Oleh Ana Sholikha
(Praktisi Pendidikan)
Mediaoposisi.com-Perhatian dunia saat ini tertuju pada Uighur. Terutama etnis Uighur yang tinggal di Provinsi Xianjing, Cina Barat. Bangsa keturunan klan Turki ini dulu menyebut daerahnya Uighuristan atau Turkestan Timur. Mereka telah tinggal di Uighuristan lebih dari 2.000 tahun. Waktu yang cukup lama itu menjadikan mereka bangsa yang punya peradaban khas.
Kini Uighur bukan lagi bangsa yang mandiri. Mereka telah menjadi entitas minoritas di negeri tirai bambu. Cina mengklaim daerah itu warisan sejarahnya. Namun, orang Uighur percaya bahwa fakta sejarah menunjukkan klaim Cina tersebut tidak berdasar. Cina juga sengaja menginterpretasikan sejarah secara salah, demi kepentingan ekspansi wilayahnya.
Ada alasan kuat mengapa Cina mati-matian memperjuangkan Uighuristan. Secara geografis, Uighuristan merupakan tanah subur 1.500 mil dari Beijing. Luasnya 1.6 juta km2, hampir 1/6 wilayah Cina.
Daerah yang saat ini lebih dikenal dengan Xinjiang ini merupakan provinsi terbesar di Cina. Perbatasan sebelah utaranya adalah Kazakstan. Mongolia perbatasan di timur laut, Kirghiztan dan Tajikistan di barat laut, dan Afghanistan-Pakistan di barat daya. Selain tanahnya yang subur, wilayah ini sangat strategis sebab menghubungkan beberapa negara di luar Cina. Ibarat mobil, Xianjing adalah bemper Cina untuk wilayah bagian Barat.
Pada tahun 1949, penduduk Xinjiang 96% dihuni klan Turki. Namun, sensus Cina terakhir menyebutkan kini hanya ada 7,2 juta Uighur dari 15 juta warga Xinjiang.
Itu artinya terjadi penurunan hampir separuh dibandingkan jumlah etnis Uighur pada tahun 1949. Selebihnya yang tinggal di Xianjing ialah etnis Kazakh (1 juta), Kyrgyz (150 ribu), dan Tatar (5 ribu). Meski demikian, para tokoh Uighur tetap percaya bahwa jumlah mereka di sana 15 juta. Selain itu, kini di Xinjiang tinggal juga etnis ras Asia: Han-Cina, Manhcu, Huis, dan Mongol.
Dari sisi fisik, ada perbedaan Orang Uighur dengan ras Cina-Han. Bangsa Uighur lebih mirip orang Eropa Kaukasus, sedang Han mirip orang Asia. Mereka telah mengembangkan kebudayan uniknya, sistem masyarakat dan banyak menyumbang dalam peradaban dunia.
Pada awal abad ke-20, ekspedisi keilmuan dan arkelogis di wilayah Jalur Sutra, menemukan peninggalan kuno bangsa Uighur berupa candi-candi, reruntuhan biara, lukisan dinding, buku dan dokumen. Sehingga, sebelum berada di bawah kekuasaan Cina, bangsa Uighur sudah membangun peradabannya tersendiri.
Dari sisi keyakinan, orang Uighur baru memeluk Islam sejak tahun 934, saat pemerintahan Satuk Bughra Khan, pengusaha Kharanid. Saat itu, 300 masjid megah dibangun di kota Kashgar. Kemudian Islam berkembang menjadi satu-satunya agama orang Uighur di Uighuristan. Padahal sebelumnya orang Uighur menganut Shamanian, Budha dan Manicheism. Kondisi ini tak lain karena dakwah Islam bisa diterima dengan baik oleh mereka.
Peradaban Uighur mendominasi Asia Tengah sepanjang 1.000 tahun. Bangsa ini hidup secara mandiri, tidak tunduk pada kekuasaan manapun. Baru pada tahun 1750 penguasa Manchu yang memerintah di Cina tahun 1644 - 1911 berhasil menguasai Uighuristan. Setelah itu kejayaan bangsa ini tinggallah cerita. Pesonanya kian pudar di bawah pimpinan negara yang tak sepemikiran dengan keyakinan bangsa Uighur.
Sebab dipimpin oleh negara yang berbeda pemikiran, sempat tertoreh dalam sejarah orang Uighur melakukan perlawanan. Ini tentu dilakukan bukan tanpa sebab. Seandainya Cina mampu merawat mereka dengan baik, tentu perlawanan itu tidak akan pernah terjadi.
Sebut saja usaha orang Uighur yang telah mendeklarasikan Turkestan Timur, sebuah negara berbasis syariah. Namun, usia Turkestan Timur tidak sampai tiga bulan. Cina berhasil menaklukkakan Uighur kembali di bawah pimpinan Panglima Ma Zhongyin. Dari sinilah label separatis mulai melekat pada etnis Uighur.
