Oleh:Fikri Maulana
Mediaoposisi.com- Hari Santri Nasional adalah hari dimana KH. Hasyiim Ashari menyerukan fatwa “Hubbul Wahton Minal Iman” yang membuat para Kyai dan santri bersatu padu melawan para penjajah. Pada Hari Santri Nasional ini, di daerah Garut terjadi kejadian yang amat memilukan, dimana bendera Tauhid dan ikat kepala di bakar oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.
Hal ini bisa memecah belah umat di tengah panasnya tahun politik ini dalam menghadapi pemilu dan pilpres 2019, dimana elektabilitas petahana di pertaruhkan yang bisa jatuh bila tidak menyelesaikan masalah ini dengan cepat dan dapat menimbulkan masalah lain.
Ini terjadi oleh adanya phobia yang di tanamkan oleh kelompok tertentu kepada kelompok lain yang dianggap dapat mengancam walaupun itu hanya sebagai perwujudan akibat suatu pemahaman yang dianut organisasi yang sudah di cabut badan hukumnya, dan hal ini menjalar pada hal yang tidak ada kaitannya dengan simbolisasi yang di pakai organisasi.
Oleh karena itu, kita harus mempelajari esensi dari simbol kalimat Tauhid dalam kehidupan sehari-hari bisa membuat kita lebih memaknai kegiatan semata-mata untuk beribadah kepada-Nya. Kita di doktrin oleh orang yang tidak bertanggungjawab yang menyatakan bendera Liwa dan Rayah adalah simbol HTI atau ISIS, padahal sudah jelas dalam beberapa hadist yang menjelaskan tentang bendera tersebut milik umat islam.
Pemerintah harus berkoordinasi dengan aparat dan juga ulama, untuk menangani kasus ini agar tidak menimbulkan kegaduhan diantara khalayak umum terutama di Garut yang menjadi tempat terjadinya kejadian itu, padahal belum berlarut kasus LGBT yang terjadi disana dan ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah dalam menata masyarakat.
Seharusnya oknum yang melakukan hal itu berpikir tentang akibat yang akan tejadi kedepannya, meski mereka phobia dengan simbolisasi itu harusnya bisa ditangani dengan cara bertabayyun (klarifikasi) atau juga dengan cara yang lebih beradab dan tidak sampai menggunakan cara primitif seperti itu.
Kita boleh menentang ideologi yang di bawakan suatu organisasi tapi kita juga harus beprinsip rasional, jika simbol yang mereka gunakan hanya semata pengimplementasian dari ideologi yang dianut oleh mereka, kita pun selaku masyarakat awam harus meyakini akan apa yang di jadikan simbol itu di bawa oleh Rasululloh Saw sebagai penyemangat dalam membela agama kita.
Peran pemerintah dalam menetralisir paradigma masyarakat yang meyakini bendera itu dapat mengancam kedaulatan NKRI harus diberikan penjelasan melalui para ulama di daerah setempat. Karena jika tidak adanya edukasi dapat menimbulkan kegaduhan yang berdasar oleh bedanya pemahaman tentang esensi bendera tersebut.
Memang masalah yang sudah menyangkut dengan agama itu sangat sensitif, oleh karena itu perlu adanya tindakan cepat dari semua yang berwenang menangani kasus tersebut serta pihak kepolisian siaga di titik-titik vital di setiap daerah terutama di Limbangan, Garut Jawa barat yang menjadi tempat kejadian.
Masyarakat pun jangan terbawa emosi harus tetap tenang dengan menyerahkan kepada pihak kepolosian untuk menangani kasus itu, baik dengan menyuarakan pendapat melalui media sosial ataupun dengan cara berkumpul pada satu titik untuk menyatukan suara dari berbagai pendapat.
Menurut saya, hal ini terjadi karena pemerintah belum berhasil dalam membina masyarakat dalam memahami arti demokrasi yang sesungguhnya, dan ini dapat mengalihkan isu-isu yang terjadi walau dapat memberikan akibat yang fatal.
Kejadian ini pun harus di waspadai karena dapat di manfaatkan oknum tertentu yang ingin menggapai tujuannya melalui batu loncatan kasus ini, dengan beranggapan kegagalan pemerintah dalam menjaga keharmonisan dengan mempolitisasi paham mereka kedalam kasus.
Peran pemuda pun di butuhkan dalam meluruskan pemahaman itu, karena peradaban Indonesia di tentukan oleh keberhasilan pemudanya dalam keilmuan yang akan digunakan untuk membangun Indonesia, serta pemuda pun harus di perkuat dengan pemahaman keagaaman.
Saat ini Negara kita sedang di propaganda dengan percobaan pemecah belah umat, yang pastinya akan ada elit yang memanfaatkan hal itu untuk kepentingan mereka, lalu kita sebagai anak bangsa harus menjadi penetral itu semua dengan berpikir rasional.
Problem primer kita adalah nilai. Pancasila dipolarisasikan dengan Islam. Negara dibenturkan dengan agama. Semua ini bagian dari stigma dan phobia internasional dan sudah masuk ke nasional untuk tidak menyukai Islam.
Kita semakin kesulitan untuk benar tanpa menyalahkan, benar dengan menyalahkan disitulah peranan hukum terjadi karena terlegitimasi oleh faktor budaya dengan kebijaksanaan. Dalam dunia politik memiliki kewajiban untuk persatuan, dengan agama kita memiliki kekayaan dalam dialetika antara arah perjalanan, pilihan, dan cara menempuh jalan, yang bertujuan mendapatkan keselamatan bersama di ujung jalan.
Hal ini kita dituntut memaknai nilai pancasila dalam berkehidupan sehari-hari tanpa masuk kedalam llingkaran setan untuk saling menyalahkan satu sama lain dalam mencari kebenaran akan kehidupan sosial. Bangsa ini seperti ada yang mengadu domba, maka dari itu kita jangan ikut-ikutanterpecah belah,sudah seharusnya kita bersatu agar menjaga kedaulatan NKRI semakin kuat, dan bisa menjadi Negara yang kuat. [MO/sr]