Oleh: Dwi Rahayuningsih, S.Si
Mediaoposisi.com-Gelombang aksi masa umat Islam di berbagai daerah terus berlangsung. Bendera hitam dan putih bertuliskan kalimat tauhid “Laa ilaha illallah” terus berkibar mengiringi aksi damai umat Islam. Pekikan takbir menggema mengiringi aksi, membakar semangat ribuan umat Islam yang berkumpul untuk memperjuangkan kesucian Islam yang ternoda.
Lagi. Simbol Islam dikriminalisasi. Bendera Islam dibakar oleh pemuda pada peringatan hari santri 22 Oktober 2018 lalu. Sontak hal ini menuai kecaman dari seluruh umat Islam di negeri ini, bahkan sampai luar negeri. Tak perlu menunggu lama, umat Islam yang digerakkan oleh satu kekuatan berduyun-duyun mendatangi sejumlah daerah untuk mengutuk dan menuntut keadilan atas perbuatan tersebut.
Sayangnya, hal ini tidak mendapat respon yang baik. Seperti menggarami lautan, aksi masa dengan jumlah ribuan yang berlangsung secara massif di banyak daerah seolah tak mampu mengusik singgasana peradilan di negeri ini. Bukannya diadili, para pelaku justru bebas. Sementara pembawa bendera yang akhirnya direbut dan dibakar justru menjadi pesakitan untuk dijebloskan dalam jeruji besi.
Dejavu. Seolah kondisi ini seperti kembali pada beberapa masa silam. Kala itu, Buniyani seorang penyebar video pelecehan al-Qur’an yang dilakukan oleh gubernur DKI diperkarakan. Sementara pelaku penista melenggang bebas tak tersentuh hukum. Baru setelah jutaan umat Islam menuntut, pelaku dibawa ke meja hijau. Itupun tak sepadan dengan apa yang telah dilakukannya.
Satu ayat dilecehkan, jutaan umat bergerak untuk membela. Semua datang berbondong-bondong menuju Jakarta untuk membela Islam. Tak ada yang membiayai mereka, bahkan mereka datang dengan biaya sendiri. Dengan menjual apapun yang dimiliki, mengorbankan segalanya demi berjuang untuk menegakkan keadilan. Aksi bela Islam ini berlangsung cukup lama, hingga beberapa jilid yang lebih dikenal dengan “aksi 212”. Apa yang membuat umat Islam rela berkorban demi membela Islam? jawabnya hanya satu, iman.
Namun, aksi umat Islam yang sekarang dikenal dengan “Aksi Bela Tauhid” diperkirakan akan lebih panjang jilidnya dibandingkan aksi bela Islam. Meski berbagai persekusi dialami oleh para peserta aksi, penghadangan, pemboikotan, serta penyerangan secara fisik tak menyurutkan langkah para pejuang ini untuk tetap bergerak menuju persatuan.
Jika kasus Ahok yang melecehkan al-Qur’an merupakan arogansi verbal, maka untuk pembakaran bendera Tauhid lebih dari sekedar arogansi verbal. Tapi sekaligus merupakan anarkisme fisik yang akan berefek lebih besar dibandingkan efek Ahok. Belum lagi para pembela banser yang terkesan menutupi dan melindungi pelaku. Mereka tetap ngotot dengan berbagai macam dalih bahwa yang dibakar bukanlah benddera Islam melainkan bendera HTI. Padahal jelas tidak ada tulisan HTI pada benera tersebut.
Mengapa umat Islam begitu marah dengan aksi yang dilakukan oleh banser tersebut? Karena kalimat
Tauhid adalah kalimat tertinggi yang diagungkan. Mengandung makna yang luar biasa. Bahkan umat
Islam rela mati demi menjaga dan membela kalimat Tauhid tersebut. Wajar jika kaum muslimin seluruh tanah air bahkan dunia marah melihat Tauhid dilecehkan. Kemarahan ini menggambarkan betapa besar keimanan mereka terhadap Allah.
“Simpul ikatan iman yang paling kuat adalah cinta karena Allah dan marah karena Allah.” (HR. Ahmad dan al-Hakim)
Sungguh, jika iman sudah menancap kuat dalam dada-dada kaum muslimin maka tak ada satupun yang dapat menggoyahkannya. Meski harus berhadapan dengan para penghianat yang bergandengan tangan dengan taghut. Tak ada yang ditakuti kecuali Allah swt. Karena mereka yakin, bahwa Allah selalu bersama orang yang beriman.
Jika demikian, wajarlah jika aksi bela Tauhid ini berlangsung secara massif. Karena ada kekuatan besar yang menggerakkannya. Itulah yang dinamakan “The power of iman”. Kekuatan iman yang mampu mengoyak segala ketidakmungkinan. Menembus bats ruang dan waktu untuk tetap berjuang membela kalimat suci “Laa ilaaha illallah muhammadarrasulullah”. Wallahu a’lam bish-shawab.[MO/dr]