Dalam rangka menjaga stabilitas negara, salah satunya dari ancaman separatisme, Cina menerapkan berbagai macam strategi. Apalagi saat ini Cina dianggap sebagai pesaing utama dari hegemon Amerika Serikat.
Solusi yang diberikan untuk meredam gejolak di Xianjing adalah menjadikannya wilayah otonomi khusus. Sebagaimana juga yang diberikan kepada Tibet. Xianjing dan Tibet mendapat otonomi khusus karena latar belakang etnis yang mendominasi wilayah tersebut. Xianjing dengan etnis Uighur yang beragama Islam. Sedangkan Tibet dengan penduduk mayoritas pemeluk Budha.
Sayangnya pemberian status otonomi khusus di Xianjing terkesan setengah hati. Orang Uighur sebagai etnis asli di Xinjiang seringkali menerima perlakuan diskriminatif.
Perlakuan tidak adil itu terjadi dalam bidang agama, pekerjaan dan pemerintahan. Muslim Uighur acapkali menerima tuduhan sebagai teroris. Kebijakan – kebijakan yang kemudian diterapkan pemerintah Cina terhadap Xinjiang merupakan bentuk asimilasi paksa. Diantaranya kontrol terhadap kebebasan pengekspresian agama. Kebijakan ini tidak hanya ditujukan kepada mereka yang dianggap terpapar radikalisme, namun juga kepada siapa saja yang menampakkan keislamannya.
Adapun diskriminasi dalam bidang pekerjaan ditunjukkan dengan adanya migrasi etnis Han secara besar – besaran ke Xinjiang. Etnis Han mayoritas berada di wilayah utara yang modern dan daerah perkotaan.
Sementara etnis Uighur mayoritas berada di wilayah selatan dimana medannya lebih berat berupa daerah pegunungan serta gurun.
Perbedaan ini menimbulkan kecemburuan sosial. Sebab kehidupan ekonomi etnis Han, yang tergolong etnis pendatang, lebih layak daripada etnis Uighur yang merupakan etnis asli. Diskriminasi itu semakin lengkap dengan dominasi perpolitikan oleh etnis Han. Kondisi ini jelas tidak sehat, Uighur sebagai etnis dominan yang seharusnya berada dalam posisi tersebut.
Perkembangan terkini, diskriminasi sudah berubah menjadi penindasan. Sudah beredar secara viral di media sosial baik berupa gambar, video ataupun dokumentasi hasil wawancara dengan Muslim Uighur yang berhasil kabur.
Setiap muslim pun marah dan sedih mendengar kabar yang memilukan hati atas saudara seimannya di Xianjing. Namun, ada sebagian muslim yang hanya melihat kejadian ini bagian dari strategi Amerika Serikat untuk menciptakan permusuhan Islam terhadap Cina.
Disebabkan adanya perang dagang antara Amerika Serikat dengan Cina yang melatarbelakanginya. Dengan memblow up besar-besaran isu penyiksaan, pemerkosaan dan segala kekejian terhadap Muslim Uighur di kamp-kamp yang katanya tempat "pendidikan kembali" itu, Amerika Serikat berharap akan meraup keuntungan.
Analisis itu sebenarnya tidak salah, sebab faktanya memang demikian. Amerika Serikat sedang memanfaatkan kelengahan Cina atas tindakan pelanggaran hak asasi manusia kepada muslim Uighur.
Hanya saja, sungguh naif jika sebagai sesama muslim tak muncul rasa empati terhadap kekejian yang dilakukan kepada saudara seaqidahnya. Tak berani walau hanya sekadar mengecam sebab sudah termakan opini itu dilakukan demi menanggulangi gerakan separatisme.
Bagi yang termakan alibi pemerintahan Cina bahwa tindakan kekerasan itu untuk menangani separatisme dan ekstremisme beragama, sepatutnya untuk berpikir ulang. Bagaimana mungkin separatisme dilakukan oleh orang Uighur, sedangkan pintu keluar masuk ke Xinjiang selalu dijaga dengan ketat. Sehingga alasan menangani separatisme menjadi tidak masuk akal.
Sungguh Uighur bukan hanya pekerjaan rumah Cina yang belum tuntas. Tapi Uighur merupakan pekerjaan rumah umat muslim seluruh dunia.
Cukup sudah konsep sekat negara yang diciptakan oleh Barat meracuni pikiran kita. Sehingga saat ada saudara seiman yang ditindas, dengan mudah kita berdalih itu urusan dalam negeri negara lain, kita tidak perlu ikut campur. Seolah kita melupakan sabda Nabi Muhammad SAW. berikut:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” [HR. Muslim]
Saat ini semakin banyak kondisi kaum muslimin yang tertindas, sementara kaum muslimin yang lainnya tak berdaya. Hanya bisa mengecam dan mendo'akan tanpa mengirimkan bantuan bala tentara. Kondisi ini semoga makin menguatkan semangat juang bahwa Khilafah sebagai solusi mengatasi berbagai penindasan umat Islam. Berharap umat Islam terus tercerahkan untuk bersatu hidup mulia di bawah Panji Rasulullah. [MO/ge]