juga meliputi rehabilitasi khusus bagi pelaku yang masih anak-anak, dan restitusi terhadap korban. Pidana kurungan maksimal yang diatur adalah 40 tahun, dan hukuman seumur hidup bagi pemerkosaan dengan pemberatan jika dilakukan kepada anak-anak, wanita hamil, atau penyandang disabilitas.
Sementara itu, pidana tambahan mencakup pembatasan ruang gerak pelaku agar tidak mendekati korban yang diadopsi dari ketentuan dalam UU PKDRT, kerja sosial, pencabutan hak politik, pengumuman keputusan hakim, dan sanksi administratif.
Yang menjadi pertanyaan berikutnya apakah dengan diketoknya palu RUU menjadi UU maka kekerasan seksual bisa hilang atau minimal berkurang? Kalau dilihat isinya yang secara eksplisit menggambarkan adanya upaya pelegalan pergaulan bebas, penjegalan pernikahan usia dini, pelegalan prostitusi bahkan pelacuran dan penyimpangan seksual.
RUU tersebut secara gamblang menyatakan bahwa free seks legal ketika dilakukan dengan pasangan setia meski belum menikah karena dilandasi saling rela bukan perkosaan dan pemaksaan. Ketika terjadi kehamilan yang tidak diinginkan, boleh untuk diaborsi asal dilakukan oleh petugas medis dan tidak ada paksaan.Pelacuran menjadi boleh ketika dilakukan tanpa paksaan dan kekerasan. Pornoaksi selana tak dipaksa dan bahkan legal bagi e76ib1t1. Sebagaimana yang disampaikan Intinya yang disorot adalah masalah kekerasan seksualnya bukan pada aktivitas seksual itu sendiri. Yang ini semua berdampak pada terjadinya gejolak sosial, penyakit di masyarakat seperti degradasi moral, penyakit kelamin, AIDS, brokenhome, kriminalitas, dan lain-lain.
Sejujurnya RUU ini tak dilengkapi tindakan pencegahannya. Padahal pencegahan itulah intinya agar tidak terjadi kekerasan seksual. Maka bisa dipastikan RUU ini adalah upaya liberalisasi hukum islam --penghancuran keluarga muslim bahkan penghapusan hukum islam. Upaya pencegahan yang seharusnya dilakukan adalah sebagai berikut :
Sebagai Individu yang bertakwa
Islam mendudukkan laki-laki dan perempuan sama dihadapan Alloh Ta'ala dalam ketaatannya terhadap hukum syara'. Islam memuliakan wanita dengan syariah menutup aurat secara sempurna, dengan berkerudung dan berjilbab sebagai bagian dari penjagaan atas kehormatannya. Adanya larangan berduaan dan bercampurbaur antara laki dan perempuan. Anjuran untuk menikah bagi pemuda di usia produktif / tidak dibatasi usia -sudah baligh. Senantiasa menjaga diri agar selalu dalam suasana keimanan kepada Alloh Ta'ala.
Kontrol Sosial di tengah Masyarakat
Adanya budaya untuk saling mengingatkan, agar kondisi masyarakat kondusif dan mendukung individu muslim bertakwa kepada Alloh Ta'ala. Aturan yang digunakan berdasarkan syariah islam, sehingga terjadinya kelalaian yang dilakukan oleh individu akan dikembalikan kepada syara' bukan kehendak bersama. Jadi standar perbuatannya adalah halal haram saja. Dan masyarakat ini terbentuk dari individu-individu bertakwa.
Peran serta Negara
Negara sebagai pengayom rakyat baik muslim atau non muslim melegislasi peraturan berdasarkan syariat islam. Negara menutup celah untuk terjadinya kemaksiatan baik melalui media sosial atau tempat-tempat yang bisa menjadi sarana kemaksiatan seperti cafe dan sejenisnya. Negara menjamin kesejahteraan rakyatnya dengan difasilitasi untuk bisa memenuhi kebutuhan pokok dan tambahan melalui lapangan pekerjaan bagi lelaki penanggung nafkah. Negara mempermudah akses pendidikan bagi semua rakyat untuk meningkatkan mutu SDM dan mencetak generasi robbani.
Negara memberikan jaminan keamanan jiwa dan harta rakyatnya dengan diterapkannya hukum yang adil di tengah masyarakat. Negara mengedukasi rakyatnya melalui departemen penerangannya agar rakyat terkondisikan selalu dalam suasana keimanan dan bersih dari pemikiran yang merusak seperti sekulerisme dan komunisme. Negara seperti ini tentunya negara yang berdiri berdasarkan alqur'an sunnah yaitu Khilafah. Yang akan segera berdiri kembali dalam waktu dekat.[MO/sr]