Oleh : Novia Darwati
(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
Mediaoposisi.com-Per tanggal 5 Januari 2019 BBM non subsidi Pertalite dan Pertamax dinyatakan turun oleh Pertamina.
Disebutkan bahwa hal ini terjadi dikarenakan adanya penurunan harga rata-rata minyak mentah dunia dan penguatan rupiah terhadap dolar.
Meski mengalami penurunan, namun angka penurunan tersebut berbeda-beda di tiap daerah karena dipengaruhi oleh besaran Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) di masing-masing daerah.
Isu penurunan harga BBM sebenarnya telah muncul pada November 2018. Namun Adiatma Sardjito selaku VP Corporate Communication Pertamina menjelaskan jika terjadi penurunan harga minyak dunia, penurunan harga minyak di Indonesia pasti akan dilakukan, akan tetapi butuh evaluasi terlebih dahulu sebelum benar-benar diturunkan.
Itu sebabnya, pada November 2018 meski isu penurunan harga BBM telah muncul, Pertamina belum berani memulai penurunan harga tersebut.
Kabar turunnya harga BBM non subsidi yang telah ditunggu-tunggu ini tentu membuat sejumlah kalangan bahagia. Betapa tidak, selama tahun 2018, pemerintah telah menaikkan harga BBM hingga 6 kali, yakni per tanggal 13 januari 2018, 20 januari 2018, 24 februari 2018, 24 maret 2018, 1 juli 2018, dan 10 oktober 2018.
Namun sayangnya, jika dihitung-hitung, harga BBM masih jauh dari harapan. Masih cukup mahal di kantong rakyat. BBM merupakan salah satu kebutuhan yang cukup krusial untuk dimiliki masyarakat.
Karena mahalnya harga BBM berdampak pada banyak hal. Ia bisa berdampak pada harga tarif angkutan umum, serta harga barang-barang kebutuhan pokok karena dalam pendistribusiannya juga membutuhkan alat transportasi.
Dan bisa dipastikan, naiknya besaran harga barang-barang kebutuhan pokok pasti akan berdampak pada daya beli masyarakat, jumlah orang miskin, pemenuhan gizi masyarakat, dll.
Hingga saat ini, walaupun Indonesia sedang mengalami penurunan harga BBM non subsidi, masih besar kemungkinan terjadi naik-turunnya harga BBM kembali.
Hal ini dikarenakan Indonesia dalam pengelolaan BBM nya tidak menjadikan kebutuhan masyarakat sebagai standart pengelolaan dan pendistribusiannya.
Pemerintah masih mengikuti arahan kepentingan-kepentingan pihak tertentu baik dalam negeri maupun asing sehingga tidak bisa independen.
Contoh saja, terkait dengan penghapusan subsidi BBM, ini salah satunya didasari atas perintah World Bank. World Bank sangat mengapresiasi keberanian Indonesia dalam mencabut subsidi.
Bagi World Bank, tindakan penghapusan subsidi adalah langkah yang baik. Jika Indonesia menuruti apa kata World Bank, maka kucuran dana hutang pun akan menjadi lebih mudah.
Padahal jika pengelolaan disandarkan atas kebutuhan rakyat, maka justru adanya subsidi atau penurunan harga BBM inilah yang dibutuhkan oleh rakyat, baik kalangan ekonomi atas, menengah, maupun bawah.
Di dalam Islam, migas dan SDA termasuk BBM merupakan milik umum. Pengelolaannya harus diserahkan kepada negara demi kesejahteraan rakyat. Ini bermakna, BBM akan diberikan dengan harga murah.
Statement ‘bisa mendapatkan BBM dengan harga murah jika menerapkan sistem Islam’ bukanlah isapan jempol belaka.
Sebab, di dalam sistem Islam, pengelolaan migas dan SDA wajib dilakukan oleh negara dan tidak boleh diserahkan pada asing.
Independen dengan kebijakan dalam negerinya sendiri. Rakyat tidak perlu sport jantung berulang kali saat tiba-tiba keesokan harinya tepat jam 00.00 BBM dinyatakan telah mengalami kenaikan harga.
Sistem Islam adalah sebuah sistem dari Yang Maha Pencipta, Dzat Yang Maha Mengetahui apa kebutuhan makhluq Nya.
Dengan diterapkannya sistem Islam di seluruh ranah kehidupan, keberkahan akan datang, rahmatan lil ‘alamin dari Islam pun akan muncul.[MO/AD]